Antara sadar dan tidak. Aku kemudian mengingat, peristiwa indah di tepian Sungai Sembilang waktu itu.
"Apa yang membuatmu senang di daerah perairan dan berawa, Â banyak buaya muara pula," kataku sambil memandangi ombak Selat Sumatra.
"Aku suka di sini. Aku ingin mengabdikan diriku di daerah terpencil. Aku kuliah di universitas negeri. Kuliahku disubsidi oleh pemerintah. Aku sadar aku harus bayar hutang pada Negara. Kalaupun itu salah, aku masih punya cerita untuk anak-anakku. Kalau emaknya pernah tinggal dan mengabdi di pesisir Timur Sumatra," kata Prameshwari.
Di Pesisir Timur Sumatra, Sumatra Selatan, tidak ada pantai, yang ada adalah lumpur kalau surut dan buaya muara kalau pasang. Kalau mau bermain di lumpur juga harus hati-hati. Bisa-bisa kita dikejar anak buaya muara yang sedang bermain di lumpur atau tersedot masuk di tanah labil atau dalam bahasa setempat di sebut tanah goyang.
Pramesh termasuk dokter perempuan yang nekad. Pernah dirinya dan perawatnya harus berjibaku membawa seorang pasien ke Rumah Sakit Umum di Palembang (RSUP) gara-gara terkena sutil**) Â masak yang menancap di pipi bagian atas, persis di bawah mata.
"Waduh... jadi obat apa dirimu berikan sebagai pertolongan pertama?" tanyaku
"Obat pertama yang aku berikan pada pasien bukan amoksicilin tapi doa-cilin," sahutnya sambil  nyengir.
Jalanan desa yang berlumpur waktu itu dan juga Jalan Lintas Sumatra yang berlobang dilalui dengan sabar dan doa. Ambulan sampai ke UGD RSUP. Mobil dimatikan dan bergegas mengantar pasien, sementara perawat bertugas untuk memindahkan ambulans agar tidak mengganggu mobil yang akan ke UGD.
Pasien berhasil ditangani dengan baik dan ketika keluar UGD ternyata ambulans masih nangkring tepat di depan UGD.
"Kok ambulans belum dipindahkan ke parkiran?"
"Akinya soak. Distarter  idak mau  idup,  Dokter...," kata perawat.