Srengseng Sawah, Jakarta Selatan | Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang di dalamnya ada amanat agar Pemerintah Pusat mengalokasikan dana (melalui Anggaran Negara) ke setiap Desa di Nusantara. Dengan cara seperti itu, Desa mampu membangun dirinya karena undang-undang mewajibkan negara untuk mengucurkan dana.
Jumlah dananya meningkat dari tahun ke tahun dan desa memiliki otonomi dalam pengelolannya. Pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran dana desa, yakni Rp20 triliun pada 2015, Rp47 triliun pada 2016, Rp60 triliun di 2017, 2018 Rp60 triliun, dan pada 2019 diusulkan naik menjadi Rp70 trilun. Luar Biasa.
Walaupun, di beberapa desa terjadi penyimpangan pemakaiana dana Desa, namun umumnya penyebaran dan penggunaan dana desa tersebut, telah menunjukkan hasil yang nyata. Sejumlah besar desa di Nusantara, dengan pasti, menunjukan kemajuan pada berbagai bidang; misalnya, ekonomi, sosial, bahkan taraf hidup.
Keberhasilan tersebut, menjadikan sejumlah besar Lurah dan Kelurahan ingin mendapat perlakuan yang sama seperti Desa; dalam artian Lurah dan Kelurahan pun ingin memperoleh dana pengembangan Kelurahan (di kota) sebagai bagian pembangunan ekonomi masyarakat kota dan industri.
Hal tersebut mudah dipahami, karena tak dapat disangkal, bahwa sangat banyak Kelurahan di Kota (Kota Besar dan Kota Madya) masih sebagai 'perkampungan kumuh' di tengah metropolitan; misalnya, penataan lingkungan yang tak elok, gang-gang kecil yang padat, bahkan sanitasi yang buruk, serta dihuni leh kaum miskin kota, dan lain sebagainya.
Sikon seperti itulah, yang mendorong aparat Kelurahan mengusulkan ke Administrator Kota (termasuk Walikota dan Bupati) agar mereka pun mendapat alokasi pengembangan (lingkungan, ekonomi, dan masyarkat) Kelurahan di perkotaan. Usulan tersebut kemudian, dilanjutkan ke (menurut Mendagri) Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2016.
Dalam catatan saya, Dana Kelurahan itu pertama kali diusulkan (ulang) oleh para Wali Kota dari seluruh Indonesia saat bersilaturahim dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, 23 Juli 2018. Mereka Para meminta pemerintah pusat tidak hanya mengalokasikan Dana Desa, tetapi juga dana khusus untuk kelurahan karena persoalan di perkotaan juga relatif kompleks.
Jadi, mengalami proses yang bertahap dan cukup memakan waktu. Dan, bukan 'tiba masa tiba akal;' apalagi dikaitkan dengan proses Pilpres. Kemudian, beberapa hari yang lalu, tepatnya 19 Oktober 2018, di Bali, Presiden Joko Widodo menyatakan,
"Mulai tahun depan, perlu saya sampaikan, terutama untuk di kota, ada yang namanya anggaran kelurahan. Program baru itu, lanjut Jokowi, dikeluarkan pemerintah karena banyaknya keluhan dari masyarakat terkait anggaran di tingkat kelurahan.
Banyak keluhan, Pak ada dana desa, kok enggak ada dana untuk kota. Ya sudah, tahun depan dapat. Tahun depan, pemerintah akan menerbitkan kebijakan terkait operasional dana desa yang mengatur penggunaan dan fungsi dana desa agar semakin tepat sasaran.
Sebentar lagi akan kita revisi peraturan pemerintahnya, baru kita hitung-hitung, enggak tahu dapat 5 atau 4 persen. Nanti akan kita putuskan. [Kompas Com]"
Jelas khan Fadli Zon? Kok Fadli Zon? Ya, dia. Sebab, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon tersebut mempertanyakan alasan pemerintah memasukkan dana kelurahan ke dalam APBN 2019. Menurut Zon, "Pertanyaannya adalah kenapa sekarang? Kenapa enggak dari dulu? Kalau kami setuju dari dulu, harusnya desa itu dengan kelurahan itu di-treatment-nya sama.Â
Kenapa baru sekarang? Kami kalau dari dulu lebih setuju lagi. Jangan sampai ini karena hanya untuk kepentingan politik sesaat, tetapi pada prinsipnya kami menyetujui dana kelurahan itu dari dulu seharusnya, disamakan dengan dana desa."
Waduh! Agaknya bukan kawan saya ini menilai bahwa program dan pelaksanaan Dana Kelurahan tersebut, bukan sebagai upaya kesetaraan dan keterpihakan terhadap masyarakat Kelurahan, tapi ada faktor politis dan politis. Sehingga ia kritisi tanpa solusi, daripada memberi dukungan politik. Itulah Fadli Zon, yang penting bunyi, walau salah serta tidak tepat sasaran dan waktu.
Dengan demikian, bukan teman saya itu agaknya lupa menempatkan dan membedakan diri antara (sebagai) Anggota MPR/DPR dan Oposisi. Sehingga apa pun yang dilakukan (dan dikerjakan) pemerintah, di hadapannya, tidak ada yang baik dan benar. Kasian.
Apa boleh buat lah; itulah politik tidak cerdas politisi di Negeri Tercinta.
Baca penjelasan Menteri Keuangan (di bawah)
Opa Jappy | Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ
"Rencana membuat program Dana Kelurahan merupakan masukan dari bupati serta wali kota yang selama ini tidak dapat dana tambahan seperti Dana Desa.
Menurut para kepala daerah, tidak sedikit kelurahan yang masyarakatnya miskin dan memiliki anggaran yang minim, sehingga perlu bantuan pemerintah pusat untuk mengembangkan daerahnya.
Ada kabupaten yang bisa memiliki kelurahan dan desa. Desa dapat (bantuan), kelurahan tidak, sehingga menimbulkan tensi yang cukup nyata di berbagai tempat.
Alokasi anggaran untuk dana desa selalu meningkat dari tahun ke tahun, sejak dilaksanakan pada 2015. Peningkatan alokasi untuk dana desa juga dinilai sejalan dengan perkembangan roda perekonomian masyarakat di pedesaan, sehingga dinilai efektif dan dapat diterapkan juga untuk kelurahan.
Meski konsepnya kurang lebih sama, formula untuk menentukan dana kelurahan berbeda dengan dana desa. Hal itu dikarenakan kelurahan merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang selama ini telah memiliki pos anggaran dari pemerintah daerah, baik tingkat 1 maupun tingkat 2.
Jadi tidak melakukan formulasi seperti alokasi dana desa yang ada formulanya berdasarkan jumlah penduduk, dari sisi kemiskinan, bagaimana ketertinggalan mereka. Karena merupakan SKPD, nanti Mendagri sama kami membuat keputusan mengenai bagaimana formula untuk pembagiannya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H