Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pohon Trembesi di Dekat Taman Makam Pahlawan

14 Agustus 2021   10:56 Diperbarui: 18 Agustus 2021   11:03 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiap Kamis sore aku selalu berziarah ke makam Ayah. Sebuah makam yang tidak begitu luas tapi tertata rapi. Ayah adalah veteran pejuang kemerdekaan. Sehingga ketika wafat, pemerintah mengusulkan untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Semasa hidup Ayah tak begitu mempermasalahkan dimana kelak ia dimakamkan. Baginya, perjuangan untuk kemerdekaan adalah pengorbanan yang tak bisa ditebus dengan apapun. Apalagi banyak dari kawan seperjuangan Ayah yang gugur demi merebut kemerdekaan.

Aku sendiri tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada suatu saat nanti akan rajin berziarah ke taman makam pahlawan. Padahal makam itu tepat berada di pintu keluar kampus dimana aku sering melintasi. Dulu mungkin masih sepi dan tidak banyak bangunan yang berdiri di sekitarnya. Sehingga nampak nisan berjajar rapi dari luar pagar.

Kini perlahan-lahan beberapa bangunan mulai berdiri. Ada mall, ada kost mahasiswa dengan lantai bertingkat, ada pula bangunan-bangunan baru serta beberapa baliho dan beberapa reklame iklan lainnya.

Dulu, setiap malam 17 Agustus selalu ada upacara tabur bunga dan Ayah sering mengikuti prosesi tersebut. Kesedihan mendalam nampak pada raut wajah ayah ketika pulang. Bukan hanya kehilangan kawan, Ayah juga merasa prihatin atas perkembangan di sekitar taman makam pahlawan saat ini.

Dulu di sekitar area taman makam pahlawan suasananya sangat teduh. Banyak pohon-pohon besar yang seolah menjadi saksi gugurnya satu persatu pejuang kemerdekaan.

"Pengembang mall itu telah menebang puluhan pohon trembesi di sekitar taman makam pahlawan!" ujar Ayah berulang kali setiap kali aku bertanya mengapa ia semakin sedih usai upacara tabur bunga. Padahal aku selalu mengantarnya dan berusaha untuk tidak mengantuk selama perjalanan pulang. Aku tak paham mengapa Ayah begitu erat dengan pohon-pohon trembesi di sekitar makam.

Lebih dalam lagi, di sela-sela menunggu prosesi tabur bunga dimulai Ayah masih sempat mengitari area taman makam pahlawan hanya untuk menilik beberapa pohon trembesi. Sesekali Ayah juga menghitung dan mengira-ngira. Seperti ada yang tertinggal sekian waktu.

Jika dirasa kurang jelas, Ayah mengajakku mengulangi esok harinya. Menghitung lagi dan memandangi beberapa pohon trembesi dengan waktu yang lama. Aku hanya hafal ketika linangan air mata Ayah menitik di sudut mata, maka cengkeraman tangannya seolah mengajakku untuk pergi dan berpindah ke pohon trembesi lainnya.

Satu-satunya perasaan yang bisa kurasakan saat itu hanyalah merasa tenteram dan teduh di bawah pohon trembesi. Bahkan terkadang aku terkantuk-kantuk saat mendampingi Ayah. Bukan hanya semilir angin yang sejuk, namun juga karena seksama mendengar cerita Ayah yang menceritakan perjuangan bersama kawan-kawannya dulu.

"Pohon trembesi itu kini tinggal bonggolnya yang mengering. Ayah tak tahu mengapa ada pihak yang mudah mematikan sesuatu yang lebih tua dari republik ini? Toh, tak selamanya pohon-pohon itu mengganggu bangunan baru di sini" aku ingat kalimat Ayah yang lagi-lagi menyoal pohon trembesi. Aku terdiam dan memaklumi apa yang dipikirkan Ayah. Malahan aku larut dalam kenangan dimana terbayang menyaksikan Ayah masih muda menenteng senjata di medan peperangan.

"Pohon-pohon trembesi itu bukan hanya besar dan teduh, usianya ratusan tahun, saksi pejuang berguguran" ucap Ayah sambil melihat keluar jendela mobil, menatap beberapa sisa pohon trembesi yang kami lewati. Kami pulang saat mentari semakin meninggi, kesejukan semakin berkurang, dan Ayah mulai merasa gerah.

Diam-diam aku menjadi teringat saat berteduh menunggu karnaval kemerdekaan dimulai. Lalu semakin dalam ingatanku membayangkan ibu-ibu yang menggendong bayinya, mungkin salah satunya aku dan generasi seangkatanku. Ini benar-benar sentimentil. Bahkan kusudahi lamunan ini saat masuk gang menuju rumah.

Ternyata di bawah pohon trembesi itu juga pernah digunakan pejuang untuk tempat menyelinap saat menunggu musuh akan melintas. Maka, beberapa kawan Ayah ada yang gugur dan tergeletak di wabah teduhnya pohon trembesi. Ingatan Ayah begitu lekat siapa saja kawan-kawannya yang pernah bersandar di kaki pohon trembesi untuk menahan darah akibat tembakan.

"Ada darah pejuang mengering di kulit pohon trembesi, Ayah masih bisa mencium baunya" pungkas cerita Ayah ketika sampai di rumah.

***

Waktu berlalu, perjalanan hidup tak ada yang tahu. Seorang perempuan hadir dalam hidupku. Ia istri yang energik, menggebu-gebu dan idealis, maklum dulu mantan aktivis kampus. Perkenalanku dengannya juga unik, ia sering berfoto diri di bawah pohon besar. Saat itu diam-diam kuperhatikan beberapa fotonya. Ia memang cantik, tapi juga selalu hafal dengan latar belakangnya, selalu dengan pohon besar yang aku sendiri tak paham pohon jenis apa. "Teduh aja kalau di bawahnya" kata Istriku saat kutanya foto-foto semasa dulu.

Kami mendiami rumah warisan Ayah karena adikku perempuan ikut suaminya di kota lain. Rumah tua yang usianya melebihi umurku serta seisi rumah. Tapi, dari sanalah kehidupanku berubah. Tetangga berkata bahwa saya beruntung menikah dengan perempuan yang ramah dan terkenal. Begitu juga dengan kawan-kawan kuliah, mereka sering mengenal istriku dibanding diriku sendiri. Memang saat ini istriku adalah ketua dewan tingkat kota.

Praktis kehidupanku bersentuhan dengan politik. Mengingat sepak terjang istriku yang agresif ketika menyuarakan aspirasi rakyat, aspirasi konstituennya. Rumah warisan yang kami tinggali memang utuh, tapi kami membangun lagi di lahan persis sebelah rumah warisan untuk pertemuan-pertemuan partai serta kegiatan partai.

Ketika perhelatan politik kurang beberapa tahun lagi, perlahan rumah kami ramai oleh berbagai aktivitas partai. Hilir mudik orang keluar masuk ke rumah menjadi pemandangan yang biasa bagiku serta tetangga sekitar.

Hingga pada suatu hari aku menerima laporan yang membuatku emosi. Beberapa kawan mengirim gambar sebuah surat yang berisi ancaman kepada seseorang maupun kelompok tertentu yang mencoba merusak alat peraga kampanye. Di bagian bawah tertera nama istriku lengkap dengan tanda tangan dan cap stempel partai. Tembusan kepada Ketua Pengawas PEMILU serta kepolisian.

Aku tak paham, mengapa emosi ini meletup-letup melebihi kemarahan partai yang dipimpin istriku sendiri. Hingga tak terasa kupandangi foto almarhum Ayah yang memakai baju kebesaran veteran pejuang kemerdekaan. Dadaku sesak, menitik air mata menuruni pipiku yang mulai berkerut bagai kulit pohon trembesi.

"Ayah, maafkan anakmu, pengganti pohon trembesi itu telah berdiri baliho istriku" bisikku disela-sela menahan tangis.

Kugeser lagi layar ponselku, kulihat gambar baliho yang dicoret silang diantara baliho-baliho lainnya yang berdiri di sekitar area taman makam pahlawan. Kuperbesar gambar itu dengan harapan bisa melihat makam ayah. Sayang, nisan ayah tertutup penampakan besi penyangga baliho.

Kini, setiap Kamis sore aku selalu berziarah ke makam Ayah bersama istri dan anak-anakku. Kuajak mereka mengelilingi taman makam pahlawan dan menunjukkan cerita Ayah tentang pohon trembesi yang kini tinggal bonggolnya saja. 

"Nanti akan saya bawa ke sidang dewan, supaya area taman makam pahlawan ini dibebaskan dari baliho serta pemandangan yang menutupinya, lebih baik ditanami pohon biar teduh dan asri" janji istriku saat hendak pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun