Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Brondong dan Istriku

31 Desember 2017   00:28 Diperbarui: 31 Desember 2017   07:48 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WA I Foto dokumentasi pribadi

"Brondong tak tahu diri"

"Aku kecewa"

"Aku mencintaimu tulus"

"Menyakitkan hati"

***

Itu adalah kiriman WA istriku padaku. Pagi sekitar jam 06.30. Saat aku naik ke kebun. Suami mana yang tidak cemburu dengan kiriman WA istri seperti itu? Tetapi aku tetap tenang walau sedikit terkesiap.

Aku belajar dari temanku. Temanku dulu saking banyaknya telepon pintar miliknya dan WA nya suatu hari salah kirim informasi. Padahal temanku dan istrinya lagi di meja makan. Akibatnya sudah bisa ditebak. Makan malam bersama istri jadi buyar.  Hik hik hik.  Sedih banget.

Telepon pintar istriku ada dua. Dan satu ipad yang dijadikan kantor. Jadi.... Jangan berprasangka.

WA istriku tak kukomentari. Aku menanti.

Setelah sampai di pondok kebun. Aku pun membalas WA. "Kenapa?".

"Aku dandan terus dia bilang, nah tumben dandan rapi. Bedaknya gak keputihan, alis rapi".

"Kelihatan natural".

"Cantik nggak?".

"Dia diem saja".

"Kok nggak jawab cantik apa nggak?".

Mulai dari sinilah aku sudah tertawa terpingkal. Pondok kebunku sampai goyang. Karena aku sudah tahu siapa si berondong yang dimaksud.

"Rayuanmu gombal selama ini".

"Gombal apanya?" tanyaku balik.

"Kau bilang aku cantik walau sudah melahirkan 3 mata".

"Rambut bergelombangku seksi. Dan aku kontrak mati untuk menjaga rambutku tetap sebahu".

"Hari ini aku tahu aku tak cantik".

"Aku gemuk. Aku mau sedot lemak".

Ya.  Kalau sudah seperti ini, bakal keluar duit tabungan sejuta untuk beli tiket pulang ke rumah di Taman S. Istriku termasuk orang yang lambat berdamai dengan dirinya. Sudah hampir tiga puluh tahun kami berkumpul. Jadi aku bisa memahaminya.

Aku tak mau pekerjaannya yang penuh ketelitian dan juga ketepatan plus kecepatan sesuai dengan target SOP yang dibuat jadi terganggu. Itu aku tahu banget. Terkadang jam tiga dini hari dibangunkan oleh telepon untuk melihat kantor tujuh inchi karena ada keadaan darurat.

***

Aku menunggu sampai pukul 07.00. Belum ada WA lanjutan.

Akhirnya aku memilih menelpon dirinya. "Di mana?"

"Mau ke SM dan ke PD".

"Aku pulang. Sore nanti jemput aku di Halim".

"Terimakasih," katanya.

Aku tahu jawaban singkatnya "terimakasih" itu artinya dia belum reda dan berdamai dengan dirinya. Masih  dongkol.  Artinya aku pulang adalah keputusan yang tepat.

Selama dalam pesawat aku pun main tebak-tebakan dengan diriku. Kakak atau Kevin yang membuat istriku kecewa. Dua lelaki itu memang sering buat kekacauan yang menyebalkan sekaligus dirindukan.

Kali ini aku menebak Kakak yang ngomong terus terang, kalau ibunya tak cantik. Kakak suatu pagi di hari libur ketika kami berdua sedang makan bubur ayam Kali Pasir di sekitaran Menteng, pernah aku godain.

"Kak sudah punya cewek yang ditaksir belum".

"Belumlah yah. Malu masih kecil gini".

Ya, tubuh Kakak memang relatif lebih tinggi dibandingkan rekan sebayanya. Baju dan celanaku pun sudah muat padanya. Termasuk sepatu.

"Masak sih nggak ada godaku".

"Ada sih yah tetapi Kakak malu. Pintar juara kelas. Dulu bersaing dengan kakak".

"Gemuk atau langsing".

"Langsing lah yah".

"Rambutnya keriting bergelombang seperti ibu atau lurus".

"Lurus".

Ketika sedang asik makan bubur. Datanglah seorang perempuan tinggi semampai dengan rambut dipotong pendek. Memakai rok di atas lutut. Beninglah. Memesan bubur untuk dibawa pulang.

Kakak menyenggol pinggangku dan memandang sambil mengerlingku.

Aku bilang, "not my type."

Sambil memberikan emping buburnya padaku. Anak lelakiku mengangkat jempolnya.

"This is father and son talk. I love it," katanya.

Ingatanku mengenai sarapan bubur berdua dengan si bujang, menguak brondong nakal yang mengecewakan istriku. Aku tersenyum. Istriku kena batunya.

Ketika mendarat di Halim dari Atung Bungsu aku yang cuma membawa tas kamera langsung keluar. Celingukan  sebentar aku menemukan istriku yang melambaikan tangannya.

"Mobil parkir di mana?" tanyaku bergegas menyeberang jalan.

"Tunggu. Anak-anak lagi makan Bakso Afung," kata istriku.

Baru kami mau ke arah mereka, terlihatlah tiga mata terdiri dari dua lelaki dan satu perempuan berjalan menghampiri kami. Dalam hatiku dulu, untung aku bisa merayu istriku untuk melahirkan tiga mata dari rahimnya. Dulu istriku cuma bilang mau melahirkan satu kali saja.

"Ayah makin hitam saja," kata Kakak.

"Makin gendut juga perutnya," kata Kevin.

"Bagi Ibu, adek yakin, Ayah tetap ganteng kok," kata Kayla sambil memelukku.

"Sudah ayo pulang," kataku.

Di dalam mobil seperti biasa ada pertanyaan bertubi dari Kakak dan Kevin mengenai pondok di kebun dan juga ayam kampungnya yang dulu dibeli dari dusun sebelah sudah beranak berapa, serta tanaman sudah setinggi apa, kalangan bagaimana? Kayla tak mengajukan pertanyaan karena belum pernah ke sana.

Di Lampu merah Matraman aku berbisik, pada istriku. "Kakak yang bilang, not my type".

Dan istriku langsung tertawa. "Darimana kamu tahu?".

Aku tak menjawab. Kami pun tiba di rumah di Taman S.

Malamnya ketika istriku masih sibuk dengan kantor tujuh inchinya aku membuatkan teh panas. Tiga mata sudah bergelimpangan di ruang tengah. Sengaja tak kusuruh mereka pindah ke kamar. Tak terasa kini mereka sudah besar-besar.

Di temaram lampu hias depan rumah. Kuberikan teh panas. Kuambilkan kue kering. Istriku masih asik dengan kantornya.

Akupun memilih untuk duduk disampingnya. Kulirik, jumlah otorisasi istriku dua puluh empat jam terakhir adalah 127 untuk kota P. Aku tak tahu jumlah tiga kota lainnya.

"Aku sayang kau. Teh panasmu," kataku.

"Terimakasih. Ini lagi banyak penggemarku. Ada  emergency lagi".

"Masih ngambek sama brondong".

"Nggak lagi karena ada kamu".

Dan sudah jadi kebiasaannya, adalah istriku menyandarkan kepalanya ke pundakku. Kuhitung maksimal 30 menit  nih  dia kerja.

Dan  Oo0 Laa Laa.  Benar. Kurang dari tiga puluh menit malah.

"Kau yakin aku masih cantik?" katanya sambil menyeruput teh.

"Ia  lah  kenapa? Kalau kau nggak cantik aku nggak akan bilang kau cantik dulu di kebun karet".

Ketika kami masuk ke dalam rumah di ruang tengah, tiga mata terlelap, tergeletak malang melintang. Kami memandangi mereka. Aku sangat suka pemandangan ini. Sambil kugenggam tangannya, kusampaikan mereka buah cinta kita.

Kuremas tangannya dan kurengkuh pinggangnya dan kucium jidatnya.

"Kalau kau nggak cantik aku nggak akan minta nambah dua anak lagi setelah Kakak".

"Itu karena kau curang".

"Ha ha ha.  Karena aku berhasil membuatmu lupa masa suburmu. Kau suka kan".

"Kau cantik pada masanya. Waktu tak bisa dilawan. Kau gemuk karena mengandung mereka".

"Nak  gemuk kurus. Nak  rambut jadi lurus dan putih. Aku cinta kau apa adanya".

"Aku di kebun tadi cemburu padamu. Makanya aku pulang," rayuku di telinga istriku.

Kami pun  berjinjit  melangkahi anak-anak yang tidur di ruang tengah. Jebakan nyamuk ruang tengah kuhidupkan agar anak-anak tidak digigiti nyamuk.

Dengan masih tangan di pinggang dan hujan mulai turun mengguyur. Aku menghidupkan lampu kamar.

"Kalian bertiga sama. Pandai meluluhkanku," bisik istriku.

"Keturunan siapa itu," tambahnya di kupingku. Dan hujan pun makin deras di dini hari.

logo-kompal-baru-5a47cc18f13344736f4b6492.jpg
logo-kompal-baru-5a47cc18f13344736f4b6492.jpg
l

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun