Merindu adalah penyakit yang sangat susah disembuhkan secara medis maupun nonmedis. Sampai saat ini, sakit merindu belum ada obatnya. Bagi mahasiswa yang terkena penyakit merindu kalau tak bisa mengatasinya maka indeks prestasi bakal jeblok alias cuma mendapat 12 sks setiap semesternya. Â Bakal dilantik menjadi MA alias mahasiswa abadi.
Bagiku yang baru beberapa minggu terjangkit penyakit merindu karena ditinggal oleh Prameshwari terasa sangat menyakitkan. Â Yup, Â Prameshwari alias Mesh telah menjangkitiku menjelang akhir kuliah semester ganjil.
Telegram sudah dikirim dua kali tetapi belum ada balasan dari Mesh yang kini berada di Tanjung Bunga Pangkal Pinang, Bangka. Telegram telah dikirim melalui Warung Telkom di dekat universitas. Â Alamat jelas seperti yang dituliskan oleh Mesh di secarik kertas ketika berpisah di Talang Betutu telah kutuliskan dengan huruf cetak. Â Sudah dijelaskan kalau telegram sudah dikirim melalui Pos Indonesia karena jangkauannya tidak lagi dalam hantaran Telkom. Berdasarkan data yang masuk dari Telkom Pangkal Pinang, telegram sudah dikirim dan diterima.
Pikiranku melayang. Tubuhku lunglai. Hari-hari seperti ada yang hilang. Hampa.
Hampir tak pernah mengumbar cerita dengan teman-teman mengenai Mesh. Â Semua teman sepertinya tahu kalau aku sedang rindu dengan kekasih yang nun jauh di sana. Tak berkabar berita menimbulkan sakit kronis yang bisa berubah menjadi kanker, mengerogoti hati dan pikiran.
"Prameshwari sekarang di mana? " tanya Gung di depan kos usai makan malam di warung Santi.
"Bangka, Pangkal Pinang," jawabku.
"Jumat, Sabtu, Minggu tak ada kuliah. Berangkatlah ke Pangkal Pinang. Senin dan Selasa sekali-kali boloslah kuliah. Motor sudah kuisi penuh. Ini ada titipan dari Mul, Eka, Ratno dan aku untuk kau berangkat besok. Naiklah feri di 35 Ilir. Pakailah motor kobra tu. Sudah aku kecilkan spuyernya. Jadi  idak lagi minum bensin  tu motor," kata Gung sambil menyerahkan amplop sokongan teman-temanku.
Aku tercekat. Bergetar. Sebegitu perhatiannya teman-teman di pinggiran Sungai Sahang ini padaku. Padahal kuyakini teman-teman itu menyisihkan uang dari penghematan yang mereka lakukan. Â Sebuah pengorbanan yang membuatku bergidik.
Aku menolak, tetapi Gung memasukkan amplop itu ke kantong bajuku.  "Memberi, membantu itu ya sekarang ini. Jangan pernah kita membantu itu menunggu siap. Kita tidak akan pernah siap. Tidak akan ada yang tahu perjalanan hidup kita ke depan. Berangkatlah. Eka  samo Ratno sudah  belike tiket feri untuk besok sore.  Ado di amplop itu," kata Gung.
"Satu hal yang mesti kau ingat. Dirimu dan makhluk putih cantik itu beda jauh. Bagaikan bumi dan langit. Boleh kau nikmati kebahagiaan ini tetapi juga pada satu waktu kau harus rela kalau dia melepaskanmu. Ingat itu!!!" tambah Gung sang filsuf.