(Tinjauan dari Perspektif Rm 6:12-13 Tentang Pengudusan)
  Oleh: Osti Lamanepa, Mahasiswa Fisafat dan Teologi Widya Sasana Malang
I. Pendahuluan
Dewasa ini kita mendengar dari berita majalah maupun televisi bahwa kejahatan kekerasan seksual yang dialami kaum perempuan semakin hari semakin meningkat. Kekerasan seksual perempuan adalah penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah. Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekerasan seksual termasuk dalam ruang lingkup pelecehan seksual, yaitu segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehinga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi, perbuatan seperti main mata, siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual hingga perkosaan. Kekerasan seksual pada perempuan ini merupakan tindakan yang tidak terpuji yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.
II. Latar Belakang
Fokus tulisan ini adalah membahas tentang kekerasan seksual pada perempuan dari perspektif Rm 6:12-13 tentang pengudusan. Penulis menaruh minat dalam tema ini karena dilatarbelakangi oleh maraknya isu-isu kekerasan seksual pada perempuan. Disini penulis membahas tema kekerasan pada perempuan ini ditinjau dari perspektif Surat Rasul Paulus kepada Jemat di Roma 6:12-13. Penulis ingin melihat secara baru perspektif Rm 6:12-13 yang berbicara tentang pengudusan dengan tema kekerasan seksual pada perempuan. Pada bagian pertama penulis memaparkan tema yang terkait yakni garis besar kekerasan seksual pada perempuan. Pada bagian kedua penulis memaparkan tanggapan dari pesan Rasul Paulus terhadap tema yang terkait yakni kekerasan seksual pada perempuan (Analisis Eksegese dari Rm 6:12-13). Pada bagian ketiga penulis menampilkan relevansi dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma ini dengan tema yang terkait
III. Pembahasan
3.1. Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (Gender Based Violence)
Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan bentuk penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan salah terhadap hal-hal yang berdasar pada perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Bentuk kekerasan seksual atau bentuk kekerasan lain yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan tak lain merupakan bentuk ekspresi maskulinitasnya dalam relasi atau interaksinya dengan perempuan[1]. Sebagian laki-laki menganggap bahwa kekuasaan dan kekerasan merupakan bentuk kemampuan dalam mendominasi dan mengendalikan orang lain. Menurut Michael Kaufman seorang aktivis di Kanada yang memimpin kampanye "Pita Putih", mengungkapkan faktor-faktor di balik kekerasan terhadap perempuan, dengan merujuk kepada apa yang ia sebut sebagai malapetaka (kekuasan yang dimiliki oleh laki-laki menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri) dan amunisi di dalamnya. Sedikitnya ada tiga faktor berkaitan yang merupakan amunisi laki-laki dalam memperlihatkan kekuasaan dan otoritasnya, yaitu (a) kekuasaan patriarki (patriarki power), (b) hak-hak istimewa (privilege), (c) sikap yang permisif (permission). Dari sini nampak jelas bahwa kekuasaan patriarki menjadi pemicu utama dibalik diskriminasi atau kekerasan terhdap perempuan. Point pertama dalam budaya patriarki, terjadi subordinasi dan kesenjangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan serta dominasi. Budaya patriarki diperkuat melalui institusi baik sosial maupun politik. Negara juga ikut andil dalam pelegalan budaya ini, sebagai contoh nampak dalam undang-undang perkawinan yang melegalkan pernikahan poligami sekalipun dengan syarat tertentu. Poin kedua, yaitu hak-hak istimewa (privilege), sebagai contohnya adalah hak-hak istimewa dimiliki oleh laki-laki sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, mereka bebas bermain di luar rumah, jenis permainan pun berbeda dan cenderung ekstrem, jika anak laki-laki bisa sekolah sampai ke luar negeri. Dalam ranah publik misalnya, setelah mereka berkeluarga, rapat RT dan rapat lain dalam menentukan kebijakan desa sarat didominasi laki-laki, sekalipun kepala rumah tangganya adalah seorang perempuan (Ibu).Â
Â
Sikap permisif (membolehkan) tindakan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan yang biasanya dianggap wajar dalam masyarakat. Contoh sederhana, pemukulan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya masih dianggap persoalan privat bagi masyarakat tertentu, dan itu dianggap lazim manakala terjadi perselisihan atau pertengkaran dalam rumah tangga. pKekerasan terhadap perempuan senantiasa langgeng terjadi sebab perempuan dengan tubuhnya yang khas dipahami sebagai makhluk sekunder, objek, dapat diperlakukan seenakknya dan dapat menjadi hak milik. Dalam berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, kita dapat melihat beberapa faktor yang mendasari tindakan tersebut, antara lain: a) Karakteristik fisik dan reproduksinya perempuan memang lebih mudah menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, seperti perkosaan atau penghamilan paksa; b) Dalam relasinya dengan laki-laki, pemaknaan sosial dari perbedaan biologis tersebut menyebabkan memantapnya mitos, streotipe, aturan, praktik yang  merendahkan perempuan dan memudahkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat berlangsung dalam keluarga dan relasi personal, bisa pula di tempat kerja atau melalui praktik-praktik budaya; c) Dari sisi ekonomi, perempuan dapat dijadikan sarana pengeruk keuntungan, sehingga merebaklah pelacuran, perdagangan perempuan (woman trafficking), atau pornografi; d) Kekerasan terhadap perempuan sekaligus dapat digunakan sebagai sarana terror, penghinaan, atau ajakan perang pada kelompok lain. Kesucian perempuan dilihat sebagai kehormatan masyarakat, sehingga penghinaan atau perusakan kesucian perempuan akan dipahami sebagai penghinaan terhadap masyarakat. Lalu apakah kekerasan terhadap perempuan dapat dihentikan? Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa hal tersebut erat kaitannya dengan bagaimana keadilan dalam masyarakat ditegakkan. Keadilan terhadap perempuan akan sulit ditegakkan jika budaya patriarki masih berlaku dalam segala aspek kehidupan dalam masyarakat.. Sekalipun  dalam konferensi HAM PBB di WINA (1993) mengeluarkan deklarasi dan program aksi yang menegaskan dua butir penting berikut: a) Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada tingkat nasional, regional dan internasional, serta penghapusan dan diskriminasi berdasar jenis kelamin, merupakan tujuan utama masyarakat sedunia; b) Kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya, tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia, serta harus dihapuskan.
Â
3.2. Eksegese dan Analisis Teks Roma 6:12-13
Â
- Kutipan Teks Roma 6:12-13
Â
Ayat 12: "Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya". Ayat 13: "Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah dirimu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran".
Â
Pada ayat 12 dalam teks Roma itu dikatakan: "Sebab itu dosa jangan berkuasa lagi dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginanya". Apa artinya ini? Maksud Paulus menulis ayat 12 ini adalah Paulus menasihati jemaat di Roma supaya kekuatan yang mengasingkan atau dosa jangan menguasai hidup mereka. Pada ayat 13Â dikatakan: "Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah dirimu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran". Apakah arti ungkapan-ungkapan semacam ini? Kebebasan seperti apakah yang merupakan kebebasan untuk menjadi hamba? Ini dalah kebebasan yang tidak dimengerti oleh orang zaman sekarang. Mereka memahami kebebasan dalam arti kebebasan dari halangan lahiriah atau hambatan untuk memilih dan mengejar tujuan yang ditentukan secara individualitas. Namun bagi Paulus, hidup manusia tidak mungkin tidak bergantung sama sekali dalam arti hidup tanpa orang lain. Dalam ayat-ayat ini dengan jelas Paulus menegaskan bahwa kebebasan dari kekuatan dosa, yang dihasilkan oleh kematian dan kebangkitan Yesus bukan berarti manusia hidup independen secara total dan penuh, melainkan bergantung pada Allah[2]. Dalam Roma 6:12-13 ini, Paulus mengembangkan point-point yang telah ia buat dalam Roma 5:12-21 dengan sebuah keberatan oleh lawan bicara bayangannya dalam 6:1-2. Dalam seluruh 6:2-14, Paulus akan menjawab pertanyaan absurd dari 6:1 "Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah anugerah itu?" Pembaca yang teliti akan menyadari penggunaan kata "kita" oleh Paulus dalam 6:1-9 dan penggunaan kata "kamu" jamak dalam 6:11-14. Dalam surat ini apa yang dialami oleh jemaat bukan Yahudi dalam baptisan 6:2-5 juga dialami oleh Paulus[3]. Jadi Paulus terlibat dalam pathos atau menasihati para pendengarnya berdasarkan pengalaman bersama. Akhirnya dari uraiannya, mengenai baptisan 6:2-5, Paulus akan menarik beberapa prinsip umum 6:6-10 dan kemudian menerapkannya pada 6:11-14. Prinsip-prinsip itu antaralain; penggunaan kata "sebab" oleh Paulus dalam 6:5,7 Misalnya 6:7 menyatakan bahwa orang yang telah mati telah kehilangan sarana untuk untuk berdosa yaitu "tubuh dosa kita" (6:6). Kalimat dengan menggunakan "jika" dalam 6:5,8 merumuskan prinsip-prinsip ini. Kalimat dengan "kita tahu" dalam 6:6,9 mengingatkan kepada para pendengar akan prinsip-prinsip tersebut. Roma 6:12-13 mengaplikasikan prinsip-prinsip ini pada para pendengar Paulus yang bukan orang Yahudi, yang cukup sadar akan sifat-sifat buruk yang menguasai masyarakat mereka (Bdk Rm 1:18-32) "Sebab itu, hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya" (6:12). Dalam Roma 8, Paulus akan menghabiskan banyak waktunya pada peran Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari jemaat yang menghidupi kebaruan kehidupan baptis.
Â
Pada ayat 13 kita menjumpai ada frasa "senjata-senjata kebenaran". Frasa senjata kebenaran ini hampir mirip dengan frasa "senjata rohani" yang digunakan Paulus dalam 2 Kor 10:1-18. Paulus menggunakan frasa "senjata" hampir dua kali yakni pertama, dalam surat Roma 6:13 dan menyebutnya secara berulang-ulang, dan yang kedua dala Suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus (2 Kor 10:1-11) Secara harafiah, frasa senjata artinya alat untuk berperang atau bertempur melawan musuh. Frasa senjata yang digunakan Paulus ini berarti senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang bisa begitu efektif melawan argument lawan yang licik tetapi kosong[4].
Â
3.3. Relevansi Teks Roma 6:12-13 dan Kekerasan Seksual pada Perempuan
Â
Teks Roma 6: 12-13 merupakan teks yang berbicara tentang tema pengudusan. Hal ini sangat baik sekali untuk di hubungkan dengan kekerasan seksual pada perempuan. Manusia kadang kurang menyadari hal ini, dan menganggap perempuan adalah objek seksual semata. Pesan Paulus pada ayat 13 ini seharusnya kita hayati lebih sungguh agar kita menghormati dan menghargai perempuan. Manusia itu pada dasarnya sempurna dan kudus. Oleh karena itu kekerasan seksual pada perempuan hendaknya tidak diperbolehkan. Semoga para pelaku kejahatan seksual pada perempuan belajar dari Rasul Paulus supaya mereka bertobat. Cinta Kasih Tuhan kepada manusia harus menjadi motif untuk bertobat[5].
Â
3.3.1. Relevansinya Bagi Gereja
Â
Tema tentang pengudusan dalam Roma 6:12-13 dan kekerasan pada perempuan ini masih sangat relevan untuk Gereja saat ini. Gereja sampai saat ini menentang keras oknum-oknum yang melakukan kekerasan seksual pada perempuan. Gereja selalu mengambil sikap tegas apabila kaum perempuan mengalami kekerasan seksual dan dilecehkan. Gereja selalu menjunjung tinggi keluhuran martabat manusia. Gereja memandang bahwa manusia adalah citra Allah, gambar Allah atau serupa dengan Allah karena diciptakan oleh Allah sendiri.
Â
3.3.2. Bagi Dunia
Â
Tema tentang pengudusan dalam Roma 6:12-13 dan kekerasan pada perempuan ini masih sangat relevan untuk Dunia saat ini. Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dunia mengajak seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi martabat manusia. Manusia sepatutnya dihormati dan dihargai bukannya dilecehkan.
Â
3.3.3. Bagi Indonesia
Â
Tema tentang pengudusan dalam Roma 6:12-13 dan kekerasan pada perempuan ini masih belum relevan untuk Bangsa Indonesia. Kita masih menjumpai disana sini kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan. Masyarakat Indonesia perlu juga bercermin dari Paulus agar masyarakat Indonesia menyadari bahwa martabat manusia itu luhur serta tidak boleh dilecehkan.
Â
IV. Penutup
Â
Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah suatu kejahatan. Di balik suburnya kekerasan seksual terhadap perempuan adalah disebabkan budaya patriarki yang menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan dalam masyarakat. Ketidakadilan dalam masyarakat dapat kita lihat dari praktik perlakuan hak istimewa terhadap laki-laki. Sejak kecil laki-laki diajarkan agar mepunyai sifat yang berani, kuat, tangguh sehingga sifat tersebut selalu ingin mereka tampakkan kepada siapapun. Sifat kejantanan yang dimilki oleh laki-laki seolah-olah menjadi kebanggaan yang mereka dan diekpresikan dalam bentuk antara lain pelecehan terhadap perempuan. Kekerasan seksual terhadap perempuan mustahil untuk dihentikan apabila keadilan sulit ditegakkan. Kita perlu belajar dari Rasul Paulus agar kita menghormati tubuh termasuk menghormati tubuh perempuan sehinnga mereka tidak di lecehkan secara seksual.
Â
Â
Daftar Kepustakaan
Â
Buku:
Â
Bergant Diane dan Karris Robert J. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, Lembaga Biblika Indonesia, 2002.
Â
Durken Daniel. Tafsir Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Â
Bakker A. Ajaran Iman Katolik 2 Untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Â
Internet:
Â
http://www.JurnalPerempuan.org/wacana-feminis/Akar-Kekerasan-Seksual-terhadap Perempuan diakses di Seminari Montfort Malang pada tanggal 5 Desember 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H