Mohon tunggu...
OSTI  LAMANEPA
OSTI LAMANEPA Mohon Tunggu... Mahasiswa - DEO GRATIA (RAHMAT ALLAH)

MAHASISWA FILSAFAT DAN TEOLOGI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Doktrin Allah Tritunggal Menurut Thomas Aquinas

12 April 2021   07:35 Diperbarui: 18 Mei 2021   15:39 3673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Oleh: Ostianus Ola Lamanepa (Mahasiswa Filsafat-Teologi Widya Sasana Malang)

I. Pengantar

Diskursus tentang Allah Tritunggal selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan dari zaman ke zaman, khususnya mengenai ke-Allahan Tritunggal atau Trinitas. Begitu banyak orang yang ingin menjelaskan misteri Allah Tritunggal dalam ajaran Kristiani. Namun yang menjadi problem adalah bagaimana menjelaskan Allah Tritunggal. Sebab di satu sisi Allah itu esa, memiliki satu kodrat dan di sisi lain mempunyai tiga pribadi yaitu Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Karenanya teologi dan filsafat sangat selalu relevan diperlukan untuk menjelaskan Tritunggal. Teologi Tritunggal mengembangkan paham dan pengertian itu dalam bentuk syahadat, dan juga menempatkan wahyu itu dalam keseluruhan iman Kristiani serta memperlihatkan bagaimana arti wahyu itu dalam pusat ajaran Kristiani. Tetapi karena pengertian mengenai Allah dikembangkan berkonfrontasi dengan ajaran-ajaran sesat maka teologi tentang Trinitas atau Allah Tritunggal lama-kelamaan dirumuskan dalam kategori pemikiran yang bukan lagi berasal dari Kitab Suci.

Salah satu tokoh Katolik terkenal yang menjelaskan misteri Allah Tritunggal dengan sangat baik adalah St. Thomas Aquinas. Thomas Aquinas dianggap sebagai teolog sekaligus filsuf karena kecemerlangannya dalam menjelaskan konsep Allah Tritunggal. Thomas Aquinas menyempurnakan karya St. Agustinus tentang Allah Tritungal dengan baik. Thomas Aquinas menggunakan pemikiran filsafat untuk menjelaskan Allah Tritunggal. Mungkin kita bertanya: "Bagaimana pemikiran Thomas Aquinas tentang Allah Tritunggal"? Bagaimana Thomas Aquinas menjelaskan misteri Allah Tritunggal dalam terang iman Kristiani? Latarbelakangi utama penulisan ini adalah ingin mendalami bagaimana Thomas Aquninas menjelaskan Allah Tritunggal.

Berikut ini saya akan menjelaskan misteri Allah Tritunggal dalam pemikiran Thomas Aquinas. Saya pertama-tama akan melihat gagasan secara keseluruhan dari pemikiran Thomas Aquinas mengenai Allah dan hakikatnya serta bukti-bukti keberadaan Allah. Pada bagian kedua saya akan menjelaskan konsep Allah Tritunggal menurut Thomas Aquinas. Pada bagian ketiga saya juga akan menjelaskan pandangan Thomas Aquinas yang menyempurnakan ajaran St. Agustinus. Dan pada bagian penutup saya akan menyuguhkan kepada sidang pembaca relevansi pemikiran Thomas Aquinas untuk kehidupan kita saat ini.

II. Hakikat Allah dan bukti-bukti keberadaan Allah menurut Thomas Aquinas

Thomas Aquinas menggunakan sistem filsafat Aristotelianisme dan neoplatonisme untuk menjelaskan Allah dalam terang teologi Kristiani. Thomas Aquinas memadukan filsafat Yunani dan doktrin kristiani untuk menjelaskan keberadaan Allah. Thomas Aquinas percaya bahwa eksistensi atau keberadaan Allah dapat di tunjukkan. Secara singkat dalam Summa Theologiae dan lebih terperinci lagi dalam Summa Contra Gentiles, (https://id.wikipedia.org/wiki/Thomas Aquinas, diakses pada tanggal 1 Oktober 2020). ia memikirkan dengan sangat terperinci lima argumen mengenai keberadaan Allah.

Thomas Aquinas memberi pengertian penting dalam kaitannya dengan tema analogia entis. Menurut Thomas Aquinas, analogia entis (analogi dari yang ada atau yang mendekati ada) memungkinkan manusia dapat memiliki pengertian-pengertian yang seimbang tentang Allah dengan berangkat dari realitas ada, artinya segala apa yang bisa kita pikirkan mengenai Allah beranjak dari pikiran kita tentang segala apa yang ada secara konkret di hadapan kita. Thomas Aquinas melukiskan pembuktian eksistensi Allah dengan suatu jalan pikiran yang ditarik dari pengalaman konkret terhadap realitas dan segala apa yang ada. Analogia Entis menjadi semacam instrumen bagi Thomas Aquinas untuk memperkenalkan Allah bahwa Allah ada, dan Allah dapat ditemukan dengan akal budi manusia serentak pula Allah merupakan kebenaran (Armada Riyanto, 2008:  31-35).

.

Berikut ini akan dijelaskan catatan pembuktian Thomas Aquinas tentang adanya Allah. Pada bagian pertama  berbicara tentang "Apakah Allah ada" ? Bagian pertama ini meliputi tiga persoalan utama yang hendak dibahas yaitu; Pertama, Apakah perlu membuktikan Allah secara filsafatiah? Yang kedua, Apakah mungkin untuk membuktikan adanya Allah? Dan yang ketiga, Apa jalan pembuktian akan adanya Allah? (Sermada Kelen Donatus, 96-103).

Persoalan pertama, diulas dalam tema tentang hakikat Allah dan di sajikan dalam artikel pertama yang bertolak dari pertanyaan, "apakah dikenal dari dirinya sendiri bahwa Allah ada? Dalam bahasa Latin Thomas Aquinas berkata: "Utrum Deum esse sit per se notum". Untuk menjawabi persoalan apakah perlu utnuk membuktikan adanya Allah secara filsafatiah, Thomas Aquinas mengemukakan tiga argumentasi melawan gagasan Anselmus dari Canterbury. Tiga argumentasi itu menyentuh pengenalan akan Allah dan eksistensi Allah tetapi berkisar pada arti utama ungkapan; "dikenal dari dirinya sendiri dan kebenaran".

Argumentasi pertama, berpusat pada persoalan pengenalan akan Allah dan eksistensi-Nya. Thomas Aquinas mengakui bahwa pengenalan akan Allah bersifat kodrati; itu berarti bahwa pengenalan itu sudah tertanam dalam diri manusia, tetapi pengenalan itu bukanlah menunjukkan bahwa Allah yang dikenal dalam kodrat adalah Allah yang ada dalam diri-Nya sendiri atau Allah yang dikenal dari diri-Nya sendiri (realitas hakiki Allah). Thomas Aquinas mendasarkan argumentasi ini pada pembedaan yang dibuat oleh Aristoteles, yaitu di satu pihak sesuatu yang dikenal jelas pada dirinya sendiri tetapi tidak dikenal jelas untuk kita, dan dipihak lain sesuatu yang dikenal jelas pada dirinya sendiri dan dikenal jelas untuk kita. Bila kita mengatakan bahwa Allah itu adalah sesuatu yang dikenal jelas pada diri-Nya tetapi tidak dikenal jelas untuk kita, maka itu berarti, hakekat Allah itu sendiri. Allah pada hakekat-Nya jelas pada diri-Nya sendiri, tetapi tidak dikenal jelas untuk kita. Hakekat-Nya tidak kita kenal, tetapi bisa kita pikirkan. Apa yang kita pikirkan belum tentu sesuatu yang ada secara real. Dengan demikian, argumentasi ini melawan pikiran Anselmus dari Canterbury yang menegaskan bahwa Allah itu sesuatu "Ada" yang lebih besar dari apa yang dapat kita pikirkan. Kalimat Anselmus berbunyi berikut; "Et quidem credimus, te esse aliquid quo nihil, maius cogitari possit (dan kami percaya bahwa Engkau adalah sesuatu yang lebih besar dari pada itu tak dapat dibayangkan). Pengertian Anselmus menunjukkan bahwa Allah sebagai yang lebih besar dari pada yang dapat kita pikirkan belum jelas untuk kita atau belum kita kenal, dan hal ini justru adalah hakekat-Nya yang tidak dapat kenal.

Thomas Aquinas menegaskan perlunya pembuktian akan adanya sesuatu yang menyentuh hakekat Allah. Untuk itu Thomas Aquinas berpegang pada ungkapan kedua yang ditimba dari pikiran Aristoteles, yaitu bahwa Allah pada hakekatnya jelas dalam diri-Nya sendiri dan dikenal jelas untuk kita. Thomas Aquinas bertolak dari analisa bahasa, bahwa predikat yaitu eksistensi atau realitas keberadaan predikat "est dalam kata kerja "esse", identik atau termasuk dalam "subjek" (subjeknya; Deus). Dengan bertolak dari logika ini kita perlu membuktikan adanya Allah. Kita menaruh perhatian pada predikatnya yaitu pada eksistensi-Nya atau realitas keberadaan-Nya yang dikenal jelas untuk kita atau yang kita kenal jelas. Eksistensinya terlihat dalam karya-Nya yang dapat dialami dalam dunia ciptaan. Melalui hasil karya Allah yang dialami dalam dunia ciptaan pembuktiaan akan adanya Allah ditempuh. Melalui pembuktian itu adanya Allah dapat dikenal jelas untuk kita.

Argumentasi kedua; berhubungan dengan pembedaan antara apa yang dikenal jelas dalam dirinya dan dikenal jelas untuk kita dari suatu pihak, dan dipihak lain apa yang menyentuh prinsip umum dan prinsip khusus. Sudah dikatakan bahwa pengenalan akan Allah sudah tertanam secara kodrati dalam diri manusia. Pendirian ini menunjuk kepada suatu prinsip umum dan prinsip umum ini meliputi juga pemahaman bahwa Allah kebahagiaan manusia, karena manusia dari kodratnya rindu akan kebahagiaan. Prinsip umum bahwa Allah adalah sebab kebahagiaan yang diusahakan manusia belum mengatakan apakah Allah ada atau Allah tidak ada. Prinsip umum ini memang jelas dalam pengertiannya, tetapi tidak dikenal jelas untuk semua manusia. Prinsip umum ini harus dibuktikan melalui satu prinsip khusus yaitu suatu ilmu pengetahuan khusus yang digunakan untuk membuktikan bahwa Allah dapat dikenal. Prinsip khusus itu adalah theologia sebagai ilmu pengetahuan khusus.

Argumentasi ketiga, berhubungan dengan pernyataan bahwa Allah adalah kebenaran. Di sini Thomas Aquinas mendasarkan argumentasinya pada pendirian Agustinus bahwa apa yang berasal dari kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Peryataan ini bagi Thomas Aquinas belum jelas apakah Allah adalah kebenaran. Kebenaran memang dikenal jelas dari dirinya sendiri, karena ia terikat dengan sebab pertama sebagai realitas ada mutlak, tetapi masih tidak jelas untuk kita. Karena itu adalah satu keharusan untuk membuktikan apakah kebenaran yang berasal dari Allah adalah Allah sendiri. Untuk itu dibutuhkan suatu jalan pembuktian metafisik yang diambil alih oleh Thomas Aquinas dari pemikiran Aristoteles dalam buku Aristoteles physic. Dalam buku metaphysic Aristoteles termuat ajaran tentang sebab pertama, potensi aktus dan sebab yang tidak dapat digerakkan, dan satu bagian dari buku metaphysic Airstoteles ini diangkat oleh Thomas Aquinas untuk pengantar kedalam suatu ilmu baru yang disebut Thomas Aquinas sebagai Sacra Doctrina (ajaran suci).

Persoalan kedua, dikaji dari artikel kedua dari tema yang sama. Artikel itu berbunyi; "Utrum Deum esse sit demonstrabile" (Apakah dapat dibuktikan bahwa Allah ada) Thomas menjawab bahwa Allah dapat dibuktikan. Cara bagaimana Allah dapat dibuktikan adalah cara induktif (metode induktif) yang bertolak dari cara pembuktian Aristoteles. Thomas Aquinas mau memberi jawaban atas tiga keberatan yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dibuktikan.

Keberatan pertama, berasal dari pendirian bahwa eksistensi Allah adalah perkara iman. Dan hal yang menyentuh bahwa perkara iman tidak bisa dibuktikan. Keberatan kedua, berasal dari pendirian bahwa pengertian tentang hakekat Allah adalah satu istilah tengah dalam pembuktian silogisme. Istilah ini berbicara tentang "apa-nya" (hakekat-Nya) dan tentang hakekat-Nya atau apanya Allah itu kita sungguh tidak tahu. Kita hanya tahu bahwa sesuatu itu bukan Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Johanes Damascenus yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dibuktikan. Keberatan ketiga, berhubungan dengan keberatan terhadap metode pembuktian induktif. Metode ini menunjukkan bahwa Allah dapat dibuktikan melalui hasil karya-Nya dalam dunia ciptaan. Ciptaan sebagai hasil karya Allah tidak mempunyai hubungan dengan hakekat Allah karena Allah tidak berakhir dan tidak fana, sementara hasil karya ciptaan-Nya fana dan berakhir. Karena itu tidak lah dapat dibuktikan bahwa Allah ada.

Terhadap tiga keberatan itu Thomas Aquinas menunjukkan kemungkinan metode untuk membuktikan adanya Allah. Ia mengambil alih posisi Aristoteles yang memperlihatkan adanya dua metode yaitu metode deduktif dan metode induktif. Metode deduktif bertolak dari apa yang dikatakan Thomas Aquinas "demonstration propter quid". Itu berarti bahwa orang membuktikan sesuatu dari dasar yang membawa akibat. Dasar adalah sebab yang ditempatkan dalam term tengah dalam pembuktian silogisme. Dasar menyentuh pengertian tentang "apa itu" (hakekat). Metode induktif bertolak dari apa yang disebut Thomas Aquinas "demonstratio quia". Itu berarti bahwa orang membuktikan sesuatu, dengan bertolak dari akibat yang menghantar kepada sebab. Thomas berpendapat bahwa membuktikan Allah secara deduktif adalah tidak mungkin, karena kita tidak mengenal "apa-Nya (hakekat) dari Allah. Hanya metode induktiflah yang cocok utntuk membuktikan eksistensi Allah. Skema induktif dalam silogisme adalah sebagai berikurt premis mayor, premis minor, dan premis umum atau konklusi. Melawan keberatan pertama Thomas Aquinas mengatakan bahwa Allah ada dan bahwa Dia dapat dikenal berkat bantuan akal budi dan iman. Iman mengandaikan pengenalan kodrati sebagaimana rahmat mengandaikan kodrat dan pemenuhan mengandaikan hal yang dapat dipenuhi.

Tak satu pun menghalang bahwa apa yang dapat dikenal dan diketahui pada dirinya sendiri diterima sebagai sesuatu yang dimani oleh orang yang tidak mengerti pembuktian. Melawan keberatan kedua, Thomas menegaskan bahwa tertutup kemungkinan untuk menggunakan metode deduktif dan terbuka pada kemungkinan untuk penerapan metode induktif, sebab dalam metode induktif bukan dibuktikan hakekat-Nya Allah, tetapi nama-nama atau terminology yang dikenakan pada Allah dan nama untuk-Nya dapat ditemui dan dapat dibuktikan dalam hasil karya ciptaan Allah. Melawan keberatan ketiga, tentang kelemahan metode induktif, Thomas Aquinas menjelaskan bahwa pengenalan akan Allah dengan bertolak dari hasil ciptaan-Nya, selalu tinggal tidak sempurna. Dasarnya ialah bahwa hasil ciptaan-Nya memang menghantar kita kepada dasar utama dari seluruh ciptaan itu, dan kita tidak mengenal dasar utama ini secara sempurna. Karena itu, pengenalan dengan Allah sebagai dasar utama juga tidak lengkap.

Persoalan ketiga, termuat dalam artikel yang ketiga berbunyi "Utrum Deus Sit" (Apakah Allah ada). Persoalan ini di pecahkan oleh Thomas Aquinas dengan Lima jalan pembuktian (quinque viae). Lima jalan pembuktian itu berdasarkan pada pengalaman dunia material (metode induktif) yang menuntun kita kepada pengenalan bahwa Allah ada. Sebelum kita menyebutkan Lima jalan pembuktian, Thomas Aquinas berhadapan dengan dua keberatan yang mengatakan bahwa Allah tidak ada. Keberatan pertama mengatakan bahwa Allah tidak ada karena kejahatan tetap ada diatas dunia. Bila ada Allah mengapa ada kejahatan? Keberatan kedua berasal dari pendirian yang mengatakan bahwa Allah adalah suatu prinsip yang berlebihan dan tidak perlu. Manusia tidak membutuhkan-Nya, karena sudalah cukup bahwa kodrat alam dan manusia dengan akal budi dan kehendaknya menjadi prinsip untuk menjelaskan manusia dan dunia. Keberatan ini dijawab tuntas oleh Tomas Aquinas dalam Lima pembuktian tentang Allah. Lima pembuktian tentang Allah itu adalah sebagai berikut;

Gerak.  Thomas Aquinas berkata "prima autem et manifestior via est, quae sumitur ex parte motus" (Tetapi jalan yang pertama dan paling mencolok mata adalah jalan yang bertolak dari gerakkan). Thomas Aquinas mengatakan bahwa penggerak dan yang digerakkan berjalan tanpa akhir. Harus ada penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh yang lain. Penggerak pertama tidak lagi menjadi penggerak yang digerakkan. Penggerak pertama yang tidak lagi digerakkan ini justru di beri nama Allah.

Sebab-akibat. Thomas Aquinas berkata "secunda via est ex ratione causae efficientis (Jalan kedua diambil dari pengertian tentang sebab yang membawa akibat). Jalan kedua ini erat berhubungan dengan jalan pertama. Di dalam duni material terdapat satu tata tertib. Tata tertib itu adalah sebab yang membawa akibat atau dengan kata sederhana, hubungan sebab akibat yakni hubungan sebab-akibat. Itu berarti bahwa sesuatu yang diakibatkan berasal dari satu sebab atau penyebab. Penyebab ini disebut penyebab yang membawa akibat. Menurut Thomas Aquinas ini tidak mungkin. Thomas berkesimpulan bahwa pasti ada sebab pertama yang tidak disebabkan oleh yang lain. Sebab pertama itu diberi nama Allah.

Sesuatu yang harus ada. Thomas Aquinas berkata "Tertia via est sumpta ex possibili et necessario" (jalan ketiga bertolak dari sesuatu yang mungkin dan sesuatu yang harus. Di dalam dunia orang mengalami bahwa segala sesuatu di dunia lahir dan mati, terjadi dan melenyap. Semuanya tunduk pada proses menjadi dan melenyap. Bertolak dari pengalaman ini, Thomas Aquinas mendapat pemahaman bahwa segala sesuatu di dunia terjadi karena sesuatu yang harus ada. Sesuatu yang harus ada, sungguh berbeda dengan sesuatu yang mungkin ada. Sesuatu yang harus ada itulah yang disebut Allah.

Ada Tertinggi, Thomas Aquinas berkata "Quarta via summitur ex gradibus qui in rebus inveniuntur" (Jalan keempat diangkat dari derajat yang ditemui dalam benda-benda). Dalam dunia materi ada penilaian apakah benda baik, lebih baik, atau indah, lebih indah, kuarang indah dan sebagainya. Perbedaan derajat ini mau menunjukkan ada suatu tingkatan yang tertinggi atau ada yang tertinggi. Ada tertinggi ini adalah yang terbaik dan yang sempurna dan diesbut Allah.

Kebaikan akal budi, Thomas Aquinas berkata bahwa harus ada satu hakekat berakal budi yang menuntun dan mengatur segala sesuatu. Hakekat berakal budi ini di sebut Allah.

 

III. Konsep Allah Tritunggal Menurut Thomas Aquinas

Dalam Bukunya "De Deo Uno et Trino" Thomas Aquinas secara panjang lebar menyajikan uraian baru secara indah pemikiran dari Agustinus, daripada sebuah modifikasi dan koreksi kecil dari defisiensinya. Thomas Aquinas menerangkan siapa Allah Tritunggal itu dengan menggunakan analogi yang mengatakan ada Lima sifat, empat pola hubungan, tiga pribadi, 2 proses, dan satu kodrat (Antonius Denny Firmanto, 2016: 117-118).

Tentang lima sifat itu, Thomas mengatakan Bapa itu pertama tidak berasal, kedua mampu menggenerasi dan ketiga mampu menghembuskan. Sedangkan Putera itu (empat) digenerasi dan mampu menghembuskan. Dan Roh Kudus itu (lima) dihembuskan. Tentang empat pola hubungan, ia mengatakan bahwa pertama ada  pola hubungan kebapaan yang adalah milik Bapa, kedua pola keputeraan yang adalah milik Putera, ketiga pola spirasi aktif yang adalah milik Bapa dan Putera, keempat pola hubungan spirasi pasif (penghembusan) yang adalah milik Roh Kudus. Tentang tiga pribadi, Thomas menyebutkan pribadi itu Bapa, Putera, Roh Kudus. Dua proses yang dimaksud Thomas adalah pertama, proses generasi yaitu Bapa yang menggenerasi Putera dan kedua, proses spirasi atau penghembusan yakni Bapa yang menghembuskan Roh Kudus. Tentang satu kodrat, jelas bahwa kodrat Allah itu adalah satu.

Thomas Aquinas berpendapat bahwa Allah selain tunggal secara sempurna, juga sempurna oleh tiga pribadi yang saling terkait. Ketiga pribadi tersebut adalah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Ketiga pribadi ini direpresentasikan oleh relasi mereka didalam esensi atau hakikat Allah. Thomas Aquinas menuliskan bahwa istilah Trinitas atau Tritunggal tidak menandakan relasi-relasi yang dimiliki setiap pribadi namun menandakan jumlah pribadi yang saling terkait satu dengan yang lain dan karenanya kata itu sendiri tidak mengekspresikan acuan pada yang lainnya. Bapa memperanakan Putera (Firman) melalui relasi kesadaran diri. Tindakan dalam kekekalan tersebut menghasilkan Roh yang kekal yang memiliki hakikat ilahi sebagai kasih Allah, kasih Bapa bagi Firman. Thomas Aquinas menambahkan bahwa keberadaan Trinitas tidak tergantung dari dunia ini kendati hakikatnya melampaui dunia yang tercipta, tetapi Trinitas juga memutuskan untuk memberikan rahmat atau kasih karunia kepada manusia.

Thomas Aquinas menentang sejumlah teolog historis dan kontemporer yang menganut pandangan berbeda tentang Yesus Kristus. Menanggapi Fotinus, Thomas Aquinas menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah benar-benar ilahi dan bukan seorang manusia semata. Menanggapi Nestorius yang mengemukakan bahwa Putera Allah sekedar digabungkan dalam manusia Kristus, ThomasAquinas berpendapat bahwa kepenuhan Allah merupakan suatu bagian integral dari keberadaan Kristus. Menanggapi pandangan-pandangan Apollinaris, Thomas Aquinas berpendapat bahwa Kristus juga memiliki jiwa rasional manusia sejati. Thomas Aquinas juga menentang Eutykhes yang menjelaskan dualitas kodrat yang keliru. Menurut Thomas Aquinas dualitas kodrat tersebut ada secara bersamaan namun dapat dibedakan dalam satu tubuh manusia sejati.

Sehubungan dengan permyataan Rasul Paulus bahwa; "Kristus yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan itu sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:6-7). Thomas meyajikan suatu penegasan kenosis ilahi yang banyak memberikan informasi mengenai kristologi Katolik. Selaras dengan hasil konsili Nikea, pandangan St. Agustinus dari Hippo, serta pernyataan-pernyataan Kitab Suci, Thomas Aquinas mendukung doktrin kebakaan ilahi. Dengan demikian setelah menjadi manusia, tidak mungkin ada perubahan dalam pribadi ilahi Kristus. Bagi Thomas Aquinas misteri inkarnasi tidak di selesaikan melalui Allah yang berubah dengan suatu cara apapun dari keadaan. Dia berasal dari kekekalan tetapi melalui penyatuan diri-Nya dengan keberadaan itu dalam suatu cara yang baru, atau lebih tepatnya melalui penyatuan keberadaan itu dengan diri-Nya sendiri.

Thomas Aquinas menjelaskan bahwa Kristus mengosongkan diri-Nya sendiri bukan dengan menanggalkan kodrat ilahi-Nya, tetapi dengan mengambil suatu kodrat manusia. Bagi Thomas Aquinas kodrat ilahi-Nya penuh tanpa ada kekurangan, karena setiap kesempurnaan kebaikan ada di sana. Singkatnya menurut Thomas Aquinas, Kristus memiliki satu tubuh sejati dari kodrat yang sama dengan kita, jiwa rasional sejati, dan memiliki kodrat ilahi yang sempurna. Menggemakan kembali apa yang dikatakan St. Athanasius dari Aleksandria, Thomas Aquinas juga mengatakan karena menginginkan supaya kita mengambil bagian dalam keilahian-Nya, Putera tunggal Allah mengambil kodrat kita, sehingga Dia yang menjadi manusia dapat menjadikan umat manusia ilahi. Pemikiran tentang Allah Tritunggal setelah periode Thomas Aquinas bersifat lebih spiritual. Salah satu tokohnya adalah Fransiskus dari Asisi. Pandangan mereka mengenai Allah Tritunggal tidak bersifat filosofis yang membahas siapa dan apa itu Allah Tritunggal tetapi lebih menekankan kemahakuasaan Allah Tritunggal dan relasi-Nya dengan manusia.

IV. Allah Esa dan Tritunggal, Pandangan Thomas Aquinas menyempurnakan Karya St. Agustinus

Sebelum kita masuk pada gagasan Thomas Aquinas yang menyempurnakan karya St, Agustinus, baiklah kita lebih dahulu mengetahui Ajaran St. Agustinus tentang Trinitas;

Prakondisi: Keterbatasan Manusia dan ketakterbatasan Allah

Pertanyaan yang hendak diajukan di sini ialah apakah kita bisa mengetahui Allah? Jawaban lugasnya ialah "tidak!" Kita tidak dapat mengetahui Allah sebagaimana Ia persisnya ada. Allah tidak bisa disepertiapakan dengan cara apapun. Inilah kendala kita dalam membicarakan Allah, yaitu keterbatasan manusia dan ketakterbatasan Allah. Akan tetapi, meskipun sesuatu yang terbatas tidak bisa memahami yang tak terbatas, tetapi yang tak terbatas bisa memahami yang terbatas. Oleh karena itu, hubungan keduanya hanya mungkin atas prakarsa yang tak terbatas itu dengan memasuki wilayah yang terbatas itu. Dengan kata lain, hanya Allah sendirilah yang membuat dirinya mungkin dikenal dengan menjadi terbatas seperti manusia.

Dengan demikian, pengenalan akan Allah masih mungkin meski tidak bisa seluruhnya sebab manusia masih terikat dengan keterbatasannya. Pengenalan yang sesungguhnya akan Allah hanya akan terjadi setelah manusia mati sebagaimana St Paulus berkata, "Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya" (1 Yoh 3:2).

Pertanyaan berikut ialah bagaimanakah status teologi? Teologi (Theos: Allah dan Logos: wacana, kata) atau pembicaraan tentang Allah merupakan upaya manusia membahasakan Allah dengan kesadaran penuh akan keterbatasannya sebagai makhluk historis (yang mewaktu dan menempati ruang). Dalam hal ini, kita tetap mengandalkan akal budi sebagai sesuatu yang menghubungkan kita dengan realitas non fisik atau realitas-realitas ilahi sebagaimana slogan terkenal dari st. Anselmus Canterbury (Fides Quaerenz intellectum).

St. Agustinus juga mengatakan bahwa melalui akal budi, Allah memberi penerangan untuk menuntun kita agar dapat mengenalnya. Penerangan ini dikenal dengan istilah illuminatio (ing: to illuminate). (http://fraterxaverian.org/blog/2019/10/18/Ajaran St. Agustinus Tentang Allah-tritunggal, diakses pada tanggal 2 Oktober 2020)

Itulah sebabnya kita bisa sedikit memahami (mendefinisikan) Allah dengan menyebutnya Pencipta, Bapa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, yang Maha Esa, dll. Akan tetapi, segala atribut yang dikenakan kepada Allah tersebut tentu saja tidak sama dengan Allah pada dirinya sendiri. Allah pada dirinya sendiri tidak bisa disepertiapakan. Allah tidak tertampung dalam konsep. Dengan demikian, atribut yang kita kenakan pada Allah tersebut statusnya hanya merupakan yang paling mendekati sejauh kita bisa. Sebagai contoh misalanya ketika Anda hendak menggambarkan setan pada seorang anak kecil. Hal pertama yang muncul dalam kepala anda ialah bagaimana caranya agar setan tersebut bisa dipahami si anak dalam keterbatasan pengetahuannya. Maka anda menggambarkannya misalnya bahwa setan itu punya gigi panjang, rambut sampai di mata kaki, sehingga si anak dapat mengerti. Tentu saja gambaran seperti itu tidak sama dengan setan yang sesungguhnya. Ilustrasi ini mau mengatakan bahwa kata atau bahasa selalu terbatas dan tidak pernah sungguh-sungguh mewakili apa yang sebenarnya menjadi maksud kita. Di sini menjadi jelas bahwa pembicaraan tentang Allah tidak sama dengan Allah sendiri. Oleh karena itu, pertanyaan mengenai bagaimana mungkin satu sekaligus banyak (Tritunggal) menjadi tidak relevan. Demikian juga jika kita bertanya bagaimana mungkin Allah yang adalah Bapa melahirkan Putera? Apakah laki-laki bisa melahirkan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak bermutu. Jawabannya sederhana yakni memangnya Anda tahu apa arti satu atau tiga pada Allah? Siapa yang sungguh mengenal Allah? 'Satu' atau 'tiga' tidak boleh diartikan seperti satu potong roti atau tiga buah pisang. Ingat, kata-kata yang kita gunakan untuk menggambarkan Allah selalu kurang dari yang sebenarnya kita maksudkan. Maka relasi Bapa-Putera tentu saja tidak seremeh hubungan biologis yang kita pikirkan.

Teolog spekulatif yang jenius, Thomas Aquinas menyempurnakan karya St. Agustinus. Dia mengembangkan sistem trinitaris yang amat logis. Pertama-tama dia bertolak dari apa yang menyatukan ketiga pribadi itu, yakni hakikat mereka. Dengan itu sejak dini ia memberi jaminan ciri ilahi dan kesatuan hakikat dari pribadi-pribadi. Kemudian ia mencermati apa yang muncul dari kesatuan itu. Dia mengikuti jalan yang telah dibuka Agustinus dan mengambil pikiran sebagai analogi sebagaimana dia adanya, dia mengetahui (Sabda, Putera) dan mencintai (hadiah, Roh Kudus). Sesudah dia menegaskan perbedaan antara Pribadi dengan bertolak dari pengasalan mereka (cara berbeda-beda satu dihasilkan atau berasal dari yang lain), Thomas lantas menyimak hubungan riil antara mereka.

Di sini Thomas Aquinas memperdalam dan dalam arti tertentu menyempurnakan intuisi Agustinus. Hubungan terjadi oleh karena kenyataan bahwa mereka diasalkan (Leonardo Boff, 1999: 68-69). Apabila orang mempertimbangkan dengan baik jenis hubungan yang ada antara mereka, maka menjadi jelas. Menurut Thomas Aqiunas justru relasi semacam itu yang membentuk realitas Trinitas dari dalam. Hubungan itu bersifat permanen dan subsisten (relations subsistentes) karena dalam Allah tak ada yang sifatnya kebetulan dan aksidental seperti pada makhluk. Agustinus telah melihat bahwa Pribadi-Pribadi sebagai subjek yang berinterrelasi, dan bahwa hubungan identik dengan hakikat. Namun Agustinus menyatakan secara jelas bahwa bahwa hubungan itu bersifat substansial.

Thomas Aquinas justru mendefinisikan Pribadi-Pribadi ilahi sebagai hubungan yang bereksistensi dalam dirinya sendiri, sebagai relationes subsistentes. Sebagaimana pribadi berarti keberadaan yang khas dalam kodrat manusia, kira-kira mempunyai arti demikian pribadi secara anolog. Dalam Trinitas keberadaan itu bersifat khas dalam kodrat ilahi. Keberadaan substansial ini selalu berada dalam hubungan yang kekal dengan keberdaan substansial yang lain. Jadi di sini kita berhadapan dengan Pribadi-Pribadi ilahi, yang sebagai keberadaan yang saling berelasi secara permanen dan kekal membentuk satu Allah dan satu kodrat ilahi. Dengan begitu Thomas Aquinas telah menyempurnakan dinamika spekulatif Agustinus dan menjadi teolog sistematis agung perihal misteri Trinitas.  Dalam Kitab Suci, Yesus terang tampil sebagai seorang nabi yang menyampaikan firman-firman Allah dan Dia sendiri adalah firman Allah. Dalam diri Yesus Allah menyatakan diri secara tuntas dan definitive. (Tom Jacobs SJ. Imanuel, 1999: 251-252).

Malahan lebih dari itu, dalam diri Yesus Allah melaksanakan karya keselamatan-Nya. Semuanya ini adalah tindakan Allah dan rencana Allah yang dari awal mula sudah ada dalam diri Allah. Dalam arti itulah Yesus sebagai Firman sudah ada pada Allah sebelum segala abad. Begitu juga dengan Roh Kudus. Dalam Konsili Konstantinopel dan Konsili Nikea dengan tegas Roh Kudus ditempatkan dalam kerangka Trinitas. "Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, dan akan satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah dan akan Roh Kudus. Dalam Perjanjian Baru rumusan-rumusan itu lebih terbuka. Misalnya Paulus mengakhiri uraiannya mengenai keanekaragaman karisma dalam jemaat dengan berkata: "Ada rupa-rupa karunia tetapi satu Roh, dan rupa-rupa pelayanan tetapi satu Tuhan, dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang" (1 Kor 12:4-6).

III. Penutup

Pemikiran Thomas Aquinas tentang Allah Tritunggal masih sangat relevan untuk kita saat ini. Umat Kristiani saat ini masih mengakui dan mempercayai sekaligus mengimani konsep Allah Trintunggal. Hal ini sangat jelas dalam syahadat para rasul yakni "aku percaya".  Dalam syahadat aku percaya Umat Kristiani mengakui iman mereka akan Allah Tritunggal. Thomas Aquinas mengatakan bahwa Pribadi-pribadi dalam Allah Tritunggal sebagai hubungan yang bereksistensi dalam dirinya sendiri. Keberadaan mereka sebagai relasi yang kekal. Thomas Aquinas mengatakan bahwa yang menyatukan Allah Tritunggal adalah hakikat mereka. Dengan begitu mereka memberi jaminan ciri ilahi dan kesatuan mereka sebagai pribadi-pribadi. Allah Tritunggal, Bapa, Putera, dan Roh Kudus selalu dalam hubungan atau relasi yang kekal, dan yang menyatukan mereka adalah hakikat. Begitulah pandangan Thomas Aquinas tentang Allah Tritunggal.

Daftar Kepustakaan

Sumber Buku

Denny Firmanto Antonius. Pemikiran Kristiani Mengenai Ketuhanan, Malang: Widyasasana Publication, 2016.

Riyanto Armada. Diktat Pengantar Metafisika.

Kelen Donatus Sermada. Diktat Filsafat Ketuhanan, 2006.

Boff Leonardo. Allah Persekutuan; Ajaran tentang Allah Tritunggal, Maumere: LPBAJ, Seminari Tinggi Ledalero, 1999.

Internet:

Diakses di Seminari Montfort Malang pada tanggal 1 Oktober 2020.

Https://fraterxaverian.org/, diakses pada tanggal 2 Oktober 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun