Pada sikon tersebut, orang yang mengalami atau memperlihatkan denial atau 'denialist,' umumnya memperlihatkan diri, minimal melalui raut wajah, orasi, dan narasi, tidak terpengaruh apa-apa terhadap hal-hal yang didengar dan dilihat atau yang disampaikan ke/padanya; walaupun semuanya itu telah ada bukti dan fakta.
Mungkin saja ketika, anda dan saya, melihat seseorang yang sementara denial, dengan cepat berpikir (dan menilai) bahwa orang itu kuat, tabah, kokoh, hebat pertahanan dirinya, sehingga tak terpengaruh apa-apa terhadap hal-hal yang menimpa dirinya.
##########
Dari narasi-narasi di atas, terutama keraguan Thomas, ada suatu simpulan bahwa murid-murid sempat meragukan  kebangkitan Yesus. Hal tersebut normal, karena dengan pemikiran dan akal sehat,  bagaimana mungkin orang mati bangkit atau hidup (lagi).
Selain itu, murid-murid pun belum pahami (atau lupa?) tentang makna dan pentingnya Kebangkitan Yesus; bahwa, "Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.Â
Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati." Pemahaman Iman ini, baru muncul kira-kira 20 tahun setelah peristiwa Kebangkitan Yesus.
Bisa disebutkan bahwa Thomas "mewakili" banyak orang, sepanjang sejarah umat manusia, yang perlu melihat bukti dan fakta, baru percaya terhadap orasi dan narasi apa pun.
Mereka bukan kaum pesimis dan "peragu" tapi orang-orang nalar terbangun dari dasar atau cara berpikir logis, tajam, dan kritis. Dengan cara seperti itu, logis-tajam-kritis, mereka tidak mudah terjerumus dalam jurang "asal percaya tanpa mikir."
Namun, "tidak asal percaya tanpa mikir" tersebut tak bermakna (selalu) mengkesampingkan dan mengabaikan orasi serta narasi dari lebih dari satu atau dua orang saksi mata; saksi yang mengalami, merasakan, melihat suatu peristiwa.Â
Pengabaian (dan mengkesampingkan) seperti itu justru memperlihatkan diri sebagai orang yang keras kepala, egoistik, berpusat pada (pendapat dan pandangan) diri sendiri, serta tak mau dengar pandapat orang lain.
Dan, pada konteks kekinian, kaum seperti itu, umumnya, merupakan tipikal Thomas atau pun Denialist Kontemporer (hanya sementata menolak, kemudian percaya) atau pun Denialist Abadi.