Yang ditagih tak sadar, kalau si penagih sebenarnya mengajari yang ditagih. Persoalannya sebenarnya bukan masalah yang ditagih tak mampu, tetapi memang yang ditagih ada kemampuan membayar tetapi berperilaku kurang terpuji.
Entah tiba-tiba suatu waktu, si penagih mendapat bisikan kata, “janji nuggu kate betaruh”. Tanya sana sini dan akhirnya ternyata bisikan itu berarti, “kalau berjanji harus ditepati”. Sebuah pesan moral yang sangat dalam artinya. Mempertaruhkan kata-kata. Mempertaruhkan janji. Bila orang sudah dicap tak lagi, “janji nunggu kate betaruh” maka habislah diri dan keluarganya sebagai orang yang tak bisa lagi dipercaya omongannya. Hidupnya pun susah.
Itulah ajaran sederhana tua-tua zaman dulu pada anak dan cucu yang terus disampaikan melalui internalisasi keluarga. Ahhh. Padahal dulu yang ditagih tidak hanya memimpin kepala keluarga tetapi juga memimpin ribuan warganya yang terdiri dari 21 desa.
Si penagih pun bertanya dalam hati, apakah yang ditagih sudah lupa dengan pesan puyang, “janji nunggu kate betaruh?”. Dan sipenagih pun mengirimkan cerpen ini pada yang ditagih.
Salam Kompasiana
Salam Fiksiana
Salam dari Punggung Bukit Barisan Sumatra
Salam KOMPAL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H