Aku tak paham, mengapa emosi ini meletup-letup melebihi kemarahan partai yang dipimpin istriku sendiri. Hingga tak terasa kupandangi foto almarhum Ayah yang memakai baju kebesaran veteran pejuang kemerdekaan. Dadaku sesak, menitik air mata menuruni pipiku yang mulai berkerut bagai kulit pohon trembesi.
"Ayah, maafkan anakmu, pengganti pohon trembesi itu telah berdiri baliho istriku" bisikku disela-sela menahan tangis.
Kugeser lagi layar ponselku, kulihat gambar baliho yang dicoret silang diantara baliho-baliho lainnya yang berdiri di sekitar area taman makam pahlawan. Kuperbesar gambar itu dengan harapan bisa melihat makam ayah. Sayang, nisan ayah tertutup penampakan besi penyangga baliho.
Kini, setiap Kamis sore aku selalu berziarah ke makam Ayah bersama istri dan anak-anakku. Kuajak mereka mengelilingi taman makam pahlawan dan menunjukkan cerita Ayah tentang pohon trembesi yang kini tinggal bonggolnya saja.Â
"Nanti akan saya bawa ke sidang dewan, supaya area taman makam pahlawan ini dibebaskan dari baliho serta pemandangan yang menutupinya, lebih baik ditanami pohon biar teduh dan asri" janji istriku saat hendak pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H