Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Bersongket di Sungai Musi

15 Desember 2017   10:51 Diperbarui: 15 Desember 2017   11:09 1503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sukses. Pengobatan dan sunatan masal masuk tabloid kampus. Empat foto pun menjadi pendukung. Satu foto yang bikin senyum adalah ketika seorang anak lelaki yang berlari dikejar oleh ayahnya dan koas lelaki karena takut disunat.

Sang pembawa berita datang ke fakultas, ketika aku sedang duduk di bawah pohon beringin. "Salam dari Mesh. Besok kami akan mengadakan syukuran di  Restoran Apung Musi.  Bila sempat datanglah. Kami cuma dua jam di sana dari jam 11."

Malamnya aku gelisah.  Aku harus belajar tetapi juga kepala terbelah dengan Prameshwari yang cuma memberikan waktu dua jam.  Ujian jelang siang mengenai Sistem Sosial Indonesia membuatku malam itu harus belajar efektif dan efisien agar besok bisa menyelesaikan ujian cepat dan akurat.

Selesai sudah. Aku tak memikirkan hasilnya. Casioku menunjukkan 12.11. Artinya aku hanya punya waktu  49 menit untuk sampai di  Restoran Apung Musi  di  Benteng Kuto Besak, tepian Sungai Musi.

Sekali lagi RX King Cobra milik Gung menjadi moda transportasi pilihan yang tak terelakkan. Entah kenapa tiba-tiba stang motor RX King itu ketika menuruni Padang Selasa membelok ke Kemang Manis dan keluar ke PDAM menembus ke Simpang Tangga Buntung dan langsung menelusuri daerah Suro dan sudah  di depan Restoran Apung Musi,  7 menit.  Gila !

Aku pun masuk dan mencari-cari Prameshwari.  Si pembawa berita terlihat keluar dari kapal.  Aku pun berjalan ke arahnya. "Dia ada di haluan. Kami pulang dulu ya, besok akan ke daerah lagi," katanya sambil lalu.

Akupun masuk ke kapal, di haluan kulihat seorang perempuan berkebaya hitam memandang ke arah Jembatan Ampera yang menjadi Land Mark Kota Palembang.  Sebuah jembatan yang menghubungkan daerah Ulu dan Ilir.

Angin sungai yang lembut menerpa rambut hitamnya yang tergerai.  Matanya lurus ke depan memandang Kampung Kapitan*)  dan rumah-rumah rakit yang berayun di pinggiran Sungai Musi.  Lalu-lalangnya motor ketek.**)   Denyut kehidupan sungai yang tak pernah berhenti.  Dirinya tak hirau dengan kulitnya yang mungkin akan  tanning  terpapar mentari.  Mesh seakan-akan menyerap masa lalu dari Sungai Musi.

Akupun tak berani mengganggunya.  Aku justru sangat menikmati  panorama Prameshwari di latar Jembatan Ampera.  Sebuah pemandangan indah, dengan lekuk tubuhnya, songketnya serta tangannya.

Satu pertanyaanku dalam hati adalah apakah dia  berdandan  hanya untukku atau memang khusus untuk syukuran kegiatan pengobatan gratis dan sunatan massal? Si pembawa berita dan teman-temannya yang sudah pulang hanya mengenakan pakaian nonformal.

Dengan mengumpulkan keberanian karena jantungku sepertinya tak bisa diajak kompromi untuk tenang, aku mendekati Prameshwari.

"Selamat Siang, Bu apakah akan memesan minuman dingin untuk siang yang panas ini?".

"Boleh. Aku pesan  es kacang merah untuk seorang lelaki yang menikmati diriku sejak pertama kali dia datang".

Prameshwari tidak menoleh sedikitpun. Dia tetap memandang ke Kampung Kapitan di Ulu.

Hiiiii... Ternyata dia sudah tahu kehadiranku di geladak.

"Bagaimana kau tahu?".

"Pertama, dirimu adalah orang baik. Sedikit nakal. Berani mengambil resiko. Ceroboh. Berusaha baik dalam setiap pekerjaan".

"Kedua, dirimu selalu berkeringat bila dalam tekanan.  Nah,  keringatmu itu yang baunya mampir ke hidungku sebagai tanda kalau itu dirimu ada di geladak. Mengalahkan ciri khas hawa sungai".

"Ha ha ha ha.  Dirimu nakal dan sok pintar menganalisis orang."

"Kalau aku tak pintar, aku tak masuk kedokteran.  Aku harus menganalisis  anamnesis. Aku harus melihat kondisi pasien.  Kalau aku ragu maka aku akan minta tes labor.  Baru aku menegakkan diagnosis.".

"Mantap.  Loh  kan belum jadi dokter".

"Ha ha ha ha.  Iya. Sudah duduk  yuk".  Sambil Prameshwari berbalik menghadapku.

Akupun terperangah. Riasan sederhana pada alis, bulu mata, pipi dan bibirnya semakin menonjolkan kecantikan alaminya, membuat jantungku berhenti berdetak.  Mataku nanar. Nafas sempat terhenti. Tangan dan dengkulku lemas. Mulutku terkunci.

Tak percaya Mesh bisa begitu berubah total. Di lokasi pengobatan massal dia terlihat tegas, kokoh dan tomboy lebih tepatnya. Tetapi di haluan ini dia menjadi perempuan ayu yang menggetarkan hati.

"Aku generasi keempat belas di Palembang. Aku adalah keturunan Kapitan dari ibuku."

Pantas sikapnya, berani  dan sedikit priyayi karena ternyata dia keturunan Kapitan, batinku.

"Bapakku asli dari Danau Ranau Komering***). Takdirku sepertinya tidak pernah jauh-jauh dari sungai.," katanya mantap sambil tersenyum.

"Aku berharap nanti PTT****) pun tidak akan jauh-jauh dari sungai."

"Pesanlah. Makanlah apapun. Sudah dibayar semua".

"Yang benar saja.. "

"Kenapa? Tak percaya?" ujarnya.

Akupun memesan  es kacang merah dan  pempek kapal selam.

Lamat-lamat lagu yang diputar restoran sampai di meja kami.

...

Terpesona aku melihat wajahnya
Tatkala aku duduk di dekatnya
Sebiduk seiring aku menyeberang
Berperahu ke seberang sungai Musi

Ombak pun datang
Perahu ku pun oleng
Tersentuhlah ia olehku *****)

"Terimakasih ya sudah memasukkan kegiatan kami ke tabloid kampus".

"Tidak ada fotomu," jelasku.

"Tidak apa-apa. Memang begitu seharusnya. Aku tidak mau terkenal. Aku hanya ordinary woman, hanya perempuan biasa, " Ujarnya sambil meladeniku makan dengan luwes menuangkan cuko ke pempek kapal selam.

"Tahukah kamu pempek ini berasal dari budaya cina peranakan, budaya baba dan nyonya di Palembang."  

"Ternyata kau membaca buku antropologi juga ya, selain membaca buku kedokteran."

Prameshwari mengerlingkan  matanya lalu tersenyum. 

Ah... jelitanya... serasa semut menjalari  jariku lalu mencubit-cubit hatiku.

 "Aku memakai kebaya dan songket ini untukmu. Kamu pasti tahu bahwa memakai songket adalah suatu bentuk penghormatan.  Nah...  ini bentuk penghormatanku padamu karena sudah menepati salah satu janjimu pada janji kelingking kita.".

Pernyataan dan gerak luwes Prameshwari meladeniku membuat rasa berkeinginan untuk mengetahui siapa sebenarnya Sang Penari ini makin membuncah. Pintar tetapi low profile dan beradat.

"Kenapa kau selalu bermain dengan waktu setiap kali kau ingin bertemu denganku?" tanyaku.

"Waktu itulah yang tidak aku punya. Makanya aku selalu memberimu waktu agar tidak pernah menyia-nyiakan waktumu yang kau miliki".

"Jangan pernah menyesal apalagi sampai berkata, seandainya  dulu aku ... atau berkeinginan membalikkan waktu".

"Get  what  you  can  get,"  lanjut Prameshwari.

Satu kapal tongkang penuh berisi batubara lewat membuat kapal berayun. Perlahan tetapi pasti  dua tug  boat  menarik dan mendorong tongkang melewati bawah Jembatan Ampera.

"Aku dan teman-teman akan pergi cukup lama. Jaga dirimu. Belajarlah mengenai waktu. Suatu hari nanti kau akan mengerti perjalanan janji kelingking ini".

Pandangan matanya menusuk, menembus tulang sumsum.  Jeri.

"Tak usah repot mencariku. Kita pasti akan bertemu bila sudah waktunya."

"Apakah kau menikmati waktu bersamaku?" tanyanya sambil tersenyum.

"Aku sungguh menikmatinya," kataku.

"Apakah ini berarti kita pacaran ?" lanjutku.

"Menurutmu...? ".

"Waktu kita habis. Jangan ikuti aku. Nikmatilah aku ketika aku berjalan,"  katanya sambil berdiri.

Aku melihat jamku, 12.58.  Jangkrik cepat sekali.

Prameshwari melangkah meninggalkanku yang masih bergelayut rindu.

Langkahnya berirama. Setiap kaki kanan melangkah disusul kaki kiri di depan. Demikian seterusnya.  Lurus. Kebaya hitamnya. Rambut hitamnya dan kulitnya yang putih membuatnya menjadi eye catching. Songket yang dikenakannya tak menghalanginya berjalan bak peragawati.

Seorang lelaki bertubuh tegap dan putih berdiri di depan restauran. Masuk dan kemudian membayar di kasir.

Sedan Corolla DX berhenti tepat depan restoran. Si lelaki yang membayar di kasir terlihat berlari membukakan pintu untuk Prameshwari. Mobil pun meninggalkan  Restoran Apung Musi  .

Aku melihat sisa kacang merah  di piring yang membentuk hati.  

"Nakal dan pandai," gumamku.

Aku melirik jamku. 13.00.38. Sudah dia atur sedetail-detailnya.

"Lawan yang tangguh," batinku.

Siapakah engkau hai Prameshwari yang penari dan tak punya waktu?

logo-kompal-baru-5a3341d6dd0fa83988658245.jpg
logo-kompal-baru-5a3341d6dd0fa83988658245.jpg
*) http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/06/kampung-kapitan-palembang-jejak-pertama-keturunan-tionghoa

**) motor ketek: perahu dari kayu yang bisa mengangkut sekitar 6 orang yang ditenagai dengan mesin.

***) Komering:  Salah satu suku di Sumatra Selatan, berdiam di hulu Sungai Musi, mulai dari Kabupaten Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Timur dan Ogan Komering Ulu Selatan.

****) PTT: Dokter PTT adalah dokter pegawai tidak tetap (PTT) yang harus dijalani dokter yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri sebagai kewajiban karena pendidikannya disubsidi oleh negara.

*****)Sebiduk di Sungai Musi dinyanyikan oleh Alfian. 1963

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun