Mohon tunggu...
Nur Hofifah
Nur Hofifah Mohon Tunggu... Desainer - Santri sejati

editor in chief, fashion designer, and pastry chef

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Strategi Jitu Mempertahankan Kedaulatan Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Konflik di Laut China Selatan

31 Mei 2024   17:14 Diperbarui: 31 Mei 2024   17:20 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FoxNews pada 7 April 2024 silam melaporkan Beijing memperingatkan Perang Dunia III bisa pecah di Laut China Selatan. China Daily pada 29 Mei 2024 juga memperingatkan bahwa Laut China Selatan bisa menjadi medan pertempuran Perang Dunia III. Bahkan, Fyodor Lukyanov, pakar luar negeri Rusia, mengatakan Perang Dunia III sudah dimulai.

Itu menunjukkan ancaman konflik di Laut China Selatan bukan hanya pepesan kosong. Untuk itu, diperlukan strategi jitu dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Masalahnya, kedaulatan bukan hanya urusan pemerintah, tetapi menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankannya.

Diperlukan suatu strategi khusus yang jitu untuk mampu menjaga kedaulatan Indonesia dalam menghadapi ancaman konflik di Laut China Selatan. Strategi tersebut bukan hanya menggantungkan urusan tersebut kepada pemerintah semata, tetapi juga diperlukan pendekatan khusus mengantisipasi ancaman konflik tersebut.

Untuk itu, berbagai strategi tersebut menghadirkan berbagai perspektif yang kuat, bukan hanya dalam urusan keamanan dan pertahanan, tetapi juga menghadirkan sudut pandang diplomasi hingga digitalisasi. Berbagai strategi ini bukan hanya bersifat teoretis, tetapi dihadirkan bersifat solutif dan aplikatif untuk menyelesaikan persoalan kedaulatan di Laut China Selatan.

Menjadikan Pangkalan AL Selat Kampa sebagai Garda Terdepan Penjaga Kedaulatan

Instagram Presiden Joko Widodo
Instagram Presiden Joko Widodo

Dalam agresivitas Indonesia dalam menangkal ancaman konflik di Laut China Selatan sebenarnya patut mendapatkan apresiasi. Sudah sejak 2016 silam, keinginan untuk membangun pangkalan militer yang canggih dan berteknologi tinggi di Natuna yang besar memang sudah memiliki niat. Namun, realisasinya memang terbilang lambat.

Pada November 2017, TNI sudah mengirimkan Prajurit Pasmar-1 untuk melakukan persiapan pembanguna sarana dan prasarana pendukung di Selat Lampa.  Kemudian, seperti informasi yang pernah dirilis Dinas Penerangan Angkatan Laut, pada awal 2022, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) sudah melalukan survei di Pulau Natuna untuk membangun pangkalan militer.

Padahal, penegasan tentang pembangunan pangkalan militer terpadu juga sudah ditunjukkan Presiden Joko Widodo ketika naik KRI Usman Harun untuk meninjau Pangkalan AL Selat Lampa pada Januari 2020. Sebelumnya pada Oktober 2016, Presiden Joko Widodo juga pernah meninjau kawasan Selat Lampa di Natuna untuk mengetahui lokasi yang akan dijadikan pangkalan militer yang akan dilengkapi dengan armad drone, hingga bunker pesawat tempur. Kemudian, Menteri Pertahanan Prabowo Subiantor berulang kali telah mengatakan komitmen pemerintah untuk membangun pangkalan militer baru di Natuna. Indonesia sebenarnya sudah memiliki pangkalan militer di Selat Lampa, Natuna pada 2020.

Padahal, Henry J Kenny, analis senior di Center for Naval Analysis, sudah menulis pada jurnal Naval war College Review pada 1996, tentang Laut China Selatan sebagai wilayah yang berbahaya karena bisa memicu konflik besar. Dia sudah menyatakan bahwa kehadiran militer di Laut China Selatan merupakan langkah membangun kepercayaan diri untuk menjaga kepentingan nasional dan internasional. Itu menunjukkan langkah Indonesia

Faktanya, jika dibandingkan dengan China. Apa yang sudah dilakukan Indonesia sangatlah tertinggal China sudah membangun tiga pulau buatan di Laut China Selatan yang menjadi pangkalan militer dengan dilengkapi sistem misi anti-pesawat dan kapal, senjata laser, dan peralatan jamming. Hal itu sangat masuk akal karena China sudah membangun pangkalan militer di Laut China Selatan selama 20 tahun terakhir.

Sedangkan Amerika Serikat (AS) dengan tetap dengan strategi kunonya dengan mengandalkan proxy war-nya, seperti ditempuhnya di Ukraina untuk menghadapi Rusia, dan Israel serta negara-negara Arab untuk menghadapi Iran, Korea Selatan untuk melawan Korea Utara, hingga Taiwan untuk menghadapi China.

Di Laut China Selatan, AS memanfaatkan Filipina sebagai proxy war. Selama pemerintahan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr, AS berkomitmen menempatkan tentaranya di empat pangkalan militer baru untuk mempersiapkan konfrontasi dengan China. Itu menunjukkan AS tidak ingin berkonflik langsung dengan China, tetapi menjadikan Filipina sebagai garda depan atau proxy-nya jika terjadi pecah perang besar di Laut China Selatan.

Namun demikian, Indonesia harus kembali mempertahankan kedaulatan Indonesia diuntuk menunjukkan kehadiran militer di Laut China Selatan, terutama dengan menyiagakan kapal perang dan memperbesar kapasitas pangkalan Angkatan Laut-nya. Memperkuat Angkatan Laut di Natuna juga harus didukung dengan penggunakan teknologi militer yang canggih.

Memperkuat Lanud Raden Sadjad sebagai Pangkalan Drone Tercanggih

tni-au.mil.id
tni-au.mil.id

Melansir Komando Operasi Udara I, sebenarnya Indonesia sudah melakukan upaya untuk mempertahankan Natuna sejak 1952 dengan mendirikan Lanud Ranai di Kabupaten Natuna yang kini menjadi Pangkalan TNI AU (Lanud) Raden Sadjad. Sebenarnya, Lanud Raden Sadjad menjaga kepulauan Natuna merupakan pertahanan di wilayah barat dengan harapan agar mampu menjadi benteng pertahanan pertama jika terjadi gangguan keamanan berupa invasi negara asing.

Selama ini, pangkalan udara tersebut dilengkapi pesawat F-16 Fighting Falcon dari Skadron udara 16 di Wing Udara 6 Lanud Roesmin Nurjadi, Pekanbaru; Hely H225M Caracal, hingga Oerlikon Skyshiel. Pangkalan tersebut juga menambah jumlah tentara Angkatan Udara yang bertugas untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Lanud tersebut menjadi markas bagi Detasemen Pertahanan udara 475, 476, dan 477 Paskhas untuk memperkuat kedaulatan Indonesia.

Hal yang patut mendapatkan apresiasi karena prestasi berkaitan dengan Lanud Raden Sadjad adalah Lanud Raden Sadjad resmi memiliki Skadron Udara 52. Itu bukan skadron tradisional yang terdiri dari pesawat tempur. Tapi, itu mrupakan skadraon drone dengan kekuatan drone CH-4 Rainbow.

Dengan menghadirkan skadron drone di Natuna merupakan langkah tepat dan cerdas. Itu mengingatkan ketika Jenderal Henry "Hap" Arnold yang menghacar U-boat milik Nazi dengan pesawat pengebom B-17 dan B-24 tanpa pilot. Kini, drone merupakan mimpi dari Arnold yang menghadirkan perang canggih dan menggeser perang konvensional.

Seperti diungkapkan David Sterman dalam artikelnya berjudul Endless War Challenges Analysis of Drone Strike Effectiveness pada jurnal ilmiah HeinOnline pada 2022 menyatakan bahwa karakteristik drone adalah serangan yang lebih efektif. Tak mengherankan jika banyak negara sudah mengembangkan skadron drone untuk menghadapi ancaman konflik dan menjaga kedaulatan.


Merestrukturisasi Bakamla Jadi Pasukan Penjaga Pantai

Bakamla.go.id
Bakamla.go.id

Indonesia tidak memiliki pasukan penjaga pantai secara secara harfiah. Tapi, Indonesia memiliki Badan Keamanan Laut atau disebut dengan Bakamla yang tugasnya melakukan patroli keamanan dan keselamatan di perairan Indonesia. Secara institusi, Bakamla di bawah kendali TNI Angkatan Laut.

Sebagai institusi paramiliter, Bakamla sudah semestinya memiliki peran dan posisi yang kuat dalam menjaga kedaulatan Indonesia di Natuna yang berdekatan dengan Laut China Selatan. Hal itu penting karena kedaulatan bukan hanya urusan militer, tetapi menjaga tugas dan kewajiban intitusi sipil juga. Apalagi, fungsi Bakamla juga melaksanakan tugas dalam sistem pertahanan nasional.

Jadi, pada dasarnya Bakamla adalah bukan penjaga pantai Indonesia. Tapi, kerap dipaksanakan sebagai pasukan penjaga pantai. Perdebatan mengenai Bakamla seharusnya menjadi pasukan penjaga pantai menjadi hal yang menghangat sejak lama. Apalagi, ada amanat dari Badan Dunia Kemaritiman yakni International Maritime Organization (IMO) yang mengharuskan setiap negara memiliki pasukan penjaga pantai yang notabene diisi oleh elemen sipil.

Pasalnya, tugas penjaga pantai adalah urusan keselamatan dan keamanan. Sedangkan dalam tugas dan fungsi pokok Bakamla juga melaksanakan wewenang tersebut tetapi diisi oleh militer. Untuk mengatasi tumpang tindih tersebut, pemerintah sudah menunjukkan keseriusannya dengan merevisi UU Nomor 32 Tahun 2023 tentang kelautan dengan membentuk pasukan penjaga pantai yang menggabungkan Bakamla dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP).

Hal itu menunjukkan upaya untuk menghadirkan keadilan di laut. Pasalnya, China kerap melakukan provokasi dengan mengirimkan kapal penjaga pantai di perairan Natuna atau pun Laut China Selatan. Sedangkan Indonesia tidak memiliki pasukan penjaga pantai yang diisi oleh orang sipil. Ketika kapal penjaga pantai China berhadapan dengan Bakamla, maka itu seperti sipil berhadapan dengan militer. Hanya saja, Bakamla dalam tugasnya lebih menempatkan dirinya sebagai penjaga pantai.

Seperti diungkapkan Douglas Guilfoyle dan Edward Sing Yue Chan dalam artikelnya berjudul Lawships or warships? Coast guards as agents of (in)stability in the Pacific and South and East China Sea pada jurnal Marine Policy tahun 2020 menyebutkan bahwa, Laut China Selatan disebut sebagai pasukan penjaga pantai merupakan taktik 'gray zone' yang digunakan oleh China. Mereka menilai bahwa pasukan penjaga pantai sebagai upaya untuk menurunkan ketegangan di Laut China Selatan dan tidak menebar provokatif.

Dengan demikian, menghadirkan pasukan penjaga pantai di Natuna merupakan strategi terbaik untuk menjaga kedaulatan Indonesia di dekat Laut China Selatan, Kehadiran pasukan penjaga pantai nantinya akan memperkuat pengaruh dan kehadiran Indonesia di zona ekonomi eksklusif di Natuna.

Namun demikian, yang harus diperhatikan adalah mengurangi ego sektoral dalam pengamanan laut di Natuna. Dalam Undang-Undang Kelautan yang barus dibagi mengenai zona-zona pengamanan sehingga tidak berbenturan dengan tugas fungsi Angkatan Laut, kepolisian laut hingga pasukan penjaga pantai. Pembagian pengamanan laut sangat penting, pasalnya terdapat tujuh lembaga yang bertugas mulai dari TNI-Angkatan Laut; POLRI-Direktorat Kepolisian Perairan; Kementerian Perhubungan-Dirjen Hubla; Kementrian Kelautan dan Perikanan-Dirjen PSDKP; Kementrian Keuangan-Dirjen Bea Cukai; Bakamla, dan Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Illegal (Satgas 115).

Sehingga perlu pembanguan zona berdasarkan luasan mil laut atau menggiatkan patroli bersama antara institusi penjaga keamanan laut. Dengan Undang-Undang Kelautan juga mengatur tugas pokok masing-masing lembaga. Pasalnya, mereka sudah memiliki undang-undang sendiri dalam menjalankan pengamanannya. Hanya saja, untuk khusus Natuna, pasukan penjaga pantai adalah lembaga yang paling tepat untuk menjalankan tugas untuk menghindari provokasi militer.

Hal yang perlu mendapatkan perhatian lainnya adalah jumlah kapal patroli yang harus dimiliki pasukan penjaga pantai. Saat ini, melansir Kompas.com bahwa, Bakamla hanya memiliki 10 kapal patroli di mana idealnya adalah 90. Sedangkan KPLP yang saat ini di bawah direktorat jenderal perhubungan laut 7 unit kapal kelas I (60 meter), 15 unit kelas II (42 meter), 54 unit kelas III (28 meter), 65 unit kelas IV (15 meter), serta 237 unit kelas V (12 meter).

Memperteguh Diplomasi Maritim di Panggung Global

kemlu.go.id
kemlu.go.id

Menjaga kedaulatan bukan hanya urusan dengan senjata dan peralatan militer. Namun, mempertahankan kedaulatan membutuhkan dukungan penuh dalam hal diplomasi. Dalam urusan menjaga kedaulatan Indonesia, terutama berkaitan dengan ancaman konflik di Laut China Selatan, maka diplomasi yang dimainkan Indonesia sudah sangat baik dan terukur.

Misalnya pada inside penangkapan kapal nelayan China di perairan Natuna dan pelanggaran kedalautan oleh pasukan penjaga pantai China pada Desember 2019, Indonesia sudah memanggil duta besar China di Jakarta. Posisi Indonesia juga sangat jelas ketika Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan berulang kali bahwa Indonesia tetap berpegang teguh pada hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982 dan menolak klaim China tentang garis 9-dash line.

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia juga sudah mendorong mewujudkan code of conduct negara-negara ASEAN dalam penyelesaian Laut China Selatan. Hal itu ditujukan untuk meredam ekskalasi ketegangan di Laut China Selatan. Indonesia berusaha mendorong proses negosiasi, meskipun hasilnya menunjukkan hasil yang nyata.

Inti dari code of conduct di Laut China Selatan yang didorong Indonesia, seperti dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri Indonesia, adalah upaya menghadiran aturan tata perilaku yang merefleksikan norma, prinsip dan aturan internasional yang selaras dan merujuk pada hukum internasional, khususnya UNCLOS dengan tujuan tercapainya kawasan Laut China Selatan yang stabil, aman dan damai. Namun, pada KTT ASAN di Jakarta pada 2023 silam, negosiasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Dalam analis Dave McRae berjudul Indonesia's South China Sea Diplomacy: A Foreign Policy Illiberal Turn? pada Journal of Contemporary Asia pada 2019 menyebutkan Indonesia berusaha menjaga kedaulatan dengan menggunakan pendekatan status quo dan nasionalisme. Kemudian menurut Aaron Connelly dalam bab berjudul Indonesia and the South China Sea Under Jokowi dalam buku Asia-Pacific Regional Security Assessment 2020, menilai bahwa pemerintahan Joko Widodo menerapkan strategi diplomasi di mana menganggap Beijing bukan sebagai ancaman keamanan di Laut China selatan, tetapi lebih menempatkan China sebagai mitra ekonomi yang menguntungkan.

Memang yang menjadi kendala dalam diplomasi di ASEAN berkaitan dengan Laut China Selatan adalah sulit mencapai konsensus karena perbedaan kepentingan masing-masing negara. Apalagi, dinamika Laut China Selatan juga sangat kompleks karena hadirnya militer hingga permasalahan hukum yang melingkupinya. Apalagi, China juga kerap melakukan diplomasi backdoor dengan berbagai untuk menyelesaikan urusan di Laut China Selatan.

Melibatkan Generasi Muda dalam Menjaga Kedaulatan Digital 

Kominfo.go.id
Kominfo.go.id

Pada 21 Mei 2024 lalu, South China Morning Post melaporkan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr menyatakan bahwa adanya upaya cognitive warfare atau perang kognitif yang dilakukan China dalam kaitannya dengan Laut china Selatan. Perang kognitif itu pada dasarnya adalah seperti perang psikologis yang menekankan manipulasi untuk mempengaruhi persepsi.

Untuk Indonesia, memang belum ada pernyataan tentang perang kognitif sudah dimainkan China berkaitan dengan Laut China Selatan. Tapi, strategi tersebut bisa saja dimainkan China untuk mempengaruhi persepsi publik Indonesia tentang ancaman Laut China Selatan.

Melansir dari situs resmi NATO. perang kognitif itu menginterasikan kapasitas sosial, psikologis, informasi dan siber sebagai instrumen untuk mempengaruhi perilaku dan sikap untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Seperti diungkapkan IIDA Masafumi is Director of the Security Studies Department, National Institute for Defense Studies (NIDS) dalam artikelnya di The Diplomat berjudul China's Chilling Cognitive Warfare Plans pada Mei 2024 lalu, menyatakan China menggunakan perang kognitif dalam konflik untuk membentuk kesadaran pikiran manusia sehingga mengubah ide seorang.

Seperti diungkap oleh Joyce Nip dan Chao Sun dalam artikelnya berjudul Public Diplomacy, Propaganda, or What? China's Communication Practices in the South China Sea Dispute on Twitter pada 2022, perilaku manipulatif memicu ketegangan dan gangguan sehingga yang dipengaruhi propaganda abu-abu/hitam. Selain itu, Mark Bryan Manantan dalam jurnal Issues & Studies pada 2020 menyatakan bahwa China kerap menggunakan pengaruh dengan petarungan siber di ranah digital untuk meningkatkan kekuasaan di kawasan Indo-Pasifik.

Di Indonesia, secara umum, perang kognitif yang dimainkan di Laut China Selatan, umumnya menggunakan pendekatan psikologis, media sosial, dan faktor hukum. Itu ditujukan untuk menakuti-nakuti masyarakat Indonesia pihak yang terkait dengan konflik Laut China Selatan. Diperlukan kajian mendalam mengenai dampak perang kognitif berkaitan dengan Laut China Selatan, masalahnya hal itu masih minim.

Dan yang paling menonjol berkaitan dengan psikologis dan media sosial berkaitan dengan perang kogniif. Pasalnya. sebuah survei terbaru yang dilakukan oleh Populix mengungkap dampak yang signifikan dari media sosial terhadap semangat nasionalisme anak muda Indonesia. Dalam survei yang melibatkan 1.096 responden di Indonesia pada Agustus 2023, sekitar 65% dari mereka menyatakan merasakan penurunan semangat nasionalisme, terutama Gen-Z, kelompok anak muda yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Sebanyak 71% dari responden menyebutkan bahwa media sosial memainkan peran besar dalam menurunkan semangat nasionalisme mereka.

Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan untuk mengatasi perang kognitif di kalangan generasi muda adalah literasi digital. Itu sebagai ajang untuk mengenalkan kembali nasionalisme. Mengenalkan keindahan alam dan kedaulatan Natuna menjadi isu yang bisa dimainkan untuk membangkitkan rasa memiliki Indonesia agar tidak diganggu entitas asing. Mengajak influencer untuk berkunjung ke Natuna juga bisa menjadi jalan yang paling mudah. Nantinya, Gen Z juga diajak untuk bisa membedakan antara hoaks dan fakta dalam berbagai konten di media sosial.

Strategi yang sudah diterapkan pemerintah dan perlu ditingkatkan adalah mendorong program Bela Negara di kalangan Gen-Z dan milenial. Bukan mengajak mereka menjadi komponen cadangan, tetapi menghadirkan program yang lebih menarik dan populer untuk menggugah semangat nasionalisme dan melibatkan mereka dalam menjaga kedaulatan.

Selanjutnya, dalam menghalau perang kognitif berkaitan dengan Laut China Selatan, langkah Lanud Raden Sadjad Natuna yang menggelar Open Base untuk meningkatkan minat dan citra kedirgantaraan dengan melihat pesawat tempur dan helikopter juga merupakan suatu strategi yang tepat. Selain itu, memperjuangkan dan membela nelayan Natuna juga menjadi hal yang signifikan dengan melindungi mereka dari kapal asing dan membebaskan mereka yang ditangkap aparat Malaysia.

Butuh Gerakan Sosial di Masyarakat, Bukan Hanya Pemerintah

Kemhan.go.id
Kemhan.go.id

Sebagai kesimpulan, strategi yang ditawarkan pada artikel ini tidak fokus untuk menyerahkan penyelesaian ancaman konflik di Laut China Selatan kepada pemerintah semata. Tapi, pemerintah, mungkin saja Gen-Z, juga harus ikut diajak bertanggung jawab. Itu menunjukkan diperlukan gerakan sosial untuk mengampanyekan upaya menjaga kedaulatan dengan cara mereka.

Meskipun demikian, pemerintah melalui berbagai lembaga pertahanan dan keamanan memiliki tugas mulia untuk bertanggung jawab lebih besar dalam menjaga kedaulatan. Selalu mengedepankan kepentingan nasional menjadi hal mutlak yang perlu dipertahankan untuk mengelola ancaman konflik di Laut China Selatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun