Pagi berkabut. Aku dan Sanelope serta seorang sopir sudah meliuk-liuk di kaki bukit Bukit Barisan Sumatra. Mobil mini pickup ini pun terkadang memainkan lampu dan juga menekan klakson di tikungan tajam. Kerlip lampu pondok-pondok terlihat di kejauhan. Wangi bunga Kopi pun melesat terendus oleh hidungku.
Sampai di bawah Jembatan Selangis. Kami pun menurunkan perahu dan juga peralatan. Hari masih gelap. Sorot lampu mobil menerangi Sungai Selangis yang suaranya terdengar nyaring. Kami pun melakukan pemanasan dan pelemasan otot. Mempersiapkan kamera. Memasang life jacket. Memakai helm arung jeram. Semua siap.
Mukaku agak tegang. Sanelope sepertinya melihatnya. “Takutkah?” Aku menggeleng. Mobil pun mundur dan meluncur ke Tanjung Mulak.
Bekal dan juga peralatan penting lainnya dimasukkan ke dalam dua dry bag. Perahu di gotong dan diturunkan ke sungai.
Sanelope pun di belakang dan aku di depan. “Ikuti perintahku saja,” ujarnya memecah kabut. Jeram-jeram kecil langsung menghadang di depan. “Keren,” teriaknya.
Cahaya matahari mulai menerobos hutan dan kebun. Memantulkan cahaya itu ke ceruk Sungai Selangis.
Beberapa warga terlihat melambaikan tangan melaksanakan aktivitas pagi di sungai. Pondok mereka di atas terlihat mengeluarkan asap panas menerobos hawa dingin sekitar.
Sanelope makin bersemangat mengayuh. Ia pun berteriak dan kadang malah tertawa lepas. Akupun mengabadikan gayanya. Terkadang menggunakan HP nya terkadang menggunakan MI ku.
Tiba-tiba suara gemuruh memekakkan telinga terdengar makin keras dan keras disertai dengan aliran air sungai yang makin membesar. “Banjir bandang,” teriakku. Sanelope menambah tenaga demikian pula dengan diriku yang turut membantu mendayung.
“Ambil kanan,” teriaknya. Perahu karet kami pun terangkat dan terbanting. “Tetap pegangan,” teriaknya. Lahan datar di bagian kanan itu menyelamatkan kami. Air pun menggerus apa saja. Kayu dan batu-batu besar terlihat teraduk-aduk di pagi buta itu.
Aku langsung drop. Dan tak sadarkan diri.