Jembatan Ampera terlihat kokoh. Sebuah jembatan penanda Palembang. Kami pun berhenti di dermaga River Side.
Matahari pagi terlihat malu-malu muncul. Dimsun yang dipesan istriku pun muncul. Satu persatu pun meluncur ke perut yang memang butuh diasup.
Potongan buah dan  banana  ice  cream yang dipesan pun mendekati ludes. Sang istri meminta difotokan potongan buah yang sudah disusun menjadi lambang hati dengan latar Jembatan Ampera.
"Aku lelah sayang. Aku ke Yogyakarta, Pontianak, Pekanbaru, Â dan kini Palembang. Empat kota dalam seminggu. Mesti dijalani setiap bulan," ujarnya sambil menatapku.
"Aku butuh kamu".
"Bolehkah aku berhenti atau menambah satu kota lagi karena sudah ada tawaran yang masuk, seminggu yang lalu," katanya sambil menyandarkan kepalanya ke pundakku.
"Sayang, malu dilihat orang," kataku lembut.
Istriku bangkit dan langsung memainkan tuts digital dan datanglah mobil online. Mobil pun mengarah ke penginapan di dekat kantor. Ya, istri walau bekerja di rumah sambil mengasuh tiga anak bandel, juga masih punya kantor yang harus dilihat sebulan sekali.
"Aku rapat dulu. Tiga puluh menit. Barangku sudah di concierge," katanya berjalan ke kantor sambil melemparkan sebuah kartu padaku. Aku tersenyum. Artinya sebelum ke Musi II, istriku sudah terlebih dulu ke hotel.
Dari lantai delapan hotel aku melihat dirinya melambai ke atas. Kurang dari 20 menit rapatnya.
Begitu di dalam kamar, ipad dan 2 telepon pintarnya langsung disunyikan. Dia pun mengambil telepon genggamku dan telepon pintarku langsung dimode mati.