Pesan puyang dan juga orang-orang tua zaman dulu merupakan pegangan untuk membentuk suatu kelompok masyarakat. Menegakkan nilai-nilai dan mempertahankan suatu kelompok bahkan identitas kelompok. Nilai-nilai moral zaman dulu begitu luhur dan tinggi, pada kasus tertentu nilai moral itu masih relevan dalam kehidupan sekarang.
Di kawasan perbukitan barisan sumatera, di punggung-punggung bukit itu banyak dusun. Mereka bekerja keras mengolah tanah, beternak dan juga mengolah air agar dapat hidup. Dari punggung-punggung bukit itulah pesan-pesan dari orang-orang yang ditempa oleh seleksi alam itu muncul.
Punggung bukit kini sudah banyak berdiri pusat-pusat kota. Menjelang akhir bulan Maret, seorang teman yang menduduki suatu jabatan berjanji akan menyelesaikan kewajibannya. Si teman ini berjanji setelah sekian lama bermain-main dengan mengulur-ngulur waktu. Padahal kewajiban si penagih janji sudah diselesaikan sejak dua tahun lalu.
Agak aneh juga pikir si penagih. Usut punya usut ternyata si teman ini mendapat teguran langsung dari atasan tertingginya. Si atasan tertinggi mendapat laporan dari orang yang terkena sangkutan-sangkutan. Janji tersebut pun dipegang oleh si penagih janji. Bulan lewat, si penagih janji pun kembali menanyakan pada pemberi janji.
“Sabar Kak, ini kepala Admin lagi pergi. Aku masih nunggunyo?” katanya. Lain waktu, sebulan lewat lagi. “Aduh aku nunggu si pemegang ponjen. La kutunggu-tunggu tapi belum muncul,” ujarnya. Dikesempatan lain, “Duh kak, duitnyo la kutitipke tadi dengan wong cuman belum datang jugo wong ni. Kukiro sudah nemui kakak dio”.
Bila yang ditagih tahu kalau si penagih satu kota dengannya maka, telepon tak diangkat-angkat. Tetapi bila tahu sipenagih dan yang ditagih tahu mereka tak satu kota maka telepon diangkat oleh yang ditagih. “Aku lagi diluar kota. Besok kito ketemuan yo”, janjinya. Ah, keesokan harinya teleponpun mati dan bernada sibuk sepanjang hari.
Memasuki Ramadhan, janji kembali meluncur. “Kak ini lagi dihitung duitnyo. Semoga bae, Idhul Fitri ini biso dilunasi. Kito ketemuan dulu”, katanya. Hingga lebaran usai pun antara si penagih dan yang ditagih tak pernah ketemu.
Pada titik inilah si penagih merasa sedih. Sedih karena yang ditagih terus menumpuk dosa. Berbohong dari satu bohong ke bohong lainnya. Belum lagi menyeret-nyeret orang yang sebenarnya tak ikut-ikut jadi terikut-ikut untuk membenarkan alasannya. Itupun sudah berdosa lagi karena orang-orang tersebut tak bersalah.
Teman si penagih bahkan berkata, “Kakak ni sabar tak bertepi”. Perkataan si teman penagih ini membuat si penagih tercenung. “Aku tak kasihan pada yang ditagih. Tapi aku kasihan pada anak-anaknya yang masih kecil. Aku kasihan kalau atasan tertingginya tahu kalau atasan tertingginya sudah dibohongi pula. Bisa pindah ke Pulau Timun yang ditagih ini”.
Dalam hati si penagih, terbayanglah anak-anaknya yang dulu jarang bertemu dengannya karena si penagih berkelana di dunia antah berantah. Tiba-tiba pulang si anak sudah besar-besar. Bahkan ketika si penagih mengantarkan ke sekolah setingkat menengah pertama, si penagih yang mencoba memeluk si anak, si anak meronta dan berkata, “Malu Pak, aku sudah besar. Aku bukan anak kecil lagi,” katanya.
“Duh Gusti. Ampuni aku. Aku sudah berdosa. Melepas the golden age mereka. Padahal itulah salah satu tonggak pendirian penanaman nilai-nilai keluarga, kebersamaan, etika dan juga iman”, isak si penagih selama perjalanan pulang ke rumah.
Yang ditagih tak sadar, kalau si penagih sebenarnya mengajari yang ditagih. Persoalannya sebenarnya bukan masalah yang ditagih tak mampu, tetapi memang yang ditagih ada kemampuan membayar tetapi berperilaku kurang terpuji.
Entah tiba-tiba suatu waktu, si penagih mendapat bisikan kata, “janji nuggu kate betaruh”. Tanya sana sini dan akhirnya ternyata bisikan itu berarti, “kalau berjanji harus ditepati”. Sebuah pesan moral yang sangat dalam artinya. Mempertaruhkan kata-kata. Mempertaruhkan janji. Bila orang sudah dicap tak lagi, “janji nunggu kate betaruh” maka habislah diri dan keluarganya sebagai orang yang tak bisa lagi dipercaya omongannya. Hidupnya pun susah.
Itulah ajaran sederhana tua-tua zaman dulu pada anak dan cucu yang terus disampaikan melalui internalisasi keluarga. Ahhh. Padahal dulu yang ditagih tidak hanya memimpin kepala keluarga tetapi juga memimpin ribuan warganya yang terdiri dari 21 desa.
Si penagih pun bertanya dalam hati, apakah yang ditagih sudah lupa dengan pesan puyang, “janji nunggu kate betaruh?”. Dan sipenagih pun mengirimkan cerpen ini pada yang ditagih.
Salam Kompasiana
Salam Fiksiana
Salam dari Punggung Bukit Barisan Sumatra
Salam KOMPAL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H