##
Berdasar tiga catatan di atas, lahir tulisan berikut.
###
Puasa telah lewat, kehangatan Idul Futri pun, sebentar lagi (akan) berangsur hilang; kemudian hidup dan kehidupan akan bergulir (kembali) seperti biasanya.
Pada waktu Puasa, dan utamanya saat Idul Fitri, nyaris tidak ada orang yang merasa diri benar dan paling benar. Semuanya menyatakan diri penuh dan selalu salah melalui kata, tindak, dan perbuatah. Oleh sebab itu, mereka meminta serta saling memaafkan.
Mungkin saja, nanti beberapa hari setelah Idul Fitri, orang akan lupa bahwa mereka pernah saling memaafkan.
Memang benar. Pada waktu Idul Fitri, semua orang, yang merayakannya, memohon dan memberi maaf. Sehingga maaf dan memaafkan begitu gampang dan ringan diucapkan serta laris manis.
Namun, apakah saling maaf dan memaafkan itu, termasuk meniadakan kebencian politik; serta menghentikan ujar kebencian akibat perbedaan dan persaingan politik? Seharusnya termasuk. Tapi, faktanya, tidak terjadi.
Maraknya konten yang muncul dari kebencian politik itu, sampai-sampai saya gunakan fitur 'Laporkan ke FB' karena sejumlah image dan video ujar kebencian dan hoax; serta gunakan fitur pelabelan di WA untuk melaporkan konten-konten jahat, hoax, ujar kebencian, dan sejenisnya.
Para pembenci tersebut, bisa-bisanya merobah fakta yang real menjadi terbalik atau pun penuh sinisme, tak bermartabat, serta di luar akal sehat.
Misalnya, meme-meme yang menghina Presiden, video editan, kata-kata posting di Medsos. Bahkan, tak sedikit tokoh yang sinis terhadap lancarnya arus mudik melalui toll, rekayasa lalulintas, sampah di jalan raya dan tempat wisata, dan lain-lain.
Lalu, buat apa para pembenci tersebut melakukan pelatihan rohani dan pemulihan diri selama Ramadhan? Apakah mereka berpikir bahwa sinisme dan kebencian politik bukan lah sesuatu yang melanggar ketentuan Sang Pencipta? Entah lah.