Di satu bandara ketika kami sedang menikmati kopi bermerek, aku iseng mengajukan pertanyaan pada si kaki kupu-kupu.
"Dulu waktu masih mengerjakan disertasi kok kamu nggak pernah mengajakku untuk minum kopi bermerek terkenal di mal. Kamu malah minta kiriman kopi dari dusun, Muara Dua (OKU Selatan)?," tanyaku iseng.
"Kopi dari dusun itu disangrai setengah matang dan kemudian ditumbuk. Plus ditambah garam sedikit. Nah, itu kalau untuk baca jurnal ilmiah dan juga untuk ngetik perbaikan disertasi akan sangat cocok untuk membuat mata melotot. Jantung berdebar kencang. Itu yang paling pas," kata si kaki kupu-kupu dengan senyum lesung pipit yang melenting.
Pengalaman. Sekali lagi pengalaman ketika masa SMU untuk begadang mengerjakan tugas, minumnya kopi dari dusun. Demikian pula ketika kuliah S1 minumnya untuk mata agar bisa bertahan jaga, ya bawa kopi dari rumah yang asal muasalnya dari dusun.
Jadi semua itu pengalaman yang membuat kopi dari dusun masih tetap eksis  kok.  Di rumah juga tersimpan satu stoples besar kopi dari dusun yang diolah secara dusun. Bahkan oleh si kaki kupu-kupu kalau kopi dari Muara Dua dikirim dalam jumlah yang lumayan banyak, dibagi-bagikan ke teman-temannya untuk dicicipi. Tentu dengan peringatan. Hati-hati bisa membuat jantung berdebar kencang.
Datanglah ke kedai-kedai kopi di Pasar Santa di Jakarta. Di sana kita bisa menikmati pengalaman ngopi. Sebagaimana kami dulu menikmati kopi dari dusun, kiriman orangtua kepada anak-anaknya yang merantau untuk menimba ilmu.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H