Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menkeu, Kopi Dusun dan Model Investasi

1 Oktober 2018   13:12 Diperbarui: 2 Oktober 2018   05:59 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau ada seorang anak yang masih kuliah meminta uang seratusan ribu rupiah untuk minum kopi dan berkumpul dengan teman-temannya dalam mengerjakan tugas kelompok di tempat kopi bermerek yang sudah internasional banget,  apakah nggak bikin ngilu?

Kemudian ada juga seorang anak yang baru masuk kuliah minta uang seratusan ribu rupiah juga pada orangtuanya untuk kumpul malam minggu dengan teman-temannya.  Pa  nggak  nyut-nyutan  tuh  kepala orangtuanya.

Pada satu waktu, rombongan Kompal kumpul bareng ditraktir oleh bos Kompal, Om Kevin dan kawan-kawan di sebuah tempat makan di kawasan Veteran Palembang, ada sekitaran 10 anak remaja duduk di meja di sebelah kami. Seorang perempuan yang memasuki usia tua, juga anggota Kompal yang  memiliki bujang tanggung bergumam, "kalau anak aku minta duit. Terus kumpul-kumpul seperti ini kah?," tanyanya.

Aku dan Rap yang berada di dekat perempuan ini cuma tersenyum dan tidak memberikan jawaban.  

Anak muda zaman sekarang memang berbeda dengan anak muda zaman 80-an dan 90-an. Anak muda zaman sekarang fasilitasnya semua lebih. Nggak percaya, lihat tempat parkir, halaman sekolah setingkat SMP dan SMU di desa maupun di kota. Belum lagi telepon pintarnya bikin geleng-geleng kepala.

Di tingkat perguruan tinggi apalagi. Lahan parkir sepertinya selalu kekurangan, karena hampir semua mahasiswa membawa kendaraan bermotor baik mobil ataupun motor. Sebuah indikator kemakmuran? Bisa jadi memang begitu.

Anak zaman 80-an dan 90-an, yang kuliah pakai motor ke fakultas bisa dihitung dengan jari. Mereka biasanya memang benar-benar anak orang kaya. Apalagi yang bawa mobil, lima jari pun tak penuh.

Waktu kuliah mengerjakan tugas kelompok dulu, biasanya akan dikerjakan di jam usai kuliah ataupun di rumah, di tempat kos teman yang tempatnya dekat dengan kampus. Semuanya diperhitungkan dengan prinsip ekonomi dan juga memperhatikan teman-teman yang tinggalnya jauh dari kampus.

Lalu pertanyaannya adalah apakah anak-anak zaman sekarang tidak berempati atau mau enaknya sendiri? Dan orangtua tidak bisa memberikan pilihan atau orangtua tidak kuat memberikan pilihan? Susah untuk memberikan jawabannya.

Paling tidak dari seorang ibu-ibu yang tidak lagi muda dan memiliki dua anak lelaki yang berkulit taning dan badannya baik tinggi maupun beratnya agak di atas rata-rata dengan lembut mengungkapkan kalau zaman memang sudah berubah.

"Apakah dirimu tidak ingat, bagaimana dirimu terkejut ketika seorang perempuan, teman si sulung mengundang makan malam bersama keluarganya di Kelapa Gading. Kamu kocar kacir kan pulang dengan pesawat terakhir?," ujar si kaki kupu-kupu yang masih suka goyang dayung.

Kalau dulu seorang lelaki diundang oleh teman perempuannya untuk makan bersama keluarga, artinya sudah bagaimana gitu? Artinya  hubungan sudah serius. Tapi itu dulu... zaman memang sudah berubah.

Si kaki kupu-kupu memang pekerja keras. Padahal dirinya termasuk dalam keluarga menengah ke atas. Sejak kuliah dia mengajar les privat matematika pada tetangga dan orang yang membutuhkan bantuannya untuk menyelesaikan soal matematika. Kerja serabutan  juga dilakoni mulai dari menerjemahkan  jurnal berbahasa Inggris hingga lagu-lagu pop barat atas permintaan teman-temannya. Imbalan les privat lebih besar dibandingkan menerjemahkan bahasa Inggris. 

Semua imbalan itu ditabung dan dibelikan emas. Belakangan, emas itu dijual ketika mengambil kuliah lanjutan yang membutuhkan biaya yang banyak. Ini model investasi zaman  old.

Kita memang tidak bisa memukul rata anak muda zaman  now.  Aku  memilah dan melihatnya sebagai  pie  chart.  Ada yang manja. Ada yang mandiri. Ada yang tergantung dengan orangtua. Ada yang wirausaha. Belum ada yang melakukan penelitian secara komprehensif mengenai pola prilaku anak zaman sekarang. Walau begitu, mereka adalah realitas sosial yang memang sedang  booming.

Lalu kenapa permintaan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani agar anak milenial yang aku sebut sebagai anak zaman  now  mengurangi jajan kopi (1), menuai komentar beragam, bahkan ada yang mempertanyakan kepiawaiannya dalam mengurusi keuangan negara (2).  He  he  he.  Itulah demokrasi. Kalau nggak demokrasi  ya  nggak bisa komentarnya beragam.

Sebenarnya sederhana kok. Pernyataan Menkeu itu, untuk mengajak anak zaman  now  berpikir cerdas dan berinvestasi bagi masa depannya. Dengan mengurangi minum kopi merek-merek terkenal dari luar negeri maka anak zaman sekarang bisa berinvestasi dengan memulai membeli polis asuransi ataupun berinvestasi reksadana. Silahkan dihitung nilainya di masa mendatang. Ini model investasi zaman  now.

Sekali minum di kedai kopi yang ada di mal-mal itu harus merogoh kocek seratusan ribu rupiah. Kok bisa. Hitung kalau naik Onjol, kalau pake mobil, motor pribadi, berapa ongkos parkir, dua jam saja sudah Rp 10.000 di Jakarta. Harga kopinya macam-macam. Toppingnya. Ukuran gelas. Belum lagi harga kuenya. Celeguk. Kalau pake tumbler bawaan sendiri biasanya dapat potongan harga.

Ngilu aku kalau minum kopi bermerek terkenal luar negeri tapi duitnya dari minta dengan orangtua. Ngilu kalau minum kopi cuma untuk kongkow dengan teman-teman agar dibilang eksis. Ngilu plus naik asam lambung kalau duit dari orangtua dipakai mentraktir  gebetannya.

Emang nggak boleh minum kopi? Bolehlah. Siapa bilang kita tidak boleh minum kopi. Siapa bilang kita tidak boleh meningkatkan konsumsi. Pada akhirnya pilihan kebutuhan atau keinginan menjadi filter yang paling mujarab untuk masa depan.

Si kaki kupu-kupu, tidak pernah melewatkan minum kopi terkenal di bandara. Hampir setiap minggu naik pesawat ke empat kota dalam sebulan. Dia minum kopi terkenal itu karena adanya fasilitas dari kartu kredit dan juga  boarding  pass.  Sayang kalau fasilitas itu tidak dimanfaatkan.  Ini trik pintar dalam mengelola keuangan.

Sewaktu jalan-jalan ke luar negeri, si kaki kupu-kupu juga menyempatkan diri mampir dan menikmati suasana kopi bermerek itu. Satu tumbler pun dibeli sebagai kenangan.

Di satu bandara ketika kami sedang menikmati kopi bermerek, aku iseng mengajukan pertanyaan pada si kaki kupu-kupu.

"Dulu waktu masih mengerjakan disertasi kok kamu nggak pernah mengajakku untuk minum kopi bermerek terkenal di mal. Kamu malah minta kiriman kopi dari dusun, Muara Dua (OKU Selatan)?," tanyaku iseng.

"Kopi dari dusun itu disangrai setengah matang dan kemudian ditumbuk. Plus ditambah garam sedikit. Nah, itu kalau untuk baca jurnal ilmiah dan juga untuk ngetik perbaikan disertasi akan sangat cocok untuk membuat mata melotot. Jantung berdebar kencang. Itu yang paling pas," kata si kaki kupu-kupu dengan senyum lesung pipit yang melenting.

Pengalaman. Sekali lagi pengalaman ketika masa SMU untuk begadang mengerjakan tugas, minumnya kopi dari dusun. Demikian pula ketika kuliah S1 minumnya untuk mata agar bisa bertahan jaga, ya bawa kopi dari rumah yang asal muasalnya dari dusun.

Jadi semua itu pengalaman yang membuat kopi dari dusun masih tetap eksis  kok.  Di rumah juga tersimpan satu stoples besar kopi dari dusun yang diolah secara dusun. Bahkan oleh si kaki kupu-kupu kalau kopi dari Muara Dua dikirim dalam jumlah yang lumayan banyak, dibagi-bagikan ke teman-temannya untuk dicicipi. Tentu dengan peringatan. Hati-hati bisa membuat jantung berdebar kencang.

Datanglah ke kedai-kedai kopi di Pasar Santa di Jakarta. Di sana kita bisa menikmati pengalaman ngopi. Sebagaimana kami dulu menikmati kopi dari dusun, kiriman orangtua kepada anak-anaknya yang merantau untuk menimba ilmu.

Salam Kompal

kompasiana.com
kompasiana.com
Sumber:   (1)   dan   (2) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun