Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Buat Tuhan Cemburu

14 Januari 2018   13:17 Diperbarui: 14 Januari 2018   13:19 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sayang aku kirim tiket. Pulang  ya  Jumat".

Itu pesan WA dari istriku yang masuk menjelang malam. Pulang hari Jumat ini padahal baru seminggu lalu aku pulang ke rumah.

"Siap. Terimakasih. Muaahhh", balasku tanpa banyak tanya. Bagiku pulang ke rumah adalah waktu yang paling membahagiakan.

Di Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra aku kini berjuang untuk menatap hidup baru.  Yup  mengolah lahan untuk menyambung dan bertahan hidup. Ada rasa bahagia bila melihat tanaman tumbuh. Ada rasa bersyukur ketika tanamanan Toga bisa berbagi dan menolong sesama. Ada ledakan dalam tubuh dan jiwa yang tak bisa dijelaskan ketika melihat orang tersenyum dan terlepas beban.

Jumat sore terbanglah diriku dari Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra menuju kota terpadat di Pulau Jawa. Keluar dari ruang kedatangan, istri sudah menyambut. Peluk cium jidat menandai pertemuan kami.

Sepanjang perjalanan istri bercerita mengenai pekerjaannya yang kini menumpuk dan juga tingkah polah tiga mata yang makin menggemaskan sekaligus menjengkelkan.

"Kakak ternyata lebih cepat beradaptasi dengan android lungsuran. Tadinya dia agak ngambek ketika hanya mendapat android lungsuran. Tetapi akhirnya setelah dijelaskan mengenai kegunaan dan bukan gaya, dia bisa nerima. Android baruku pun dia yang setting," kata istriku nyerocos.

Menjelang malam di teras istriku mengungkapkan alasan dirinya memintaku pulang ke rumah.

"Aku akan ikut reuni angkatan kuliah. Teman-teman bilang aku nggak pernah kumpul reuni. Kali ini aku ingin ikut reuni. Bagaimana menurutmu,"  tanyanya.

"Ikutlah," kataku.

"Kamu nggak marah?"

"Kenapa harus marah?"

"Loh  aku akan ketemu dengan mantan pacarku sewaktu kuliah.  Dia juga menghubungiku agar aku ikut reuni".

Akupun tertawa mendengar penjelasan istriku. Perempuan berambut ikal sebahu ini yang telah menjadi istriku hampir dua puluh tahun memang pandai memainkan drama rumah tangga. Pandai membuat prolog dan pandai menyentuh hatiku yang paling dalam.

"Nggak apa-apa memang kenapa kalau dia menghubungimu dan juga mengajakmu untuk reuni? Mau Cinta Lama Belum Kelarkah?" candaku sambil tersenyum.

"Tidaklah. Aku sudah cukup dengan dirimu dan anak-anak. Aku sudah cukup dengan bahagia ini.  Loh  kalau aku memilihnya belum tentu aku akan mendapatkan Sang Kakak, Kevin dan Kayla yang ganteng cantik dan pintar. Aku mungkin juga tidak akan bisa meraih pendidikan strata 3. Semua itu bagiku adalah perjalanan hidup yang patut aku syukuri. Aku tidak pernah menoleh ke belakang apalagi bernostalgia yang tak perlu," katanya sambil menyandarkan kepalanya ke lenganku. Sebuah kebiasaan yang tak pernah lepas ketika dia harus berjuang di strata 2 dan 3 serta berjuang hamil tiga mata.

"Terus persetujuan yang mahal ini harus bagaimana," kataku.

"Mahal?"

"Ya mahal  lah.  Tiket pesawat Sumatra Jawa Pulang Pergi. Kan mahal".

"Tidak mahal  lah.  Itu suatu kewajiban. Keputusan yang harus dibuat baik kau setuju ataupun tidak untuk hal yang bisa menyinggung perasaan, kau harus tahu dan lebih baik dibicarakan seperti ini".

Ku kecup keningnya dan kubisikkan di telinganya sebuah kalimat yang membuatnya tertunduk.

"Aku setuju. Terimakasih sudah jujur padaku. Aku tahunya kau baik-baik saja di depanku.Aku tidak tahu apa yang bisa kau perbuat di belakangku. Aku saja tidak tahu apa yang bisa kau lakukan dengan gawaimu. Hal yang sama juga bisa berlaku padaku".

Istriku pun membalas dengan lembut. "Aku tak akan membuat Tuhan cemburu".

Minggu pagi aku bersama anak-anak mengantarkan istri tercinta ke titik pertemuan di sebuah taman. Istriku pun terlihat ceria dengan teman-temannya. Istriku pun mengenalkan pada beberapa temannya termasuk kepada mantan pacarnya.

Reuni mereka dilakukan di kota hujan. Sekitar tiga jam perjalanan.

"Aku akan pulang sebelum pukul 6 sore".

"Nikmatilah waktumu," kataku.

Aku bersama Sang Kakak, Kevin dan Kayla pulang ke rumah. Kami menunggu bubur ayam yang dijual dengan menggunakan motor. Usai makan bubur, aku menantang Kevin untuk masak nasi goreng buat makan siang.

Aku membayangkan kalau dia akan kesulitan untuk mengulek bumbu tetapi aku ternyata salah total. Bagaikan seorang  chef  Kevin mengiris halus bawang merah dan bawang putih serta cabe rawit. Dua mata kompor dihidupkan. Dua kuali diletakkan dan api diatur.

Ayam bumbu yang sudah direbus di kulkas dia suwir-suwir. Selada air dia bersihkan. Telur diorak arik. Wortel dan ketimun di potong dengan parutan khusus. Terakhir dia minta Kayla untuk beli bumbu nasi goreng di warung serba ada di belakang rumah dan meminta Kakak untuk menyusun piring di meja makan.

"Curang," protesku.

Kakak dan Kevin pun tertawa ngakak.

"Maaf Ayah. Kalau dulu Ayah ribet dengan  ngulek.  Sekarang sudah zaman now. Kalau lelaki nggak bisa masak  ya  bukan lelaki zaman now," kata Kevin tertawa ngakak diikuti dengan Sang Kakak.

Bumbu yang dibeli oleh Kayla dimasukkan Kevin terakhir kali. Ditabur-tabur di nasi yang ada di kuali dan diaduk-aduk. Dan dia pun menyediakan nasi goreng untuk makan siang kami dengan cantik. Nasi goreng selada air timun dan wortel ditatanya di atas piring.

Sebelum makan kami berdoa bersama, bersyukur atas semua nikmat yang telah kami terima hari ini. Kevin pun mengunggah foto nasi goreng dan swafoto ke WA ibunya.

Ibunya pun langsung membalas dengan video call mengucapkan selamat makan dan meminta berbicara padaku.

"Aku cemburu. Aku akan buatkan pempek kapal selam nanti," katanya.

Anak-anak pun langsung menyambutnya dengan tepuk tangan dan teriak horee. "Love u ibu," kata mereka serempak.

Istriku sampai di rumah sebelum jam enam sore. Dia sengaja memilih pulang cepat dengan alasan anak-anak membutuhkannya. Padahal menurut jadwal acara reuni akan berakhir pukul enam sore.

Malamnya di teras istriku kembali menyandarkan kepalanya di lenganku.

"Semoga kau sudah mengerti mengenai pernyataan Jangan Buat Tuhan Cemburu".

Aku tersentak. Aku Cuma bisa tersenyum dan membelai rambutnya dan akhirnya kepala itupun rebah di pahaku.

Aku berusaha keras untuk menyambungkan potongan-potongan kejadian kemarin dan hari ini tetapi masih belum mendapat gambaran. Apakah karena aku lelaki atau aku memang belum mencapai apa yang telah istriku capai? Entahlah, semoga waktu akan menjawabnya.

logo-kompal-baru-5a5af3cdcbe5230a7e67e312.jpg
logo-kompal-baru-5a5af3cdcbe5230a7e67e312.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun