Catatan Pertama
Pada awal abad 7, seorang pemuda bernama Sangguana (tidak ada informasi tentang asal-usul Sangguana), seorang pelaut yang berlayar seorang diri, terdampar di Ndana, sebelah Selatan Rote. Pemuda asing ini tidak mengerti bahasa setempat; dibawa ke hadapan Manek atau Raja Takala'a (tidak banyak diketahui tentang Kerajaan Takala'a). Sebagai orang asing, Sangguana diberi kesempatan tinggal di Istana Raja, sambil belajar bahasa setempat.
Manek Takala'a menunjuk putrinya untuk mengajari bahasa dan adat atau kebiasaan Rote ke/pada Sangguana. Saat proses belajar itulah, Sangguana jatuh cinta pada Sang Putri. Pada suatu waktu, mereka berdua menghadap Raja untuk dinikahkan; Raja setuju, namun memberi syarat agar Sangguana membuat alat musik yang berbeda dengan gong, tambur, atau pun seruling atau yang sudah ada di Rote.
Sangguana, yang senang berkelana di laut itu, bemaksud mengarungi laut untuk memenuhi syarat dari Sang Raja, namun ia dilarang menggunakan sampan atau pun perahu.Â
Oleh sebab itu Sangguana pergi ke padang sabana, karena kelelahan kemudian ia berhenti untuk beristirahat sejenak di bawah pohon lontar; di atas pohon tersebut ada sejumlah haik untuk menampun nira atau air tuak. Ketika itu, bermimpi tentang memainkan musik dari bunyi-bunyi yang keluar dari haik.
Sangguana terbangun dari tidurnya, ia naik pohon lontar, dan mengambil salah satu haik; pada kayu pegangan haik ia menaruh 7 utas tali kecil; dan ia petik, ternyata menghasilkan bunyi berirama. Sangguana bergegas menghadap, dan memperlihat dan memainkan musik dari haik yang ia sebut sebagai Sari Sandu; tapi Sang Putri menyebutnya sebagai Depo Hitu atau sekali dipetik tujuh dawai bergetar. Â
Catatan Kedua
Dua orang gembala bernama Lumbilang dan Balialang (sumber, Jeremias Pah), sementara mengembalakan ternak mereka di Padang Rumput. Mereka terbiasa membawa makan dan air minum di/dalam haik. Pada suatu waktu, mereka kehabisan air; setelah beberapa waktu mencari mereka menemukan mata air.
Lumbilang dan Balialang kemudian berniat mengambil air dengan haik; mereka harus memperkuat ikatan tali pada kayu pegangan haik. Sercara tidak sengaja, keluar bunyi yang yang berirama. Keduanya berdiam diri, karena fokus pada air minum.Â
Setelah beistirahat, keduanya menambah  menambah beberapa uta tali kecil di pegangan haik, dan kembali melakukan petikan. Ternyata menghasilkan irama yang merdu. Keduanya menyebutkan temuanya sebagai Saesando atau bunyi di atas/karena getaran.
 Catatan Ketiga