[caption id="attachment_370268" align="aligncenter" width="567" caption="Militer Australia"][/caption]
Menarik mencermati artikel yang ditulis oleh Prayitno Ramelan yang berjudul "Waspadai Kemungkinan Langkah Ekstrem Australia Terkait Eksekusi Mati". Dalam artikel yang diposting 19 Februari 2015 dan mendapatkan tempat sebagai Headlines Kompasiana tersebut dikemukakan opsi upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam menggagalkan eksekusi mati dua terpidana warga negara Australia: Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dalam waktu dekat oleh Pemerintah Indonesia.
Semua opsi upaya Pemerintah Australia itu dilatar belakangi oleh posisi Perdana Menteri Tony Abbott yang perlu memperbaiki kinerja dirinya. Abbott lolos dari ”mosi tidak percaya” yang berujung impeachment, dan tetap bertahan pada posisinya sebagai PM Australia di internal Partai Liberal pada voting yang dilakukan pada Senin, 9 Februari 2015 pagi waktu Canberra. Dalam voting itu, yang dihadiri 101 dari 102 anggota Partai Liberal yang memiliki hak suara, 61 menyatakan menolak mosi dan 39 menyatakan menerimanya. Satu suara diberikan secara informal dan 1 anggota tidak hadir karena sedang cuti. Walau selamat, tetapi karier politiknya dinilai cedera.
Dalam artikel itu disebut bahwa upaya pendekatan diplomatik baik langsung oleh Pemerintah Australia sendiri maupun menggunakan tangan PBB ternyata tak mampu mengubah keputusan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati tersebut.
Pemerintah Australia pun menebar ancaman embargo wisata ke Bali. Namun, Pemerintah Indonesia bergeming atas ancaman itu. Kemudian Penulis mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia agar tidak meremehkan Pemerintah Australia. Pemerintah Indonesia harus membuat berbagai macam antisipasi semua hal yang BISA dilakukan oleh Pemerintah Australia, termasuk di dalamnya tindakan ekstrim yaitu salah satunya preemptive strikes.
Makna Preemptive Strikes
Preemptive adalah kata sifat. Dalam konteks militer menurut kamus daring bahasa Inggris Collin Dictionary adalah designed to reduce or destroy an enemy's attacking strength before it can use it (a pre-emptive strike) dalam bahasa Indonesia adalah dimaksudkan untuk mengurangi atau menghancurkan kekuatan menyerang musuh sebelum dapat menggunakannya atau padanannya "serangan pendahuluan". Definisi kamus lain dari frase itu adalah serving or intended to preempt or forestall something, especially to prevent attack by disabling the enemy (dimaksudkan untuk mendahului atau mencegah sesuatu, terutama untuk mencegah serangan dengan cara melumpuhkan musuh).
Secara lebih gamblang WiseGeek mendefinisikan preemptive strikes sebagai suatu operasi militer suatu negara yang dirancang untuk menetralisir ancaman potensial (laten), atau untuk mendapatkan keuntungan yang nyata terhadap musuh yang mengancamnya.
[caption id="attachment_370269" align="aligncenter" width="411" caption="Perserikatan Bangsa Bangsa"]
Doktrin pertahanan diri (self-defense) setiap negara baik secara individu negara itu sendiri maupun --jika kolektif atau bersama-sama itu dengan persetujuan Dewan Keamanaan PBB terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Charter, Chapter II Article-4):
"All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state or in any manner inconsistent with the Purposes of the United Nations."
Sedangkan secara lebih khusus Preemptive Strikes sebagai salah satu bentuk pertahanan diri suatu negara memang diakui dalam Piagam PBB Chapter VII Article-51:
"Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a member of the UN – until the Security Council has take measures necessary to maintain international peace and security."
Dengan mengesampingkan diskursus berbagai pendapat tentang tentang legalitas doktrin keamanan itu, preemptive strikes diperbolehkan dengan syarat dilakukan pada (1) entitas non- negara, seperti teroris, yang mungkin atau mungkin tidak memiliki senjata pemusnah massal; dan (2) menyatakan di mana ada risiko bahwa teroris akan memperoleh senjata pemusnah massal.
Ketika preemptive strikes dipertimbangkan untuk dilakukan oleh suatu negara, mesti didahului dengan pengamatan pendahuluan, diantaranya adalah pengamatan yang cermat tentang sifat ancaman itu, apakah ada ancaman konkret seperti konsentrasi pengerahan pasukan musuh di perbatasan negara itu atau diduga kuat adanya detonator (pemicu) hulu ledak nuklir atau pemusnah massal yang diarahkan ke dalam negara itu. Hal-hal itu dipertimbangkan sebagai legitimasi untuk dilakukan preemptive strikes. Selain itu, hal lain yang dijadikan legitimasi adalah adanya pemberitaan masal yang menyebar dari pihak musuh akan ancaman itu, informasi intelijen, dan rekam jejak kebiasaan musuh.
Namun demikian sebelum memutuskan melakukan preemptive strikes melalui pejabat pemerintah negara itu harus melalui tahapan diplomasi, sanksi, dan alat-alat lainnya. Idealnya, sebuah tindakan agresif berupa operasi militer hanya boleh dilakukan jika semua opsi lain telah habis.
Operasi Penculikan Duo Bali Nine Oleh Militer Australia, Mungkinkah?
Secara fakta walaupun Pemerintah Indonesia telah melakukan ancaman eksekusi mati terhadap warga Australia, namun ancaman itu sebatas pada duo Bali Nine yang telah melanggar hukum positif Negara Indonesia. Indonesia tidak melakukan ancaman secara umum yang melibatkan atau ditujukan kepada seluruh warga negara Australia baik sipil maupun militer. Dan Pemerintah Indonesia tidak mengarahkan senjata pemusnah masalnya ke negara Australia, selain tidak adanya rekam jejak Indonesia sebagai negara agresor.
Karena itu, berdasarkan uraian di atas berdasarkan doktrin keamanaan PBB, legalitas dan fakta yang ada, Pemerintah Australia tidak memenuhi syarat untuk melakukan preemptive strikes. Ancaman pada warganya --duo Bali Nine-- adalah dalam rangka Indonesia melakukan kedaulatan hukum negaranya terhadap warga Australia yang melanggar hukum Indonesia, dimana situasi Indonesia dalam keadaan darurat narkoba.
PBB pun setelah mendapatkan penjelasan dari Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sudah tidak bersuara lantang lagi terhadap eksekusi mati itu. Ini bisa merupakan sinyal bahwa PBB memahami bahwa eksekusi mati duo Bali Nine warga Australia semata-mata Pemerintah Indonesia melaksanakan putusan pengadilan yang inkracht dan Presiden Jokowi dengan tegas menolak memberikan ampunan kepada mereka.
[caption id="attachment_370277" align="aligncenter" width="549" caption="Pesawat Sukhoi Mengawal Persiapan Eksekusi Bali Nine"]
Sikap Indonesia: Siaga..!!
Namun demikian, kasat mata menjelang eksekusi mati terhadap 13 orang terpidana mati diantaranya duo Bali Nine, Pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan militernya. Sebagaimana diberitakan oleh www.republika.co.id pada Senin hari ini di Kupang bahwa Pangdam IX/Udayana Mayjen TNI Torry Djohar Banguntoro mengatakan TNI sudah menyiapkan satu Skuadron Sukhoi untuk mengawal proses pemindahan terpidana mati asal Australia dalam kasus "Bali Nine" dari Lapas Kerobokan Bali menuju Lapas Nusakambangan.
"Kami juga sudah menyiapkan pasukan Raiders dan Kavaleri untuk tindakan pengamanan terhadap dua terpidana mati, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan mulai dari Lapas Kerobokan menuju Bandara Ngurah Rai Bali," katanya. Sumber disini.
Bahkan selain itu, sebagaimana dilansir oleh www.okezone.com, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga memberikan sinyal dengan penuh ketegasan, tidak akan berkomunikasi dengan Pemerintah Australia untuk mengeksekusi dua terpidana mati asal negeri kanguru tersebut.
Menurut JK, hal itu sudah menjadi kewenangan Pemerintah Indonesia. Karenanya, tidak ada gunanya jika eksekusi mati harus berkomunikasi lebih dahulu dengan Australia.
"Enggak, enggak. Kita tidak menjalin komunikasi," tegas JK di Kantor Wakil Presiden Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Senin (23/2/2015). Sumber berita disini.
Terkait dengan situasi kesiagaan ini, Presiden Jokowi juga memperingatkan semua pihak untuk tidak memanas-manasi antara Indonesia dengan Australia. Kepada www.kompas.com, Presiden Joko Widodo tidak mau mempersoalkan lagi pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengungkit soal bantuan Australia untuk korban tsunami dalam protesnya akan ancaman hukuman mati terhadap kelompok Bali Nine. Menurut Jokowi, pemerintah Indonesia sudah mendapat klarifikasi dari negara kangguru itu.
Presiden juga tak mau menyebutkan secara rinci soal klarifikasi yang didapat pemerintah Indonesia itu. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta ini menegaskan bahwa sikap pemerintah tak akan melunak terhadap terpidana mati kasus narkoba. Sumber disini.
-------mw-------
*) Penulis adalah Jokowi Lover yang lebih cinta Indonesia
**) Sumber bacaan
1. Comment: John Howard's Preemptive Strike Thesis. Journal of South Pacific Law Volume-7 Issue 1 2003. Myint Zan. www.usp.fj. Web. 21 Februari 2015.
2. Pre-emptive self-defence against states harbouring terrorists. RGSL Research Papers No. 4. 2011. Megi Medzmariashvili. Riga Graduate School of Law. PDF. Web. 21 Februari 2015.
3. Charter of the United Nations. UNO. Web. 23 Februari 2015.
4. The Use of Force and Pre-Emption: A Legitimate Practice Under the UN Charter? Volume 11, Number 3 (September 2004). Narelle Thomas BA, B Jour. Murdoch University Electronic Journal of Law. http://www.austlii.edu.au/. Web. 21 Februari 2015.
5. Professor Ashley Deeks on the Law of Pre-emptive Strikes. 17 November 2014. http://www.law.virginia.edu. Web. 21 Februari 2015.
6. World: Does A Defense Of Preemptive Strikes Open A Global Pandora's Box? 3 December 2002. Jeremy Bransten. http://i-p-o.org. Web. 21 Februari 2015.
7. Malaysia, Philippines slam Howard's preemptive strike talk. 2 December 2002. Fairfax Digital. Web. 23 Februari 2015.
8. What is a Preemptive Strike? n.d. WiseGEEK. www.wisegeek.com. Web. 21 Februari 2015.
9. English Dictionary. www.collinsdictionary.com. Web. 21 Febaruary 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H