Proses pergerakan seperti ini secara tidak langsung menampilkan keberadaan dan kebebasannya. Ia bebas untuk berkreasi sesuai dengan apa yang ia pikirkan dan ia inginkan. Sebab ia memiliki visi tertentu.
Seorang manusia yang benar-benar memahami konteks keberadaan dan tujuannya, akan selalu mengejar mencari dan mendapatkan visinya. Ia tidak pernah takut akan bahaya apapun sebab baginya dia adalah bagian dari bahaya itu. Dasar pemikiran  kebebasan manusia seperti ini yang kerap dikatakan sebagai manusia egoistis.Â
Dia pada satu kesempatan tidak membutuhkan orang lain, sebab dia memahami dirinya ada dan sanggup mengatasi apa yang akan ia hadapi dan alami.Â
Sehingga tidak menutup kemungkinan baginya untuk mengatakan, seluruh hidupnya adalah tanggungjawabnya sendiri. Dia dapat mengakhiri hidup kapanpun dan di manapun jika ia inginkan. Sebab dia adalah tuhan atas dirinya.
Ketika manusia masuk dalam lingkup pemikiran demikian, ia telah dihadapkan pada satu dimensi lain dari kebebasan itu. Sebagaimana ia mengambil kebebasan dari buah pemikirannya untuk menggapai prestise atau harga diri. Patut diamini bahwa setiap manusia memiliki kelemahan.Â
Ada berbagai kelemahan dalam diri manusia yang kerap membuat dia jatuh dalam peziarahan hidupnya. Namun patut dipertanyakan mengapa manusia memiliki kelemahan? Sedangkan dia adalah makhluk yang unik dan utuh tersusun atas badan dan jiwa, yang dilengkapi dengan akal dan budi sebagai property yang amat berharga.Â
Dalam keunikan ini kita dapat menemukan letak kelemahan dari sisi manusia itu sendiri. Manusia pada dasarnya adalah lemah karena badannya. Sebagaimana yang diketahui oleh manusia itu sendiri, hanya saja ia dilengkapi dengan beberapa dimensi dan property di atas.Â
Namun yang menjadi dasar kelemahan pada manusia adalah kekuatan akal atau pikiran itu sendiri. Jika kedua propeti ini tidak digunakan maka terbuktilah kelemahan itu. Aku yang tidak berpikir tentang ada sesuatu di dalam dan di luar diriku menjadi tidak ada.
Setiap kita kerap merasa bahwa diri kita lemah dan memang kita lemah karena kita masih dikuasai oleh dimensi lain yakni "rasa atau perasaaan". Â Kita tidak dapat memungkiri bahwa manusia selalu berhadapan dan masuk pada satu dunia estetika.Â
Dunia di mana manusia berhadapan dengan nilai-nilai yang mengundang sentimen rasa akan sesuatu yang lain. Sesuatu yang menggerakannya dan bahkan mengubahnya dapat menjadi seperti yang lain dari dirinya.Â
Namun terlepas dari semua itu kita perlu memahami dan mengubah kembali kelemahan yang ada menjadi kekuatan yang patut dipertahankan. Cara untuk mengubahnya adalah dengan mengimbangkan nalar atau peikiran agar tetap tenang. Ketika pikiran tenang, adem, seluruh indra yang ada akan dengan sendirinya mengikuti pikiran itu.