Â
Dalam hening, suara itu, kembali memanggil dengan jelas; ia muncul dalam gemuruh kesepian angin malam.
Memaksaku untuk menjawab; namun tetap kumenolak.
Hanya kumenyadari bahwa
"Darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan;
 saat kematianku sudah dekat.
Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik;
aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang dikaruniakan Tuhan padaku."
Lalu, kumenyadari, jika saatnya tiba, maka
Ku tak mau dikubur pada  ketinggian, karena dirimu akan lelah mendaki untuk menemuiku.
Ku tak mau dikubur pada  lereng bukit, karena dirimu tak menemukanku, ketika jazadku terbawa longsor.
Ku tak mau dikubur pada tanah datar, karena dirimu akan habiskan  banyak waktu di sampingku.
Ku tak mau dikubur pada tepian pantai, karena gelombang laut akan menghapus kenangan manis  dirimu dan diriku.
Ku tak mau dikubur pada pinggir sungai, karena dirimu tak khan mendengar bisikanku  dalam kesepian yang terganggu gemercik air.
Ku tak mau dikubur pada area  padang pasir, karena ketika dirimu bergegas menemuiku, engkau akan kepanasan dan haus.
Ku tak mau dikubur pada pinggir jalan, karena dirimu hanya mampir sesaat di sampingku, ketika melangkah ke arah lain.
Ku tak mau dikubur pada Kompleks Pekuburan, karena ketika dirimu ada didekatku, maka akan bertemu sosok-sosok tak bernyawa.
Ku tak mau dikubur pada lembah kelam dan gelap, karena disaat senja, dirimu sulit menemukan.
Ku tak mau dikubur di antara hiruk pikuk metropolitan, karena semarak rumahku kalah dari gemerlapan cahaya metropolis.
Ku tak mau dikubur pada area belakang rumahmu, karena diriku akan jadi terbelakang dalam ingatanmu.
Ku tak mau dikubur pada halaman depan rumahmu, karena akan membawa kesedihan panjang ketika melihatku terbaring sepi di bawah panas dan hujan.
Aku hanya mau dikubur dalam hatimu dan tanpa nisan; sehingga kutetap ada di sana untuk selamanya.
 Selamanya
 dan selamanya
Sang Aku | Jappy M Pellokila
Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.
Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.
Pernah mendengar cerita tentang rasa kematian itu sama meski dipandangan mata berbeda.
Ada yang mati saat tidur, seolah nikmat dan tak terasa.
Ada yang mati tercincang, tubuh terpisah darah mengalir, berantakan, menjijikan dan mengerikan. Tapi, rasa kematian tetap sama. Tidak berbeda.
Jadi jangan takut dengan kematian, takutlah pada hidupmu sendiri.
Kematian adalah batas akhir hidup dan kehidupan, manusia seberpengaruh apapun, jika sudah mati jasadnya tidak lagi berguna, yang ada menjadi bangkai yang menjijikan dan bisa menularkan penyakit.
Jarang bahkan nyaris tidak ada manusia yang menginginkan mati saat pikiran sehatnya masih ada di dalam otaknya.
Namun, harus ada yang mati di dalam hidup. Hal itu sangat bijak, kehidupan harus seimbang, dan kematian bisa jadi salah satu jalannya.
Pasrahkan yang telah pergi, bahkan jika tahu diri sendiri yang akan mengalaminya.
Merenggut nyawa manusia yang terus memberi teror pada yang lain, kadang jauh lebih baik ketimbang membiarkannya hidup.
Sebab, tidak semua yang hidup benar-benar pantas melanjutkan hidup, harus ada yang dipaksa mati, mau atau tidak.Â
Kehidupan menuntut itu, itu bijak. Akuilah.
Terserah dengan pandangan kematian adalah awal dari kehidupan yang abadi, silahkan berdebat dan berkeyakinan.
Yang aku tahu, kematian bagiku suatu kebijaksanaan yang tercipta.
Entahlah, kurasa semua yang ada di alam semesta ini tercipta, meski tidak semua bisa dilihat dan diraba, bahkan akal telah menempuh berbagai jalannya, tapi memang ada yang tak terkira di alam semesta ini.
Akal tidak akan menyerah, itu hakikatnya.
Hanya keyakinan yang bisa menghentikannya, meski keinginannya untuk mencari tetap tidak mati.
Aku berterimakasih pada kematian.
Sebab jika semua manusia abadi, aku ragu bumi ini masih ada.
Malam ini aku takut, aku terus memikirkan kematian.
Apakah waktuku sudah dekat, Tuhan?
Ambilah jika memang saatnya.
Jangan Menangisi Jasad Tak Bernyawa
Tapi, tangisilah diri Tua Ini
Opa Jappy