Bau gosong terbang ke teras. Ibu yang sedang bekerja, berjalan terburu ke dapur untuk melihat apa yang terjadi. Geleng-geleng melihat asap mulai memenuhi dapur, kipas exhaust dihidupkan. Kipas angin juga diambil dan di arahkan ke luar jendela. Pintu samping juga dibuka.
Bude terlihat gelagapan. Ibu mengingatkan hati-hati dan konsentrasi kalau lagi bakar masakan. Bude buru-buru minta maaf. Namun, sebagai sesama perempuan sepertinya Ibu tahu situasi. Bude sedang "galau" karena selama ikut di rumah mulai dari Bungsu masih bayi sampai sekarang mau gadis, belum pernah menciptakan kegosongan kecuali siang ini.
Selang satu jam, Bude menemui Ibu di teras. Bude membawakan teh poci dengan gula batu. Ibu yang selesai kerja (ngezoom, meremote kerjaannya) dan membaca koran pun tersenyum.
"Piye," tanya Ibu. "Ibu nggak cemburu kalau Bapak kerja di luar kota, makan minum dengan kawan-kawannya, termasuk kawan perempuannya," tanya Bude langsung tanpa basa basi.
Ibu yang sudah tahu arah topik pembicaraan pun tersenyum, dan menghentikan membolak-balik Kompas cetak. "Tidak. Aku selalu percaya dengan Bapak. Bapak saja percaya sama aku kalau aku meeting di resto atau warung makan atau di hotel".
Tadi waktu belanja ikan di pasar, penjual ikan memberitahu kalau Pak De, sering ngopi dengan Starling yang sama. "Tertawa Mas ku lepas, bahagia banget sepertinya. Starlingnya juga langsing dan senyum-senyum, kadang malah tertawa bareng," kata Bude meneruskan info tentang Pak De dari penjual ikan pada Ibu.
Ibu menghela nafas. Tersenyum. Memperhatikan Bude sebentar. "Kalau siang habis menjemput dan mengantar pulang Sulung, Bude masih membuatkan kopi, atau memberi makanan pada Pak De. Bude menyajikannya tidak dengan senyum pastinya. Padahal Bapak sudah menyediakan meja kecil dan bangku kecil di bawah pohon jambu untuk istirahat sebentar. Bisa juga di teras ini".
"Coba putar ulang lagi Budenya! Bude kalah pastinya. Kalah senyum. Jangan tiru aku dan Bapak! Beda. Walau aku dan bapak cuek  tapi coba kalau di meja makan. Aku melayani Bapak. Aku ambilkan nasi untuk Bapak, ambilin sayur. Walau aku mesin pencari uang, tapi aku tetap menghormati dan melayani Bapak, dia nahkoda rumah ini".
Ibu sebenarnya mau tertawa, karena suaminya yang dipanggil Bapak itu lebih banyak membuat kopi sendiri atau teh sendiri atau nongkrong di gudang. Nulis di Kompasiana dengan cita-cita mandiri tapi belum kesampaian untuk bayar token listrik gudang dan bayar langganan Kompas yang naik di tagihan bulan dua tahun 2022 ini.
Walau begitu, Bapak itu romantis dan sedikit gila. Pernah ketika sedang rapat dengan rekan sejawat, sang suami sengaja menelpon, dan bilang "Aku cinta kamu" yang membuat pipinya merona, membuat koleganya senyum karena suara sang suami terdengar sayup-sayup. Semua rekannya tahu, telepon suami tidak pernah tidak diterima oleh Ibu, apapun kondisinya atau secepatnya ditelepon balik jika tidak diterima.
Ibu ke dapur dan mengambil uang sisa belanja seminggu terakhir, ada lima ribuan, sepuluh ribuan dihitung. Uang sejumlah 250 ribu diberikan pada Bude, "ngopilah Bude dan Pak De siang ini ke Metropole. Pakai baju ini saja. Pak De juga pakai baju kerja Pak De. Nikmatilah hidup apa adanya".
Bude terdiam. Bude ragu. Bude menjadi gagu. Jantungnya berdetak lebih kencang seperti mau pecah. Tangannya gemetar ketika menerima 250 ribu. Bude dan Pak De naik bajaj tahu tempat itu karena mereka berdua pernah diminta Ibu untuk menjemput Sulung yang katanya sedang kumpul dengan temannya, tak tahunya hanya berdua dengan temannya yang sekolah di tempat lain.
Ibu menggoda, "Nah kan, jadi remaja lagi. Jadi anak muda lagi. Nanti seperti biasa Bude ya. Lihat-lihat dulu. Terus beli yang sesuai bujet saja. Kalau kelebihan atau kurang kabari saja. Nanti ibu susul. Tapi yakin kok aku sama Bude. Anggap wae ini kencan pacaran gaek minimalis. Intinya kan ngopi bareng. Pilih tempat di bangku/meja luar saja".
"Aku kok ndredek," kata Bude. Ibu pun tersenyum sambil memandangi Bude. Seorang perempuan yang tegar dan berani untuk bekerja menjadi asisten rumah tangga dan jujur. Semoga jujurnya terus bertahan.
Bahagialah Bude masih dredek kalau mau pergi kencan dengan Pak De. Ibu meminta Bude memperhatikan para peracik kopi dalam melayani pelanggannya. Bu De tunggu sebentar, nanti dipanggil namanya kalau kopi selesai, ambil kopinya dan layanilah Pak De. Nikmatilah suasananya.Â
Singkatnya. Usai mengantar Sulung pulang ke rumah, Pak De diajak Bude pergi. Ibu juga meminta agar tidak mengatakan rencana minum kopi bareng. Kecuali kalau sudah di lokasi. "Tarik-tarikan kalau Pak De nggak mau juga nggak apa-apa".
Telepon genggam dipantengin sejam lebih. Dan aman kalau sudah tidak ada telepon. Rencana berjalan sukses.
Pukul empat sore lebih sedikit Pak De, Bu De pulang. Anak-anak yang kebetulan tidak ada les menunggu mereka berdua di teras. Anak-anak sudah mendengar cerita Ibu. Ketika Bude membuka pintu bajaj, tepuk tangan dari tiga anak-anak menggema. Bungsu langsung berlari memeluk Bude.
Pak De turun menghampiri anak-anak dan memberikan gorengan (ubi, pisang, tempe, tahu) dan diserbulah oleh dua lelaki baru gede seperti kelaparan. "Gimana minum berdua dengan Bude. Deg deg ser kah?" tanya Sulung. Pak De, hanya bilang, "terima kasih, terima kasih". Mereka tertawa ngakak sebagai kaum lelaki.
Pak De membalas, "Sama seperti Sulung dijemput anak kantor pos dan Pak De nunggu di bawah jembatan penyebrangan UI Salemba". Ketiga lelaki itu tertawa kembali. Mereka bertiga klik kalau ada Bapaknya malah tambah rame lagi.
Ibu yang berdiri di depan pintu tersenyum lepas. "Aku ke belakang dulu mau cuci piring anak-anak yang makan siang tadi," kata Bude sumringah sambil menuntun Bungsu.
Ibu menahan Bude, meminta Bude untuk pulang, sambil membawakan tiga kopi sasetan dan sedikit kopi bubuk dari Pagar Alam. "Ngopilah di rumah besok pagi sebelum ke sini. Tersenyum dan buatkanlah kopi dengan cinta. Ajak ngobrollah. Ndak usah ngobrol yang ruwet, token listrik, air, gas. Itu ndak usah diobrolkan dulu".Â
"Ngobrol yang santai wae. Ngobrol soal pengalaman ngopi bareng di Metropole. Ungkapkanlah perasaan Bude. Jangan pernah bilang sudah tua. Justru menua bareng itu harus makin kocak dan makin mencintai. Makin membutuhkan satu sama lain".
Menjelang malam, Ibu menelpon seseorang yang sedang berada di Punggung Bukit Barisan Sumatra. "Aku traktir makan bubur ayam di Pasar J. Kita ke pasar pagi-pagi, belum mandi. Kita makan bubur di atas tempat penampungan air ya. Sudah itu kita cari gorengan depan apotik. Jadi pulang kan Sabtu ini. Aku kirim tiket ya".
"Ya. Ya. Ya. Pulang. Gimana kalau kita makan bubur Cikini deket stasiun saja. Aku kangen suasana sarapan bareng, waktu kau jaga di Cipto dulu," kataku.
Perjalanan masih delapan jam lagi untuk sampai ke bandara. Senyum sendiri ketika KKP menginginkan, membuka ingatan ketika makan bubur ayam di atas penampungan air di Pasar J. Â Belum mandi. Dua-duanya pakai celana pendek dan kucek kumel, cuma nggak bau iler saja.
Melepas rutinitas dan membuka memoar itu perlu dan penting. Menikmati makanan, memandangi orang tercinta terkadang bikin dredek. Kalau masih ada dredek artinya kamu masih cinta bin nafsu dengan pasanganmu.
Mari dimulai dari kopi rumah dengan cinta. Sasetan jadilah. Modalnya cuma seribu rupiah dan air panas. Ada yang mahal, senyuman kekasih alias istri tercinta serta ucapan terima kasih dari suami atas secangkir kopi hangat.
Salam Kompal
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI