"Makan itu uang..telan itu uang wahai juragan...," gumam Lenin tersenyum nyengir.
Dari kejauhan samar-samar terlihat sebuah pedati mendekat. Bukan kuda bukan pula kerbau. Empat anjing siberian husky menjulur-julurkan lidahnya bergotong royong menarik beban pedati. Sesekali saisnya terdengar berteriak menghentak.
Tepat di depan gerombolan tiga orang bekas pemikir bumi itu, si sais pedati menarik tali kokang dengan sigap. Mao, si sais pedati segera melompat turun. Badannya yang gembul itu terlihat ringan. Tak terkesan berat sedikitpun.
"Waah..sudah pada ngumpul... Oh ada tukang duit..apakabal Mayel? Tumben lu mampil...," sapa ringan Mao sambil nyelonong ke belakang pedati seperti mengambil sesuatu.
Tiga bekas pemikir bumi itu tidak bersuara. Diam hanya memandangi Mao. Maklumlah, mereka tentu mengakui bahwa China seperti sekarang adalah hasil olah pikir dari manusia gembul itu. Dan beruntung penerusnya juga pada lempeng-lempeng.
"Heeyy..ngapain lu pada bengong.. Ini owe bawain oleh-oleh..jaga dili lu dali Colona. Walaupun elu-elu sudah pada gak punya badan...hehehe..," seru Mao bergurau.
Sebakul keranjang besar diangkat dari gerobak pedati. Berisikan botol-botol bekas air mineral. Penuh dengan cairan berwarna kuning dan moka.
"...Mao, apa ini?" tanya Lenin penasaran.
"Inilah obat pencegah colona yang paling manjuul. Owe dapat tadi di bawah. Owe bolong semuanya...hayoo minum..owe kasi glatis..." sahut Mao bersemangat.
"Heyy..Gembul..jawab dulu pertanyaan Lenin... Apa ini..? Minuman apa ini?" sengit Mayer menimpali pertanyaan Lenin yang belum terjawab.
"Haaiyaa...ini jamu.. Ja..mu..kunyit dan itu.. Belas kencuuul... Bikin badan hangat... Vilus susah masuk..Colona takuut... Badan sehaat...hayoo...hayoooo...silakan..mangga...monggo...haaiyaa..," sahut Mao berapi-api. Ingin agar kawan-kawannya itu tetap hidup. Selamat dari virus corona. Dan tentu tidak mati kedua kalinya. **