Politik merupakan salah satu landasan penting dalam islam. Politik dalam islam seringkali diartikan sebagai jalan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Pandangan politik dalam islam seringkali disalahartikan, hal tersebut disebabkan konsep islam dan politik yang cenderung bertolak belakang. Islam yang identik dengan kedamaian dan keadilan, sedangkan politik acap kali dikaitkan dengan kontroversi dan kecurangan.
Â
       Kata siyasah memang tidak tertera dalam alquran, namun terdapat tafsir yang dikemukakan Ibnu Katsir yang menjelaskan tentang politik. Dalam QS. Ali Imran: 159 yang artinya:
Â
       "Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal." (QS. Ali Imran: 159).
Â
       Penyebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perang badar pada zaman Rasulullah saw. Pada waktu itu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam peperangan badar dan banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan para sahabat termasuk Abu Bakar Shiddik dan Umar bin Khathab. Abu Bakar mengusulkan pendapatnya bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan kepada keluarganya dengan syarat membayar tebusan. Pendapat ini dianggap pandangan yang menunjukkan Islam itu lunak. Umar bin Khathab mengusulkan hal yang berbeda, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Hal ini dimaksud an agar mereka tidakberani lagi menghina dan mencaci Islam. Pandangan ini diangap pendapat yang keras. Dari kedua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ke-159 yang menegaskan Rasulullah SAW untuk berbuat lemah lembut dan memilih pendapat Abu Bakar. Jika pandangan yang menunjukkan keras hati, tentu mereka tidak akan menarik simpati tawanan sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddiq untuk melepaskan tawanan. Di sisi lain, ayat ini memberi peringatan kepada Umar bin Khathab, apabila dalam permusyawarahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkal kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itu pun dilepaskan.[2]
Â
       Ayat tersebut memang tidak menjelaskan arti politik secara gamblang. Namun, dapat ditelaah bahwa peristiwa asbabun nuzul tersebut merupakan bentuk konkret dari implementasi musyawarah politik. Bahwa pengambilan keputusan tidak boleh dilakukan secara sepihak, Nabi Muhammad saw. juga pernah menjelaskan dalam sabda beliau mengenai  politik secara istilah.
Â
       "Dari Furat al-Qazzaz, mengatakan: aku telah mendengar Abu Hazim mengatakan: aku telah duduk (belajar) lima tahun sama Abu Hurairah, dan aku mendengarnya bercerita tentang Nabi. Nabi bersabda: Adalah kaum Bani Israil dipimpin/diperintah oleh seorang Nabi. Setiap kali Nabi itu meninggal maka digantikan lagi dengan Nabi yang lain, dan tidak ada lagi Nabi setelah aku (Muhammad); dan akan ada pemerintah (khalifah) yang jumlahnya banyak. Mereka mengatakan: Apa yang engkau perintahkan kepada kami. Nabi mengatakan: Penuhilah dan baiatlah yang pertama dan selanjutnya. Dan berikanlah hakmereka, karena sesungguhnyaAllah akan menanyai mereka (di hari kemudian) tentang kepemimpinan mereka."[3]  (H.R. Baihaqi)