Gubernur Tandingan versi Ormas Ilegal
FPI sebagai Ormas Ilegal tersebut, menurut Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Fajar Riza Ul Haq, aksi Front Pembela Islam (FPI) memperuncing isu SARA, karena setiap aksi dan tindakan FPI selalu menunjukkan kekerasan, intoleransi, dan menyebarkan isu sentimen sara, dan diiringi oleh kebrutalan serta kerusuhan, bahkan menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Hal terbaru yang dilakukan oleh ormas Ilegal tersebut adalah bersama Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) “melantik” KH Fahrurrozy Ishaq sebagai gubenrur DKI Jakarta; gubernur tandingan ataupun gubernur liar, di area “Parlemen Jalanan,” depan Balai Kota DKI - Jakarta. Ya, semacam komedian baru di Indonesia.
Tanggapan PB NU Ketua Lembaga Ta'mir Masjid PBNU, Abdul Manan Ghani,
Aksi FPI tersebut bukan representasi dari umat Islam. Tindakan FPI yang menolak Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta sebagai aksi diluar konstitusi. Aksi FPI yang kerap berujung ricuh juga dinilai bukanlah tindakan yang seharusnya, terlebih mengatasnamakan agama Islam.
NU akan tetap mengikuti konstitusi yang ada, dan yang berada di luar konstitusi berarti berseberangan dengan NU. NU adalah sesuai dengan konstitusi. Kita ini punya konstitusi dan NU mentaati konstitusi, berarti FPI tidak konstitusi. Jadi kalau FPI atau siapapun yang lain yang inkonstitusional itu berarti berseberangan dengan NU, artinya tidak sepaham dengan NU"
Tanggapan Muhammadiyah Fajar Riza Ul Haq, salah satu kader Muhammadiyath, yang juga Direktur Eksekutif Maarif Institute menyatakan bahwa
"Sebagai ekspresi kebebasan berpendapat sah-sah saja tindakan FPI itu. Namun saya tidak melihat alasan kuat yang dapat membenarkannya kecuali semata-mata alasan politik dan kebencian sektarianisme. Ini merusak tata demokrasi kita karena orang diprovokasi untuk mengingkari aturan main yang sudah disepakati.
Aksi FPI justru mengeraskan sentimen-sentimen SARA yang membahayakan fondasi kebangsaan. Ia pun menegaskan prinsip kebhinekaan mutlak dilembagakan dalam institusi kenegaraan, terutama dalam kepemimpinan selama sejalan dengan semangat Pancasila.
Menyesalkan sikap beberapa pimpinan DPRD DKI yang telah dijadikan celah pembenaran oleh kelompok yang tidak setuju dengan Ahok. Konflik politik KMP dan KIH di DPR telah dijadikan amunisi untuk mendelegitimasi Ahok di DKI Jakarta. DPRD DKI harus mementingkan keberlangsungan pembangunan Jakarta dan mengawasi kinerja Ahok daripada larut dalam intrik-intrik politik yang justru mendegradasikan kualitas demokrasi kita.
Pelantikan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu jelas-jelas sudah sesuai prosedur. Terlebih, Ahok terpilih secara demokratis sebagai Wakil Gubernur DKI mendampingi Jokowi pada pilkada tahun 2012 lalu."
Ahmad Atang, Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang,
"Pengangkatan gubernur DKI Jakarta tandingan merupakan bentuk perlawanan dan pendiktean terhadap negara, sehingga pemerintah harus menghentikan ulah kelompok kepentingan tersebut. Ini bentuk perlawanan terhadap negara. Jadi negara tidak harus tunduk pada keinginan kelompok orang yang mau mendikte negara.
"FPI itu apa dan siapa, siapa sehingga dengan berani menentukan kepala daerah sesuai dengan seleranya. Jadi gerakan ekstra parlementer seperti ini harus segera dihentikan. Jangan dibiarkan karena bisa menjadi benih di mana-mana ketika orang mulai merasa tidak puas dengan kepemimpinan seorang
Tidak ada satu aturanpun di negara ini yang mentolerir gubernur tandingan oleh masyarakat. FPI, katanya, hanya sebuah ormas bukan partai politik, maka FPI termasuk GMJ tidak memiliki hak konstitusional terkait dengan ditetapkannya Ahok sebagai Gubernur DKI.
Hanya orang buta saja yang mempersoalkan pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI dan hanya orang gila saja yang mau membentuk Gubernur tandingan. Menolak Ahok sama dengan menolak semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Karena itu, negara jangan segan-segan menghentikan kegiatan ini karena sudah merupakan bentuk perlawanan terhadap negara."
[ihidkk.com/kompasiana.com/tribun/detik/tempo/muslimedianews.com/kompas.com]
Jelas sudah dan sangat jelas; dua Ormas Islam terbesar di Nusaantara, secara resmi telah menolak kelakuaan FPI. Kelakuan yang sudah menolak sendi-sendir demokrasi di Indonesia, namun juga menabrak norma dan perundang-undang yang berlaku di NKRI, ditambah lagi, usungan rasis yang terkandung di/dalam alasan penolakan Ahok sebagai Gubernur DKI - Jakartan
Tentu saja, pendapat PB NU dan Muhammadiyah tersebut, berbeda dengan para onknum politis yang secara diam-diam ikut "mendiamkan" sepakterjang "Gubernur Tandingan" sehingga bisa menjadi bahan baku bahwa, "Lihatlah, publik menolak Ahok, makanya mereka bertindak seperti itu;" kemudiang dilanjukan dengan gerakan politik di "parlemen lokal" DKI - Jakarat.
Gerakan politik seperti, bisa jadi terjadi, namun hanya sekedar diskusi pasar dan percakapan warungan karena dicari celah hukum apa pun, tak ada celah untuk kegiatan "Gubernur Tandingan."
Dengan demikian, saya setuju dengan Ahmad Atang, Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang, yang menyatakan bahwa "Gubernur Tandingan," muncul dari kerjaan orang-orang bodoh dan gila, sehingga ia mengatakan, "Hanya orang buta saja yang mempersoalkan pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI dan hanya orang gila saja yang mau membentuk Gubernur tandingan. "
Oleh sebab itu, daripada "Gubernuhr Tandingan" semakin membuat keresahan dan berujung pada kerusuhan sosial, serta, perpecahan pada ruang publik atas nama dan akibat sentimen SARA, maka lebih baik "Sang Gubernur" itu ditangkap dan dipenjarakan.
Opa Jappy - Jakarta Selatan
LINK TERKAIT
Komedian Baru Itu Bernama “Gubernur Tandingan”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H