Marxisme, Leninisme, dan Maoisme boleh jadi sudah merupakan sebuah formula ideologi yang ampuh. Di depan mata bukti itu terpampang lugas. China, sebuah negeri yang berpondasikan formula ideologi tersebut, sudah merasakannya.
Uni Soviet pernah memakai formula ini. Sanggup bertahan puluhan tahun sebelum pemimpinnya, Mikhail Gorbachev mengutak-atik formula tersebut dengan sekeping ide angin perubahannya, Perestroika. Dan bangunan negara Uni Soviet benar berubah menjadi berkeping-keping.
Nun jauh di alam sana, dalam dingin yang menusuk tulang, entah neraka entah sorga entah tersesat, Lenin mencolek Marx, "Eh lu sudah tau belum si Mao ngembangin pikiran kita. Lihat tuh China jadi perkasa begitu."
"Akh... Pikiran kita.. Bisa aja lu.. Yang ada mah pikiran beta.. China entu nerapin pikiran beta... elu juga ngikut pikiran beta.. Heh!" sungut Marx sembari mencocoki cangklongnya dengan tembakau jawa.
"Lha negeri lu sendiri bagaimana? Pecah berkeping-keping tak karuan..," lanjut Marx sambil menghembuskan gumpalan asap tembakau. Dia belum mengetahui kalau gumpalan asap itu bisa dibentuk menyerupai lingkaran.
Tiba-tiba mereka berdua terdiam. Deru limousine tepat berhenti di depan meja bertaplak lusuh yang mereka kitari.
Turun dengan bertongkat. Lelaki uzur bertopi tinggi. Seraya berucap, "Eh elu.. elu..pada ngomongin aye ya?" seru Mayer Rothschild sang kuasa uang planet bumi.
Marx dan Lenin saling toleh. Kemudian terbahak dalam tawa.
"Haaa.. Haha.. Siapa nyang ngomongin elu..hey.. mata duitan..ngapain juga elu ke sini hah? Emang di sana elu berantem rebutan duit lagi ya?" ujar Lenin menebak.
"Aye ke sini buat ngomongin corona. Pusing aye.. Duit tidak berputar. Cucu cicit aye pada keblinger semua..," ujar Mayer terdengar seperti mengadu.
"Lha bukankah elu ahlinya masalah putar memutar duit. Bikin tepar sebuah negeri bak membalikkan telapak tangan saja buat lu..," ujar Marx dengan suara serak. Sejak pagi belum kena cairan kopi panas.
"Hey... Karel...Masalahnya bukan itu.. Corona yang ada sekarang menyebabkan tak ada perpindahan barang. Semua pada menutup diri. Bagaimana duit bisa berputar?..dasar manusia pikiran proletar!" gusar Mayer menyahut dengan menghentak-hentakkan tongkat berkepala naga.
"Makan itu uang..telan itu uang wahai juragan...," gumam Lenin tersenyum nyengir.
Dari kejauhan samar-samar terlihat sebuah pedati mendekat. Bukan kuda bukan pula kerbau. Empat anjing siberian husky menjulur-julurkan lidahnya bergotong royong menarik beban pedati. Sesekali saisnya terdengar berteriak menghentak.
Tepat di depan gerombolan tiga orang bekas pemikir bumi itu, si sais pedati menarik tali kokang dengan sigap. Mao, si sais pedati segera melompat turun. Badannya yang gembul itu terlihat ringan. Tak terkesan berat sedikitpun.
"Waah..sudah pada ngumpul... Oh ada tukang duit..apakabal Mayel? Tumben lu mampil...," sapa ringan Mao sambil nyelonong ke belakang pedati seperti mengambil sesuatu.
Tiga bekas pemikir bumi itu tidak bersuara. Diam hanya memandangi Mao. Maklumlah, mereka tentu mengakui bahwa China seperti sekarang adalah hasil olah pikir dari manusia gembul itu. Dan beruntung penerusnya juga pada lempeng-lempeng.
"Heeyy..ngapain lu pada bengong.. Ini owe bawain oleh-oleh..jaga dili lu dali Colona. Walaupun elu-elu sudah pada gak punya badan...hehehe..," seru Mao bergurau.
Sebakul keranjang besar diangkat dari gerobak pedati. Berisikan botol-botol bekas air mineral. Penuh dengan cairan berwarna kuning dan moka.
"...Mao, apa ini?" tanya Lenin penasaran.
"Inilah obat pencegah colona yang paling manjuul. Owe dapat tadi di bawah. Owe bolong semuanya...hayoo minum..owe kasi glatis..." sahut Mao bersemangat.
"Heyy..Gembul..jawab dulu pertanyaan Lenin... Apa ini..? Minuman apa ini?" sengit Mayer menimpali pertanyaan Lenin yang belum terjawab.
"Haaiyaa...ini jamu.. Ja..mu..kunyit dan itu.. Belas kencuuul... Bikin badan hangat... Vilus susah masuk..Colona takuut... Badan sehaat...hayoo...hayoooo...silakan..mangga...monggo...haaiyaa..," sahut Mao berapi-api. Ingin agar kawan-kawannya itu tetap hidup. Selamat dari virus corona. Dan tentu tidak mati kedua kalinya. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H