"Sayang, ayo bangun. Jangan tidur  mulu. Udara dingin di kebun jangan untuk tidur. Bangun!" sapa seorang perempuan yang sangat kukenal suaranya.
Semalam memang hujan deras mulai dari pukul 19.00 hingga pagi ini pun masih rintik. Cuaca dingin memang mengundang untuk lebih lama bergelung di dalam kantong tidur.
Punggung Bukit Barisan Sumatra memang sedang musim hujan. Apabila malam, kami yang ada di kebun pun  was-was. Takut tanah longsor.
Pagi ini, suara istriku di  Taman S sejauh lebih 700 km dari Punggung Bukit Barisan Sumatra, membuat mataku yang rada-rada lengket karena ATM --ada tahi mata--  berusaha untuk membuka.
"Selamat pagi, sayang. Bagaimana pagimu?" sahutku.
"Rambutku gatel banget pagi ini. Beberapa hari lalu, Kayla juga mengaku rambutnya suka gatal, padahal setiap sore hari selalu keramas. Bahkan sepulang sekolah pun kalau badannya bau sangit aku langsung suruh mandi," kata istriku.
"Waduuhh. Mungkin kutuan  tuh!" celetukku.
"Auww... ampun...!" serunya terkejut.
Rambut bagi istriku adalah sesuatu hal yang sangat-sangat dijaga. Ia bersyukur karena walaupun sudah berumur lebih dari 40 tahun tetapi rambutnya masih lebat dan hitam mengkilap. Satu dua uban memang tumbuh tetapi dia tidak pernah men-treatment apalagi mengecat rambutnya.
 "Coba cek dulu rambut Kayla pulang sekolah nanti. Jangan-jangan Kayla kutuan.  Hiiii...  Rambut ikalmu kalau kutuan susah nyarinya. Mana lebat lagi rambutmu," kataku.
 "Sudah nanti kalau Kayla pulang, rambutnya diperiksa dulu. Nah, sekarang mandi dulu dan carilah sisir kerep di toko serba ada di depan rumah.  Bapak mau kasih makan ayam dulu," sambungku sambil menadahi air hujan dan menghidupkan bara api untuk membuat kopi sekaligus bakar ubi kayu.
Jelang tengah hari, tiba-tiba ada pesan WA masuk. Foto kertas kuarto yang di atasnya ada sisir kerep dan bintik-bintik hitam, serta beberapa helai rambut. Disusul 3 menit kemudian ada kiriman video 10 detik tentang bintik-bintik hitam bergerak di kertas putih.
Tak berapa lama, telepon berdering.
"Confirm! Â Kayla benar-benar kutuan. Aku dipastikan ketularan. Tapi aku sudah sisirkan beberapa kali, aku belum dapat kutu di rambutku," kata istriku.
Aku yang mendengar penjelasan istriku jadi melongo dan mengambil nafas sebentar untuk mencari kosa kata yang tepat agar istriku tidak tersinggung.
"Sayangku, cintaku.... Semestinya dirimu memakai sisir kerep yang lain. Jangan memakai sisir kerep bekas Kayla. Kecuali sisir kerep itu sudah dibersihkan benar-benar sehingga tidak ada telur kutu yang nyangkut disitu, trus nanti malah pindah ke rambutmu," kataku lembut.
Istriku pun terkejut. Dan hanya terdengar dengus nafasnya. Â Hadeuuuwww. Â Ini pasti lagi naik tegangan.
"Terus apa saranmu," katanya.
"Kalau di dusun zaman dulu. Orang kutuan itu kepalanya didekatkan dengan monyet dan monyet akan mencari kutu dan memakannya," kataku dengan tenang.
"Oke nanti aku akan ajak Kayla ke Ragunan. Â Aku akan mencari kandang monyet untuk membersihkan kepala anakmu," katanya tenang tapi tajam.
Aku nggak nyangka kalau candaanku disambar oleh istriku. Aku nggak akan bisa membayangkan kalau rambut ikal Kayla dipegang-pegang oleh monyet.  Yak  wa. *)
"Jangan!  Jangan  ya,  sayangku.  Duh...  bukan begitu. Aku hanya bercanda, sayangku.  Please.  Kan zaman now ada obat anti kutu.  Nah,  sekalian dirimu juga untuk memakai obat anti kutu. Sisir Kayla juga dipisahin.  Jangan sampai Kakak dan Kevin makai sisir Kayla. Bantalnya dijemur," kataku.
"Pleasedeh.  Kamu  kok malah menceramahi aku.  Kayak aku tak tahu SOP saja," katanya.
"Sayangku itulah yang aku suka darimu. Kita ini seperti mau berperang padahal  hik hik hik.  Kalau perang beneran aku yang nggak kuat sayang.  Hadeuuhhhwww,".
Kayla diobati dengan obat anti kutu rambutnya setelah itu langsung ditutupi dengan kupluk  Kevin agar kutunya mati sendiri. Dari video yang dikirim dia masih saja senyam-senyum ketika diobati dan kepalanya dipakaikan kupluk.
Kevin yang melihat aksi ibunya memakaikan kupluk miliknya jadi protes.
"Ibu, aduh jangan. Itu kupluk kesayangan Kevin. Ada nama Kevin," protesnya.
"Dipinjam. Paling juga tiga hari. Setelah itu dicuci kok. Nanti, Kayla yang cuci."
Seperti biasa, Mbok Asih yang mendengar  anak kandungnya -- Kayla yang diasuhnya  sejak umur 6 bulan dan sudah dianggap seperti anak sendiri--  "diserang" oleh Kevin, langsung datang dan melapor pada istriku kalau gas habis.
Kevin yang membaca situasi tak baik ini, nyengir dan cuma bisa bilang, Â "Ya, Â Mbok".
Dan Kevin yang menjadi menteri dalam negeri di rumah kami, segera mengeluarkan troli sederhana untuk meletakkan tabung gas kosong dan membelinya di warung belakang rumah. Beli gas dan beli galon air sudah menjadi kewajibannya. Di rumah kami memang ada pembagian kerja.
Aku dulu membuat troli sederhana itu karena terpingkal-pingkal  (lebih tepatnya kasihan) melihat Kevin harus berhenti setiap sepuluh langkah mengangkat tabung gas atau galon air sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang pegal. Dengan troli itu dia senang karena kalau ke warung belakang, galon atau tabung gas yang ditukarnya bisa dia dorong dengan satu kaki dan tubuh tinggi besarnya pun bisa ikut naik troli.
Dan cerdiknya Kevin kalau menukar tabung kosong dia akan mencari yang berwarna ungu. Warna kesukaan istriku. Pasalnya kalau dia membawa tabung warna ungu, hati ibunya jadi senang.  Kalau hati ibunya senang  maka dia bakal dapat  upah digorengin pempek kapal  selem  2 buah. Â
Habis pasti...! Kakak dan Kayla hanya bisa  mbatin demikian pula dengan aku, nih anak kalau makan pempek berapapun habis.  Ups di rumah itu selalu tersedia  stock pempek kapal  selem dan pempek  kecik.  Kalau tidak makan pempek dan  idak  ngirup  cuko sehari saja, pusing kepala istriku. Sudah kecanduan katanya membela diri.  Yah... begitulah kebiasaan wong kito galo yang gilo pempek.
Jelang matahari tenggelam aku mendapat kiriman WA.
"Sayang aku potong rambut  jadi pendek ya.  Kayaknya kutunya masih gak mati. Kulit kepalaku masih gatal. Kamu nggak mau aku kutuan  kan,".
WA itu tak kubalas, melainkan langsung aku telepon.
"Sayangku, rambutmu mesti sebahu, kita  kan sudah kontrak mati.  Please...  jangan dipotong rambutmu...  aku tak berdaya kalau tak melihat rambut ikal tergerai di bahu putihmu....  Oke, sayangku, cintaku, manisku?"
 "Meeeoong..." sahutnya
"Lho kok meong jawabnya?".
"Kan kucing yang biasa dipanggil  manis... manis... pus...".
Di seberang sana terdengar suara terkikik senang. Rupanya dia balas dendam karena aku tadi mengerjainya agar membersihkan kutu Kayla dengan monyet. Â
Malam ini aku kembali makan ubi kayu bakar yang gurih. Hujan deras kembali mengguyur Punggung Bukit Barisan Sumatra.
Dan jam 20.07 aku pun mendapat  emoticon hati dari istriku yang jaraknya lebih dari 700 km.
Aku tersenyum. Demikianlah keluarga kecil kami, dengan tiga anak, yang dibangun dengan gaya LDR - Â long distance rumah tangga.
Kehangatan keluarga bagi kami adalah ketika bisa menyelesaikan permasalahan keluarga dengan baik. Bisa berkumpul makan bareng ataupun kumpul bareng di teras. Bisa bergotongroyong dalam mengerjakan sesuatu dalam keluarga. Bahkan kalau lagi makan, telepon genggam dan telepon pintar disingkirkan. Hanya telepon genggam dan telepon pintar milik istriku yang bergetar dan berbunyi karena disitulah nafkah keluarga berjalan.
Semua seperti medan laga kalau kami berkumpul berlima. Orang pasti akan melihat sebagai sebuah keluarga yang tak akur, padahal itulah gaya kami. Kami sama-sama takut kehilangan satu sama lain. Satu hal  kehangatan keluarga setiap keluarga itu berbeda-beda dan memiliki ciri khas masing-masing.
Salam Indonesia, Salam Keluarga, Salam Kompasiana.
*) yak wa:  ya ampun dalam bahasa Palembang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H