Lagi-lagi Sanelope tersenyum. Giginya yang putih. Lesung pipitnya. Potongan rambutnya yang pendek membuat leher jenjangnya terlihat. Tubuhnya yang dibalut oleh kaos putih terlihat sexy.
Pondok yang berukuran dua meter kali dua meter, terbuat dari bambu inipun penuh oleh kami berdua. “Jujurlah padaku. Kau tadi sudah nyaris mati. Masih tak mau jujur,” pintanya.
Bayangan dosa-dosa yang pernah ku perbuat membuatku semakin melemah. Mabuk, zinah, selingkuh dan dosa-dosa besar lainnya pun melintas. “Kau setan,” sergahku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana kuatnya Sanelope menyeretku hingga ke pondok.
“Betul. Aku patuh dan selalu taat dengan sumpahku pada Tuhan. Tapi kau kadang terlihat sangat baik dan bijaksana tetapi sebenarnya jahat. Alim tapi lebih buruk dariku,” jawabnya menyeringai.
Aku tak takut. Justru aku menikmati. Gemericik air hujan yang lamat-lamat mulai jatuh dari langit yang gelap. Sanelope sungguh pandai. Di sekeliling perapian sudah dibuatkan aliran air sehingga air hujan tak mematikan perapian.
Perempuan ini sepertinya sudah menyiapkan segalanya. “Aku ingin membuat anak denganmu,” katanya memecah kebekuan gulita.
“Ha ha ha ha. Memang malam ini kau subur. Enak saja,” balasku. “Aku subur. Dan siap punya anak darimu. Suka atau tidak. Malam ini kau akan membuat anak denganku.”
“Aku sehat. Belum pernah berhubungan dengan lelaki. Aku tak punya penyakit kelamin, HIV apalagi AIDS. Aku ingin membesarkan anak dan aku memilihmu.”
Jatungku berdegup kencang. Bayangan perempuan-perempuan yang pernah kutolak karena tak mau memeriksakan diri ketika si perempuan mengajakku bercinta. “Ha ha ha. Kita periksa dulu. Penyakit kelamin dan juga HIV AIDS. Agar nanti kita bersih. Jangan saling menyalahkan kalau ada yang sakit.”
Si perempuan yang merasa terhina pun langsung meninggalkan diriku. Ada juga yang nekat memeriksakan diri tetapi tak pernah jadi bercinta.
Kali ini diriku kena batunya. Entah kenapa tiba-tiba mataku terasa berat dan ada semacam beban berat yang menimpaku yang membuatku susah bernafas.