"Kenapa harus marah?"
"Loh aku akan ketemu dengan mantan pacarku sewaktu kuliah.  Dia juga menghubungiku agar aku ikut reuni".
Akupun tertawa mendengar penjelasan istriku. Perempuan berambut ikal sebahu ini yang telah menjadi istriku hampir dua puluh tahun memang pandai memainkan drama rumah tangga. Pandai membuat prolog dan pandai menyentuh hatiku yang paling dalam.
"Nggak apa-apa memang kenapa kalau dia menghubungimu dan juga mengajakmu untuk reuni? Mau Cinta Lama Belum Kelarkah?" candaku sambil tersenyum.
"Tidaklah. Aku sudah cukup dengan dirimu dan anak-anak. Aku sudah cukup dengan bahagia ini.  Loh kalau aku memilihnya belum tentu aku akan mendapatkan Sang Kakak, Kevin dan Kayla yang ganteng cantik dan pintar. Aku mungkin juga tidak akan bisa meraih pendidikan strata 3. Semua itu bagiku adalah perjalanan hidup yang patut aku syukuri. Aku tidak pernah menoleh ke belakang apalagi bernostalgia yang tak perlu," katanya sambil menyandarkan kepalanya ke lenganku. Sebuah kebiasaan yang tak pernah lepas ketika dia harus berjuang di strata 2 dan 3 serta berjuang hamil tiga mata.
"Terus persetujuan yang mahal ini harus bagaimana," kataku.
"Mahal?"
"Ya mahal  lah.  Tiket pesawat Sumatra Jawa Pulang Pergi. Kan mahal".
"Tidak mahal  lah.  Itu suatu kewajiban. Keputusan yang harus dibuat baik kau setuju ataupun tidak untuk hal yang bisa menyinggung perasaan, kau harus tahu dan lebih baik dibicarakan seperti ini".
Ku kecup keningnya dan kubisikkan di telinganya sebuah kalimat yang membuatnya tertunduk.
"Aku setuju. Terimakasih sudah jujur padaku. Aku tahunya kau baik-baik saja di depanku.Aku tidak tahu apa yang bisa kau perbuat di belakangku. Aku saja tidak tahu apa yang bisa kau lakukan dengan gawaimu. Hal yang sama juga bisa berlaku padaku".