Mohon tunggu...
Opa Jappy
Opa Jappy Mohon Tunggu... Konsultan - Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

http://jappy.8m.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sasando, Salah Satu Trilogi Rote

22 Agustus 2018   14:37 Diperbarui: 22 Agustus 2018   14:41 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sasando | Dokumentasi Diaspora Rote

Rote, yang kini semakin populer karena sering diucapkan oleh Presiden Jokow Widodo, dalam kaitan dengan kesatuan NKRI, Dari Sabang sampai Merauke dan Mianggas hingga Rote. 

Rote (resminya adalah Kabupaten Rote Ndao) adalah wilayah Kabupaten terselatan dari RI, memiliki sejumlah besar unsur budaya, adat, dan kebiasaan yang masih dipertahankan hingga kini. Dari sejumlah unsur budaya tersebut, Haik, Ti'i Langga, dan Sasando merupakan Trilogi Rote asal dan asli Rote, yang tidak ada di tempat lain.

Rote, dan juga Ndao dan Ndana, Nusak Lote, demikian orang-orang Rote menyebut Tanah Kelahiran mereka, juga memiliki alat musik khas, unik, serta tidak ada di belahan Bumi mana pun, yang disebut Sasando. Sasando adalah alat musik dawai yang dimainkan dengan dipetik; secara harfiah sasando atau sando dalam bahasa Rote artinya sesuatu yang bergetar atau suara yang keluar karena bergetar.

Sasando, bisa juga disebut 'alat musik dari haik;' sebab, aslinya, asal bentuk sasando persis haik (sebagai resonansi), dan pegangan haik diberi dawai, sehingga bisa dipetik dan mengeluarkan bunyi atasu sesuai irama.  

Bentuk haik untuk sasando, sama dengan haik memikul atau pun menjual tuak, namun pegangannya digantik gondola senar. Mencerminkan hidup dan kehidupan Orang Rote yang tak pernah statis; dalam diam sekalipun, mereka mampu menggetarkan orang lain dengan irama serta suara yang merdu dan penuh keindahan, (lihat image pada artikel).

Jenis Sasando

Sasando, yang awalnya sebagai isntrumen musik tradisional, telah lama ada atau muncul di Pulau Rote. 'Sasando Asli' juga disebut Sasando Gong, bernada pentatonic; memiliki dua belas dawai. Biasanya hanya digunakan untuk memainkan lagu-lagu tradisional masyarakat di Pulau Rote.

Namun, sekitar abad 18, pada seiring dengan perkembangan dan kebutuhan sosial, kemudian, para pemain Sasando atau Sasandors, melakukan modifikasi sehingga memunculkan Sasando Biola. Sasando Biola memiliki sistem nada diatonic, berdawai mencapai 48 utas; dan nada dan irama yang dihasilakan lebih bervariasi.

Belakangan, karena perkembangan teknologi serta seni music dan bunyi, para pemain Sasando atau Sasandors, melakukan modifikasi sehingga memunculkan Sasando Elektrik, sehingga ketika memainkannya, terdengar berbagai variasi bunyi dan nada.

Asal Usul Sasando

Para Petutur Rote menyatakan bahwa, Sasando telah digunakan di kalangan masyarakat Rote, terutama kalangan pria muda sejak/atau pada abad ke-7. Tapi, siapa yang memainkannya pertamak kali? Karena tidak ada cacatan tertulis, maka ada beberapa pendapat tentang asal muasal sasando.

Catatan Pertama

Pada awal abad 7, seorang pemuda bernama Sangguana (tidak ada informasi tentang asal-usul Sangguana), seorang pelaut yang berlayar seorang diri, terdampar di Ndana, sebelah Selatan Rote. Pemuda asing ini tidak mengerti bahasa setempat; dibawa ke hadapan Manek atau Raja Takala'a (tidak banyak diketahui tentang Kerajaan Takala'a). Sebagai orang asing, Sangguana diberi kesempatan tinggal di Istana Raja, sambil belajar bahasa setempat.

Manek Takala'a menunjuk putrinya untuk mengajari bahasa dan adat atau kebiasaan Rote ke/pada Sangguana. Saat proses belajar itulah, Sangguana jatuh cinta pada Sang Putri. Pada suatu waktu, mereka berdua menghadap Raja untuk dinikahkan; Raja setuju, namun memberi syarat agar Sangguana membuat alat musik yang berbeda dengan gong, tambur, atau pun seruling atau yang sudah ada di Rote.

Sangguana, yang senang berkelana di laut itu, bemaksud mengarungi laut untuk memenuhi syarat dari Sang Raja, namun ia dilarang menggunakan sampan atau pun perahu. 

Oleh sebab itu Sangguana pergi ke padang sabana, karena kelelahan kemudian ia berhenti untuk beristirahat sejenak di bawah pohon lontar; di atas pohon tersebut ada sejumlah haik untuk menampun nira atau air tuak. Ketika itu, bermimpi tentang memainkan musik dari bunyi-bunyi yang keluar dari haik.

Sangguana terbangun dari tidurnya, ia naik pohon lontar, dan mengambil salah satu haik; pada kayu pegangan haik ia menaruh 7 utas tali kecil; dan ia petik, ternyata menghasilkan bunyi berirama. Sangguana bergegas menghadap, dan memperlihat dan memainkan musik dari haik yang ia sebut sebagai Sari Sandu; tapi Sang Putri menyebutnya sebagai Depo Hitu atau sekali dipetik tujuh dawai bergetar.  

Catatan Kedua

Dua orang gembala bernama Lumbilang dan Balialang (sumber, Jeremias Pah), sementara mengembalakan ternak mereka di Padang Rumput. Mereka terbiasa membawa makan dan air minum di/dalam haik. Pada suatu waktu, mereka kehabisan air; setelah beberapa waktu mencari mereka menemukan mata air.

Lumbilang dan Balialang kemudian berniat mengambil air dengan haik; mereka harus memperkuat ikatan tali pada kayu pegangan haik. Sercara tidak sengaja, keluar bunyi yang yang berirama. Keduanya berdiam diri, karena fokus pada air minum. 

Setelah beistirahat, keduanya menambah  menambah beberapa uta tali kecil di pegangan haik, dan kembali melakukan petikan. Ternyata menghasilkan irama yang merdu. Keduanya menyebutkan temuanya sebagai Saesando atau bunyi di atas/karena getaran.

 Catatan Ketiga

Dua orang sahabat bernama Lunggi dan Balok Ama Sina; keduanya adalah penggembala domba dan penyadap tuak. Di saat-saat istirahat, mereka berdua membuat haik untuk ditukarkan dengan bahan makanan atau dijual. 

Pada suatu waktu, ketika membuat haik, dan menaruh (mengikat) benang atau tali halus di pegangan haik, secara tidak sengaja, mereka menarik-menari tali tersebut, saat itu menghasilkan bunyi yang berirama.

Catatan Keempat

Seorang pemuda bernama Pupuk Soroba (dari Rote Barat), suatu waktu menyaksikan seekor laba-laba yang besar sedang asyik memainkan jaring (sarangnya) sehingga terdengar alunan suara yang indah. Saroba kemudian terinspirasi untuk menciptakan alat yang dapat mengeluarkan bunyi yang indah. Ia kemudian lidi-lidi daun lontar yang mentah, lalu dipetik. 

Pikiran Soroba makin berkembang, terakhir ruas bamboo dipasang pada haik yang terbuat dari daun lontar, serta senar atau dawai mula-mula dibuat dari serat akan pohon beringin.

Saroba pun menirukan cara kerja laba-laba, maka berdasarkan kepercayaan (mitos) di Rote bila seseorang ingin pandai bermain/memetik Sasandu maka Ia harus menangkap seekor laba-laba lalu menghancurkannya sesudahnya dicampur dengan minyak kelapa lalu diolah/diremas-remas pada jari-jemari.

Dokumentasi Diaspora Rote
Dokumentasi Diaspora Rote
Dari keempat catatan diatas, menurut Warisan Tuturan yang saya dapat dari sejumlah Petutur Rote, bahawa catatan pertama merupakan dasar utama 'asal usul' Sasando. Cerita dan catatan berikut, merupakan modifikasi sesuai locus yang bertutur.

Opa Jappy | Orang Rote yang Bertutur Melalui Tulisan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun