Sehingga perlu pembanguan zona berdasarkan luasan mil laut atau menggiatkan patroli bersama antara institusi penjaga keamanan laut. Dengan Undang-Undang Kelautan juga mengatur tugas pokok masing-masing lembaga. Pasalnya, mereka sudah memiliki undang-undang sendiri dalam menjalankan pengamanannya. Hanya saja, untuk khusus Natuna, pasukan penjaga pantai adalah lembaga yang paling tepat untuk menjalankan tugas untuk menghindari provokasi militer.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian lainnya adalah jumlah kapal patroli yang harus dimiliki pasukan penjaga pantai. Saat ini, melansir Kompas.com bahwa, Bakamla hanya memiliki 10 kapal patroli di mana idealnya adalah 90. Sedangkan KPLP yang saat ini di bawah direktorat jenderal perhubungan laut 7 unit kapal kelas I (60 meter), 15 unit kelas II (42 meter), 54 unit kelas III (28 meter), 65 unit kelas IV (15 meter), serta 237 unit kelas V (12 meter).
Memperteguh Diplomasi Maritim di Panggung Global
Menjaga kedaulatan bukan hanya urusan dengan senjata dan peralatan militer. Namun, mempertahankan kedaulatan membutuhkan dukungan penuh dalam hal diplomasi. Dalam urusan menjaga kedaulatan Indonesia, terutama berkaitan dengan ancaman konflik di Laut China Selatan, maka diplomasi yang dimainkan Indonesia sudah sangat baik dan terukur.
Misalnya pada inside penangkapan kapal nelayan China di perairan Natuna dan pelanggaran kedalautan oleh pasukan penjaga pantai China pada Desember 2019, Indonesia sudah memanggil duta besar China di Jakarta. Posisi Indonesia juga sangat jelas ketika Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan berulang kali bahwa Indonesia tetap berpegang teguh pada hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982 dan menolak klaim China tentang garis 9-dash line.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia juga sudah mendorong mewujudkan code of conduct negara-negara ASEAN dalam penyelesaian Laut China Selatan. Hal itu ditujukan untuk meredam ekskalasi ketegangan di Laut China Selatan. Indonesia berusaha mendorong proses negosiasi, meskipun hasilnya menunjukkan hasil yang nyata.
Inti dari code of conduct di Laut China Selatan yang didorong Indonesia, seperti dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri Indonesia, adalah upaya menghadiran aturan tata perilaku yang merefleksikan norma, prinsip dan aturan internasional yang selaras dan merujuk pada hukum internasional, khususnya UNCLOS dengan tujuan tercapainya kawasan Laut China Selatan yang stabil, aman dan damai. Namun, pada KTT ASAN di Jakarta pada 2023 silam, negosiasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Dalam analis Dave McRae berjudul Indonesia's South China Sea Diplomacy: A Foreign Policy Illiberal Turn? pada Journal of Contemporary Asia pada 2019 menyebutkan Indonesia berusaha menjaga kedaulatan dengan menggunakan pendekatan status quo dan nasionalisme. Kemudian menurut Aaron Connelly dalam bab berjudul Indonesia and the South China Sea Under Jokowi dalam buku Asia-Pacific Regional Security Assessment 2020, menilai bahwa pemerintahan Joko Widodo menerapkan strategi diplomasi di mana menganggap Beijing bukan sebagai ancaman keamanan di Laut China selatan, tetapi lebih menempatkan China sebagai mitra ekonomi yang menguntungkan.
Memang yang menjadi kendala dalam diplomasi di ASEAN berkaitan dengan Laut China Selatan adalah sulit mencapai konsensus karena perbedaan kepentingan masing-masing negara. Apalagi, dinamika Laut China Selatan juga sangat kompleks karena hadirnya militer hingga permasalahan hukum yang melingkupinya. Apalagi, China juga kerap melakukan diplomasi backdoor dengan berbagai untuk menyelesaikan urusan di Laut China Selatan.
Melibatkan Generasi Muda dalam Menjaga Kedaulatan DigitalÂ