"Ibu tahu dari mana kalau tetangga ibu ngomong seperti itu," kataku sambal menyantap gado-gado yang datang.
"Suara hatiku. Dan sekarang justru apa yang dia tuduhkan berbalik pada dirinya," kata si perempuan tua sambil tertawa ngakak.
"Ibu tahu darimana tuduhan itu berbalik pada dirinya?".
"Suara hatiku. Dari mukanya yang  mesum celako,"  lanjut si perempuan.
"Jangan pernah menilai orang apalagi menuduh yang kita tak tahu. Itu fitnah. Tuduhan itu bisa berbalik pada diri kita sendiri," lanjutnya.
"Loh, ibu sudah menuduh tetangga ibu, apa ada bukti," kataku sengit.
"Kamu itu kan lagi kangen sama anakmu yang nun jauh kan," tambah si perempuan itu.
"Kok tahu".
"Karena itu terpancar di hatimu".
"Temuilah anakmu setelah kau mengantarku pulang. Ziarahlah kalau kau kangen dengannya. Itu pengobat rindu. Kalau kau tak ada uang. Ingatlah senyumannya. Ingatlah masa-masa bahagia bersamanya. Anakmu pasti senang di surga sana."
Seusai mengantarkan perempuan tua itu. Motorku pun kupacu ke sebuah tempat peristirahatan. Satu pohon bunga mawar putih menjadi penanda anak tertuaku.