Kita secara umum mengetahui bahwa seorang manusia terlahir dan ada disebabkan oleh persatuan  insan laki-laki dan perempuan. Insan yang hadir pada awalnya bertumbuh dalam payung keluarga.Â
Sebagaimana keluarga menjadi fondasi dan institusi sosial utama dalam pembentukan seorang anak manusia. Namun patut disadari bahwa dia adalah manusia yang bebas. Bebas yang dimaksudkan di sini adalah keleluasaan diri untuk menemukan apa yang ada di luar dirinya. Ia akan berusaha mencari, menemukan dan bertanya akan ketidak tahuan dari apa yang ia temukan karena pikirannya.
Ia(manusia) ada, bertumbuh dan berkembang tidak dengan sendirinya. Ia pada awalnya menjadi satu dalam satu dunia, oleh rasa dari kedua insan yang tidak lain adalah insan pengada dari pengada yang lain. Dia adalah representasi dari peziarahan rasa kedua insan. Dengan kata lain ia ada oleh karena cinta.Â
Pernyataan di atas secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa setiap manusia  memiliki beberapa sisi dari hidupnya. Sisi di mana membuat dia berbeda dengan makluk hidup lain.Â
Mampu berpikir karena ia memiliki otak yang adalah akal itu sendiri, merasakan karena ia memiliki naluri (budi) untuk merasakan. Dengan demikian ia menjadi unik dari antara yang hidup.
Manusia pada prinsipnya adalah sebuah history atau sejarah. Ia mengalami dan melewati begitu banyak waktu dan bertahan dalam setiap perubahan. Ia mempelajari hal-hal baru yang belum ia ketahui namun ia pun dipelajari oleh dirinya sendiri.Â
Sebagaimana yang dilakukan oleh Charles Darwin. Ia mencari tahu asal muasal terbentuknya manusia dari makhluk hidup lain yang kurang lebih memiliki kesamaan dengan dirinya.Â
Ia menemukan bahwa manusia terbentuk oleh karena perubahan atau evolusi dari keadaan tubuh yang awalnya berbeda dari saat ini, menjadi seperti sekarang.
Apa yang dilakukan oleh Charles Darwin menunjukan dimensi pikiran untuk mengetahui sesuatu yang lain yang sudah ada sebelumnya karena rasa ketidakpuasan.Â
Dalam hal ini terjadi keterikatan antara dua dimensi manusia, di mana ia berpikir tentang sesuatu yang adalah dirinya dan ia merasakan atas apa yang ada dari dalam dan di luar dirinya. Oleh sebab itu benarlah kata Rene Descartes "cogito ergo sum" (aku berpikir maka aku ada).
Dalam konteks filsafat, keberadaan manusia secara tidak langsung dapat dilihat melalui kreatifitas berpikir. Sebab setiap pemikiran manusia membawanya untuk bergerak dan membaharui sesuatu.Â
Proses pergerakan seperti ini secara tidak langsung menampilkan keberadaan dan kebebasannya. Ia bebas untuk berkreasi sesuai dengan apa yang ia pikirkan dan ia inginkan. Sebab ia memiliki visi tertentu.
Seorang manusia yang benar-benar memahami konteks keberadaan dan tujuannya, akan selalu mengejar mencari dan mendapatkan visinya. Ia tidak pernah takut akan bahaya apapun sebab baginya dia adalah bagian dari bahaya itu. Dasar pemikiran  kebebasan manusia seperti ini yang kerap dikatakan sebagai manusia egoistis.Â
Dia pada satu kesempatan tidak membutuhkan orang lain, sebab dia memahami dirinya ada dan sanggup mengatasi apa yang akan ia hadapi dan alami.Â
Sehingga tidak menutup kemungkinan baginya untuk mengatakan, seluruh hidupnya adalah tanggungjawabnya sendiri. Dia dapat mengakhiri hidup kapanpun dan di manapun jika ia inginkan. Sebab dia adalah tuhan atas dirinya.
Ketika manusia masuk dalam lingkup pemikiran demikian, ia telah dihadapkan pada satu dimensi lain dari kebebasan itu. Sebagaimana ia mengambil kebebasan dari buah pemikirannya untuk menggapai prestise atau harga diri. Patut diamini bahwa setiap manusia memiliki kelemahan.Â
Ada berbagai kelemahan dalam diri manusia yang kerap membuat dia jatuh dalam peziarahan hidupnya. Namun patut dipertanyakan mengapa manusia memiliki kelemahan? Sedangkan dia adalah makhluk yang unik dan utuh tersusun atas badan dan jiwa, yang dilengkapi dengan akal dan budi sebagai property yang amat berharga.Â
Dalam keunikan ini kita dapat menemukan letak kelemahan dari sisi manusia itu sendiri. Manusia pada dasarnya adalah lemah karena badannya. Sebagaimana yang diketahui oleh manusia itu sendiri, hanya saja ia dilengkapi dengan beberapa dimensi dan property di atas.Â
Namun yang menjadi dasar kelemahan pada manusia adalah kekuatan akal atau pikiran itu sendiri. Jika kedua propeti ini tidak digunakan maka terbuktilah kelemahan itu. Aku yang tidak berpikir tentang ada sesuatu di dalam dan di luar diriku menjadi tidak ada.
Setiap kita kerap merasa bahwa diri kita lemah dan memang kita lemah karena kita masih dikuasai oleh dimensi lain yakni "rasa atau perasaaan". Â Kita tidak dapat memungkiri bahwa manusia selalu berhadapan dan masuk pada satu dunia estetika.Â
Dunia di mana manusia berhadapan dengan nilai-nilai yang mengundang sentimen rasa akan sesuatu yang lain. Sesuatu yang menggerakannya dan bahkan mengubahnya dapat menjadi seperti yang lain dari dirinya.Â
Namun terlepas dari semua itu kita perlu memahami dan mengubah kembali kelemahan yang ada menjadi kekuatan yang patut dipertahankan. Cara untuk mengubahnya adalah dengan mengimbangkan nalar atau peikiran agar tetap tenang. Ketika pikiran tenang, adem, seluruh indra yang ada akan dengan sendirinya mengikuti pikiran itu.
Dengan dan melalui pikiran, kita dapat memahami perasaan kita dan mengetahui sesuatu yang jauh dari diri kita. Kita merasa nyaman terkadang bukan perasaan yang menentukan kenyamanan itu, tetapi pikiran kita yang menentukan.Â
Ketika kita berpikir bahwa kita akan nyaman dalam satu situasi, sekalipun  situasinya kacau kita akan tetap nyaman. Sebab pikiran kita menguasai situasi dan keadaan bukan keadaan- situasi yang menguasai kita. Lalu bagaimana dengan perasaan? apakah perasaan tidak memiliki peran dalam dimensi manusia? Â
Perasaan memiliki peran yang sangat baik, jika perasaan tidak memiliki peran dalam diri manusia maka manusia akan menjadi abstrak mengapa? Sebab manusia tersusun dari badan dan jiwa.Â
Ia dapat berpikir dan melakukan sesuatu, namun semua terasa biasa-biasa saja sebab badan menguasainya. Â Mengapa demikian? Karena ia lebih mengutamakan sisi manusiawinya dibandingkan dengan jiwa yang adalah roh dari rasa itu sendiri.
Perasaan adalah jiwa manusia. Ia membentuk seseorang untuk peka terhadap segala sesuatu yang ada. Baik itu yang dekat dengan dirinya maupun yang jauh darinya.Â
Ia pada satu kesempatan mengikuti apa yang dipikirkan namun pada satu situasi ia menimbang kembali apa yang dipikirkan. Konsep seperti ini, ingin mengatakan kembali bahwa manusia pada umumnya belum sepenuhnya mengerti dengan rasa atau perasaan dari dirinya sendiri. Dengan kata lain ia belum mampu mengolah perasaannya sehingga ia dikatakan manusia yang kurang matang.Â
Hal ini tentu berbeda dengan konsep pikiran. Manusia sangat cepat mengolah pikirannya dengan setiap penemuan baru dan ia dapat mengetahui bagaimana hal-hal baru yang ia temukan dapat memberikan keuntungan bagi dirinya.Â
Ia mampu menganalisis setiap permasalahan dengan bantuan pikiran yang luar biasa dan ketika ia berpaut pada satu penemuan ia akan memfokuskan diri pada hal-hal tersebut sehingga pada akhirnya ia kembali disebut sebagai manusia egoistis. Ia tidak peduli lagi dengan siapa yang ada didekatnya dan siapa yang membutuhkan dirinya.
Kita dapat melihat contoh manusia di zaman milenial ini. Ada sekian banyak  manusia di bumi pertiwi yang begitu pintar hampir setiap jam, menit bahkan detik mereka mampu mengetahui, mengenal dan menemukan sebuah inovasi baru. Sungguh menjadi sebuah kebanggaan besar bagi dunia yang telah menemukan dan memiliki orang-orang seperti ini.Â
Namun yang menjadi kendalanya adalah mereka tidak dapat mengetahui, mengenal dan menemukan siapakah manusia lain yang sedang susah dan membutuhkan pertolongannya. Ketika melihat realita seperti ini, kita dapat bertanya dimensi manusia manakah yang harus disalahkan. Pikiran (akal) atau perasaan(jiwa) yang adalah budi dari manusia itu.Â
Kita tidak dapat menyalahkan keduanya. Sebab keduanya adalah satu dalam satu dunia yang utuh. Jika satu disalahkan maka keduanyapun salah. Oleh karena itu yang patut diperhatikan adalah menyelaraskan keduanya menjadi satu ikatan yang tidak pernah terputuskan.Â
Jika berpikir hendaknya perlu dipertimbangkan kembali sampai menemukan titik cerah yang jelas jangan sampai menimbulkan jarak di antara insan yang lain.
Manusia pada dasarnya bukanlah egoistis. Dia tidak pernah ada dengan sendirinya dan bahkan tidak pernah dapat hidup sendiri. Dia adalah manusia sosial. Manusia yang ada dan membutuhkan orang lain untuk berinteraksi dengan dirinya, demi melengkapi peziarahan hidup.Â
Sebab hidup adalah sebuah peziarahan yang singkat. Maka manusia perlu memperhatikan setiap dimensi yang ada dalam dirinya untuk dipergunakan sebaik-baiknya bukan saja sebagai pemuas diri tetapi menjadi pelengkap bagi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H