Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Harum Bunga Cengkeh yang Bikin Sakit Hati dan Pesta Pilkada

9 September 2024   13:06 Diperbarui: 9 September 2024   15:04 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun cengkeh di Desa Kiawa, Langowan, Minahasa, Sulawesi Utara. Difoto 27 Agustus 2024/J.Osdar

Kamis, 29 Agustus 2024, di Manado, Tomohon, Bitung serta seluruh Sulawesi Utara (Sulut) diguyur hujan sepanjang hari.

Sulut, seperti daerah lainnya di negeri ini, sedang memulai  pesta  demokrasi tingkat daerah. Hujan ini tidak menyurutkan pesta politik, yakni pendaftaran para orang-orang yang dicalonkan atau mencalonkan diri untuk berlaga dalam pemilihan kepala daerah untuk menjadi gubernur, bupati dan walikota (Pilkada).

Tapi, pesta ini juga dibayangi "rasa sakit hati" para petani cengkeh, pala dan kopra.

Kerumunan orang (massa) dengan berbagai kostum, lambang, yel yel dan suara musik serta suara lagu/nyanyian penyemangat bukan hanya bergema di muka kantor-kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) tapi juga di jalan-jalan raya.

Jalan raya utama kota bunga dan kota tujuan wisata, Tomohon, ditutup secara resmi karena penuh dengan massa pendukung pasangan calon walikota dan walikota bernama Karl Senduk (PDI Perjuangan) dan Sendy Rumajar (Gerindra).

Disusul massa pendukung pasangan Miky JL Wenur dan Cherly Mantiri (dari calon Partai Golkar, Nasdem dan PSI). Dua hari sebelumnya  telah mendaftar pendukung pasangan calon independen Wenny Lumentut dan Michael Mait.

Sementara di Manado, ibukota Provinsi Sulawesi Utara, Kamis itu, hampir di setiap sudut kota dan jalan-jalan raya serta dari mal sampai di warung-warung kopi penuh orang yang berkumpul merayakan para calon Gubernur dan Walikota yang mereka dukung.

Di kota ini yang mendaftar adalah pasangan Wakil Gubernur petahana Steven Kandouw dan Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan)  Alfred Denny Tuejeh (mantan Pangdam XIII/Merdeka 2021 - 2023).

Saya mendekati salah kerumunan orang pendukung tokoh-tokoh mereka yang mendaftarkan untuk mengikuti pemilihan gubernur, bupati dan walikota.

Sebelum mendekati kerumunan saya menduga, mereka membahas tentang masalah politik berkaitan dengan pendaftaran peserta pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Ternyata mereka sedang membahas soal harga cengkeh.

Saat ini dibagian selatan Sulawesi Utara sementara panen atau pete cingke. Sedangkan bagian tengah dan utara provinsi ini sudah selesai panen.

Saya mencoba bergabung ikut bicara dengan kerumunan orang itu. "Waduh saat ini aroma harum cengkeh sementara semerbak di Sulawesi Utara ini," kata saya kepada mereka.

"Odooooh, harum bunga cingke (cengkeh) selama selama hampir 10 tahun terakhir ini justru bekeng torang (bikin kami) saki (sakit) hati," ujar seorang pria setengah baya di antara kerumunan orang yang mengaku sebagai petani cengkeh dari Minahasa Selatan.

"Harga cingke saat ini so (sudah) di bawah Rp 100 ribu, bahkan pernah sampai Rp 50 ribu per kilo. Sebelum itu bisa mencapai Rp 120 ribu per kilo," ujar pria yang menyatakan diri bernama Hans.

Pertengahan 1970 sampai 1980-an, petani cengkeh Sulut menikmati masa keemasan. Cengkeh membuat petani (70% penduduk Sulut) dan pedagang cengkeh makmur. Tahun 1990-an, petani cengkeh merasa sakit hati karena ulah pemerintah. Harum bunga cengkeh semerbak lagi bagi petani Sulut setelah tahun 1998 sampai 2014.

Siang itu juga (Kamis, 29 Agustus 2024), saya meluncur dari Manado ke kawasan petani cengkeh di Tomohon (selatan Manado) dan Minahasa Selatan, Kiawa, Sonder dan Kawangkoan.

Saya ingin bertanya tentang harga cengkeh yang bikin sakit petani cengkeh itu. Tapi, Kamis itu jalan raya utama di Tomohon ditutup, karena ada pendaftaran peserta Pilkada.

Kebun cengkeh di Desa Kiawa, Langowan, Minahasa, Sulawesi Utara. Difoto 27 Agustus 2024/J.Osdar
Kebun cengkeh di Desa Kiawa, Langowan, Minahasa, Sulawesi Utara. Difoto 27 Agustus 2024/J.Osdar

Jumat pagi (28/8) mengadakan perjalanan dari Manado, Tanawangko (Minahasa Selatan),  Lemoh, Tomohon, Kawangkoan dan Tondano (Minahasa induk).

"Sebelumnya, Bulan Juli 2024 lalu, harga cingke di Kawangkoan Rp 85 ribu per kilo, sementara di Manado Rp 89 ribu," ujar pemilih 100 batang pohon cengkeh di Kiawa bernama Roger M di sebuah warung kopi yang menjual biapong  (bakpao) yang terkenal di Kawangkoan (Minahasa Selatan).

Pemilik toko penjualan cengkeh di Kawangkoan, Deni Laloan mengatakan harga cengkeh hari itu Rp 94 per kilo.

Setelah berbincang-bincang dengan pemilik toko cengkeh, Toko Tri Dimensi, itu, saya mengadakan perjalanan ke Tondano (Ibukota Kabupaten Minahasa Induk). Di sini saya bertemu dengan sejumlah pedagang perantara hasil bumi (pengepul). Hampir semua yang saya temui ini tidak bersedia dituliskan nama mereka.

Para pedagang pengepul itu berpendapat merosotnya harga cengkeh sejak tahun 2014, karena adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan pada harga cengkeh. Di Sulawesi Utara ini tidak ada perusahaan perkebunan cengkeh. Kebun cengkeh di Sulawesi Utara dimiliki perorangan, termasuk petani cengkeh.

"Bila di sini ada orang berprofesi guru, dokter, pengacara atau lain-lainnya yang kebetulan  punya uang lebih, biasanya menggunakan uang mereka untuk beli cengkeh, kopra, pala untuk dijual kembali.

Kini mereka tidak mau beli lagi barang-barang itu karena PPN itu. Misalnya bila saya berhasil menjual cengkeh Rp 10 miliar kemudian saya dikenai  pajak, PPN, itu sebesar Rp 11 miliar, itu kan betul-betul gila.

Ini yang membuat para pembeli atau pengepul tidak mau membeli cengkeh. Ini yang membuat harga cengkeh merosot sejak tahun 2014/2015," ujar seorang pengepul asal Tomohon.

Selasa, 30 Juni 2020, empat tahun lalu, para petani dari kelompok Forum Peduli Petani Cengkeh (FPPC) Sulut, Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia, Asosiasi Petani Vanili Indonesia, HKTI, Komunitas Petani Vanili Sulut di Manado mendatangi kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Sulut di Manado.

Mereka datang karena sebelumnya pemerintah menurunkan tarif PPN untuk sawit dan kakao sebesar 2 persen.

Dalam kesempatan ini, seorang anggota DPRD Sulut menyerukan agar Presiden, Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan, menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 39/2016.

Presiden juga diminta mencabut surat edaran Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor 24/2016.

"Putusan MK ini antara lain berbunyi, semua hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan yang dikuasai rakyat banyak, tidak dikenai PPN," ujar anggota DPRD Sulut itu.

"PPN hanya dikenakan pada perusahaan-perusahaan multinasional yang mengelola sawit dan karet. Bila PPN dihapus dan Surat Edaran Dirjen Pajak itu dihapus, maka akan terjadi jual beli cengkeh dengan baik, harga cengkeh naik, petani dan pengepul senang," ujar anggota DPRD itu.

Anggota DPRD Sulut lainnya yang bernama Sandra Rondonuwu waktu itu juga secara keras mengatakan, PPN ini membawa penderitaan yang dahsyat bagi bagi petani cengkeh, kopra dan pala. "Karena 70 persen masyarakat Sulut adalah petani cengkeh, pala dan kopra.

"Sangat disayangkan petani harus menerima kenyataan penjajahan baru karena PPN. Saya berani katakan, petani Sulut  meminta kepada Jokowi batalkan PPN pertanian dan perkebunan milik rakyat.

Jangan buat petani Sulut mencari kemerdekaan sendiri," ujar Sandra Rondonuwu (Saron), Selasa, 30 Juni 2020 lalu (4 tahun silam).

Seruan Saron mengingatkan kita pada pemberontakan atau gerakan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi Utara (akhir 1957/1958 sampai 1961).

Hasil bumi, kopra, adalah salah satu pemicu pemberontakan bersenjata waktu itu. Perang yang terjadi menimbulkan kerusakan dan banyaknya jiwa manusia melayang. Kini negeri ini sedang mengjalani pesta demokrasi pemilihan pemimpin daerah (Pilkada).

Para calon pemimpin daerah jangan hanya pidato, tebar janji dan tebar pesona. Jangan jadi "raja bohong yang pandai menutupi kebohongannya". Pandai-pandailah menyampaikan aspirasi rakyat daerah ke pusat pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun