Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji Nunggu Kate Betaruh

8 Juli 2016   11:14 Diperbarui: 8 Juli 2016   11:16 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumentasi OtnasusidE

Pesan puyang dan juga orang-orang tua zaman dulu merupakan pegangan untuk membentuk suatu kelompok masyarakat. Menegakkan nilai-nilai dan mempertahankan suatu kelompok bahkan identitas kelompok. Nilai-nilai moral zaman dulu begitu luhur dan tinggi, pada kasus tertentu nilai moral itu masih relevan dalam kehidupan sekarang.

Di kawasan perbukitan barisan sumatera, di punggung-punggung bukit itu banyak dusun. Mereka bekerja keras mengolah tanah, beternak dan juga mengolah air agar dapat hidup. Dari punggung-punggung bukit itulah pesan-pesan dari orang-orang yang ditempa oleh seleksi alam itu muncul.

Punggung bukit kini sudah banyak berdiri pusat-pusat kota. Menjelang akhir bulan Maret, seorang teman yang menduduki suatu jabatan berjanji akan menyelesaikan kewajibannya. Si teman ini berjanji setelah sekian lama bermain-main dengan mengulur-ngulur waktu. Padahal kewajiban si penagih janji sudah diselesaikan sejak dua tahun lalu.

Agak aneh juga pikir si penagih. Usut punya usut ternyata si teman ini mendapat teguran langsung dari atasan tertingginya. Si atasan tertinggi mendapat laporan dari orang yang terkena sangkutan-sangkutan. Janji tersebut pun dipegang oleh si penagih janji. Bulan lewat, si penagih janji pun kembali menanyakan pada pemberi janji.

“Sabar Kak, ini kepala Admin lagi pergi. Aku masih  nunggunyo?”  katanya. Lain waktu, sebulan lewat lagi. “Aduh aku nunggu si pemegang  ponjen.  La  kutunggu-tunggu tapi belum muncul,” ujarnya. Dikesempatan lain,  “Duh  kak,  duitnyo  la  kutitipke  tadi dengan  wong  cuman  belum datang  jugo  wong  ni.  Kukiro sudah  nemui  kakak  dio”.

Bila yang ditagih tahu kalau si penagih satu kota dengannya maka, telepon tak diangkat-angkat. Tetapi bila tahu sipenagih dan yang ditagih tahu mereka tak satu kota maka telepon diangkat oleh yang ditagih.  “Aku lagi diluar kota. Besok  kito  ketemuan  yo”,  janjinya.  Ah,  keesokan harinya teleponpun mati dan bernada sibuk sepanjang hari.

Memasuki Ramadhan, janji kembali meluncur. “Kak ini lagi dihitung  duitnyo.  Semoga  bae, Idhul Fitri ini  biso  dilunasi.  Kito  ketemuan dulu”, katanya. Hingga lebaran usai pun antara si penagih dan yang ditagih tak pernah ketemu.

Pada titik inilah si penagih merasa sedih. Sedih karena yang ditagih terus menumpuk dosa. Berbohong dari satu bohong ke bohong lainnya. Belum lagi menyeret-nyeret orang yang sebenarnya tak ikut-ikut jadi terikut-ikut untuk membenarkan alasannya. Itupun sudah berdosa lagi karena orang-orang tersebut tak bersalah.

Teman si penagih bahkan berkata, “Kakak ni sabar tak bertepi”. Perkataan si teman penagih ini membuat si penagih tercenung. “Aku tak kasihan pada yang ditagih. Tapi aku kasihan pada anak-anaknya yang masih kecil. Aku kasihan kalau atasan tertingginya tahu kalau atasan tertingginya sudah dibohongi pula. Bisa pindah ke Pulau Timun yang ditagih ini”.

Dalam hati si penagih, terbayanglah anak-anaknya yang dulu jarang bertemu dengannya karena si penagih berkelana di dunia antah berantah. Tiba-tiba pulang si anak sudah besar-besar. Bahkan ketika si penagih mengantarkan ke sekolah setingkat menengah pertama, si penagih yang mencoba memeluk si anak, si anak meronta dan berkata, “Malu Pak, aku sudah besar. Aku bukan anak kecil lagi,” katanya.

Duh  Gusti.  Ampuni aku. Aku sudah berdosa. Melepas  the golden age  mereka. Padahal itulah salah satu tonggak pendirian penanaman nilai-nilai keluarga, kebersamaan, etika dan juga iman”, isak si penagih selama perjalanan pulang ke rumah.

Yang ditagih tak sadar, kalau si penagih sebenarnya mengajari yang ditagih. Persoalannya sebenarnya bukan masalah yang ditagih tak mampu, tetapi memang yang ditagih ada kemampuan membayar tetapi berperilaku kurang terpuji.

Entah tiba-tiba suatu waktu, si penagih mendapat bisikan kata, “janji nuggu kate betaruh”. Tanya sana sini dan akhirnya ternyata bisikan itu berarti, “kalau berjanji harus ditepati”. Sebuah pesan moral yang sangat dalam artinya. Mempertaruhkan kata-kata. Mempertaruhkan janji. Bila orang sudah dicap tak lagi, “janji nunggu kate betaruh” maka habislah diri dan keluarganya sebagai orang yang tak bisa lagi dipercaya omongannya. Hidupnya pun susah.

Itulah ajaran sederhana tua-tua zaman dulu pada anak dan cucu yang terus disampaikan melalui internalisasi keluarga.  Ahhh.  Padahal dulu yang ditagih tidak hanya memimpin kepala keluarga tetapi juga memimpin ribuan warganya yang terdiri dari 21 desa.

Si penagih pun bertanya dalam hati, apakah yang ditagih sudah lupa dengan pesan puyang, “janji nunggu kate betaruh?”.  Dan sipenagih pun mengirimkan cerpen ini pada yang ditagih.

Salam Kompasiana

Salam Fiksiana

Salam dari Punggung Bukit Barisan Sumatra

Salam KOMPAL

Foto dokumentasi OtnasusidE. Logo KOMPAL milik Admin.
Foto dokumentasi OtnasusidE. Logo KOMPAL milik Admin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun