Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan Itu LRT

4 November 2019   03:38 Diperbarui: 4 November 2019   18:48 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati Pantai I Foto: OtnasusidE

Perempuan itu seperti gasing di dini hari ketika semua terlelap. Berangkat dengan pesawat pagi, tentunya harus bangun dini hari untuk mandi dan persiapan pergi ke bandara. Belum lagi urusan anak yang harus disiapkan sarapannya agar mereka tak telat berangkat ke sekolah.

Perempuan itu kesal banget. Mesin ATM yang menelan kartunya pun dia tendang. Daku sebenarnya sudah tahu gelagat perempuan ini akan ngamuk. Boleh jadi karena akan menstruasi atau boleh jadi ada yang mengganjal di otak bawah sadarnya mengenai pekerjaan.

Kerjanya yang penuh dengan tekanan. Kerja yang tak boleh sedikit pun ada kesalahan. Nyawa manusia taruhannya. Kerja mulai pukul 07.00 hingga sekitar pukul 10.00. Bertarung dengan waktu dan disiplin. Kalau ada darurat bisa lebih pagi lagi dan bisa sampai jelang makan siang kerjanya.

Perempuan itu tidak mau disebut sebagai perempuan karir apalagi perempuan yang mengalami double burden. "Oh tidak. Perempuan ya perempuan. No. No. No. Kalau aku disebut sebagai korban mencari nafkah dan juga korban ngurusi anak serta rumah tangga termasuk ngurusi suami yang manja, jawabku tidaakkk," ujarnya suatu waktu di ruang tunggu bandara.

Anak-anak sudah tahu mengenai waktu-waktu kerja alias waktu kritis ibunya. Anak dan suami biasanya berusaha untuk tidak membuat kesalahan karena bisa kena semprot. Seram. Bahkan Sulung suatu hari menyampaikan pada teman-temannya kalau ibunya galak. "Ibuku asli K......g. Jadi jangan macam-macam".

Darah K......g itu terkadang mendidih dan itu pernah meledak ketika Sulung marah besar dengan temannya yang sudah mengganggunya berlebihan. Itu umur lima tahun. Sulung pun mengamuk. Tetangga kiri kanan pun geger ketika Sulung meloncat dari pagar mengejar teman yang mengganggunya. Untungnya sang bapak yang kebetulan sedang pulang mampu meredam kenekatan Sulung.

Sulung pun lalu mendapat perhatian lebih agar dapat mengendalikan dirinya. Kini dengan tubuh yang di atas rata-rata bahkan tinggi bahunya sudah melebihi bahu ibunya, padahal baru kelas IX. Tubuh sulung sudah 170 cm dan masih bisa tinggi lagi. Emosinya sudah bisa dikendalikan.

Jadi ketika ibunya menendang mesin ATM yang menelan kartunya bisa dipahami dan dimengerti. Aku yang sudah tahu gelagat selalu berada di sampingnya. Dengan satu sentuhan halus ataupun pernyataan halus, tensi biasanya langsung turun.

Mencintai perempuan ini tak ada habisnya. Mulai dari masa pacaran, sekolah lagi hingga ke berumah tangga ada begitu banyak kejutan. Walaupun begitu, satu substansi dari dirinya adalah selalu menolong dan menjadikan manusia adalah guru, dan teman.

Selalu ramah dan tersenyum serta bercanda dengan pasiennya membuat pasiennya seakan menjadi keluarga. Tak ada rasa segan untuk meminta tolong, membayar dengan ubi atau pisang. Uwooo.

Nah, yang bikin sesak nafas adalah ketika seorang pekerja perempuan menangis di lounge bandara sebuah pulau. Awal mulanya ketika perempuan terkasih mengucapkan terima kasih karena sudah sangat baik bin sopan dilayani. Di ajak ngobrol ringan. Dan dinasehati untuk tetap menjaga kejujuran, performa keramahan dan kesopanan dalam melayani pelanggan. Tidak akan ada yang tahu nasib seseorang di masa depan.

Perempuan pekerja di lounge bandara itu lalu menangis. Mengucapkan terima kasih. "Baru kali ini diajak ngobrol dan didoakan pelanggan. Biasanya kami ini didiamkan. Ada juga yang mengucapkan terima kasih tetapi agak mendekati basa basi. Kami ini memang pelayan yang harus siap melayani".

Perasaan perempuan itu aku paham. Setiap satu bulan satu kali kami memang menikmati loungue di bandara di pulau itu. Aku pernah menjadi saksi soal adab. Pasal adab memang bikin jengah, seorang lelaki paruh baya diduga pejabat, melemparkan kartu kredit ke pekerja pendaftaran lounge. Lalu masuk, tanpa basa basi. Padahal kami pada saat itu sedang berbicara mengenai metode pembayaran dengan kartu kredit atau kontan untuk masuk ke lounge.

Perempuan terkasihku memang bikin baper. Menghormati perempuan ternyata sangat sederhana. Jika kau tak mau diperlakukan sebagaimana orang juga tak mau diperlakukan maka jangan lakukan. Sederhana dalam pelaksanaannya kadang dilaksanakan juga hal-hal yang semestinya tak boleh dilakukan. Ape mo dikate. Tapi secepatnya diperbaiki sebelum perempuan sadar atau menjadi masalah besar.

Pagi itu perempuan itu marah besar karena penerbangannya ke punggung Bukit Barisan Sumatra dibatalkan. Rencana yang sudah matang untuk menjalankan kewajibannya sebagai istri dan menuntut hak atas nama cinta berantakan.

Seram. Takut. Alat tempatnya bekerja sudah dua minggu kacau. Alat tersebut sudah dipakai selama 10 tahun dan baru kali ini penanganan pelayanan perbaikannya sangat lambat.

Petugas yang menangani keluhanan menyatakan silahkan kalau tidak mau memakai alat mereka lagi. Perempuan terkasih yang dijuluki pemarah yang pernah membuat seorang pemasaran tak berani masuk ke ruangannya itu, pun tersenyum. "Baiklah. Kau yang kena teguran keras atau dipecat atau aku yang tak akan memakai alatmu lagi," kata si perempuan itu dingin lalu mematikan telepon.

Atasan petugas itupun kocar-kacir ketika perempuan itu menyampaikan kalau petugas mereka mempersilahkan ganti alat alias ganti vendor setelah 10 tahun. Aneh bin ajaib. Atasannya justru berjanji maksimal dua hari ada petugas yang akan datang dan memperbaiki alat. Bahkan atasannya memohon untuk tidak pindah vendor.

Anak muda sekarang, mudah banget buang pelanggan 10 tahun. Memperlakukan pelanggan yang sudah loyal selama 10 tahun tentu berbeda dengan memperlakukan pelanggan baru. Lu pikir mudah mendapatkan pelanggan yang loyal.

Anak muda, lu pikir mudah kawin. Lu pikir mudah punya anak. Lu pikir mudah memelihara perkawinan. Lu pikir mudah memelihara anak.

Di pantai berpasir coklat itu perempuan terkasih rebahan. Hoiii kuteknya gompel tuh. Perempuan terkasihku bukan generasi rebahan. Oh no no. Twitter saja tak ada. FB apa lagi. Hik hik hik. "Pakai sesuai kebutuhan," ujarnya suatu waktu mengenai tidak adanya Medsos di telepon pintarnya.

"Butuh WA diinstall. FB, twitter, instagram nggak diinstall. Habis waktu kalau selalu memantau media sosial. Kecuali kalau diri memang mencari makan dengan memanfaatkan media sosial. Diri cari makan dengan mata dan telinga. WA hanya alat untuk mencari nafkah," tegasnya.

Hari ini kami berada di bandara. Ngobrol di lounge. Menikmati makanan yang tak berkarbo tinggi.

"Dirimu kalau pulang harus naik LRT sekaligus menjalankan LRT," bisiknya.
"Kubalas apa itu," bisikku.
"Love, Respect, Treat well," jawabnya lembut.

Kucium keningnya. Pesawatnya terbang lebih dulu ke Pulau Jawa. Pesawatku dua jam kemudian ke Sumatra.

Ketika duduk di LRT aku merenung. LRT mudah disebutkan tetapi susah dilaksanakan.

Salam dari Punggung Bukit Barisan Sumatra.

Salam Kompal

Kompal
Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun