Liberandal. Kata yang terlontar keluar dari mulut seorang sales kopi. Dia bercerita panjang lebar. Samudji mendengarkan dengan sabar.
Masa pandemi menyebabkan suasana warung Samudji lebih sering lengang. Daripada lengang dan sendirian, lumayanlah mendengar uneg-uneg seorang yang lebih sering berkeliaran. Secara tidak langsung jadi tahu perkembangan.
Sales yang datang belakangan ini kebanyakan sales baru tapi bekas. Bekas sopir travel, bekas tukang bersih kamar hotel, ada juga yang bekas tukang las pagar.
Sales kopi yang sedang didengar uneg-unegnya adalah juga sales bekas. Entah bekas apa, Samudji sedang mencari tahu. Si sales menyuruhnya menebak.
Sales kopi itu baru saja mendapat keluhan. Keluhan dari toko kecil yang tidak mengerti mengapa harga jualnya berbeda dengan toko besar yang berada di dekatnya. Hingga beberapa pelanggannya berpaling.
Si sales hanya menjelaskan sebatas pengetahuannya yang tercurah dari kantor tempatnya bekerja. Lebih dari itu dia tidak mengerti lagi.
Samudji yang mendengarkan juga menimpali dengan problemanya. Harga beberapa barangnya terjun bebas. Sementara dia beli saat harga sedang tinggi.
"Harga-harga berandalan," tiba-tiba si sales kopi nyeletuk. Kemudian melanjutkan dengan paparan yang legit.
"Dulu ada yang namanya preman. Tukang palak. Tampangnya seram. Yang tidak serampun, diseram-seramkan. Suara dikencang-kencangkan."
"Sekarang preman-preman itu, berubah rupa menjadi harga-harga. Bahkan lebih parah dari preman itu sendiri. Bolehlah preman berteriak kencang-kencang. Menghardik dengan sangar. Namun yang kena cuma seorang dua orang saja."
"Kalau harga mengamuk? Kalau harga berteriak? Semua kena. Sampai ke pelosok kena. Bahkan sampai melenyapkan kepulan asap dapur. Parah!"