"Pohon trembesi itu kini tinggal bonggolnya yang mengering. Ayah tak tahu mengapa ada pihak yang mudah mematikan sesuatu yang lebih tua dari republik ini? Toh, tak selamanya pohon-pohon itu mengganggu bangunan baru di sini" aku ingat kalimat Ayah yang lagi-lagi menyoal pohon trembesi. Aku terdiam dan memaklumi apa yang dipikirkan Ayah. Malahan aku larut dalam kenangan dimana terbayang menyaksikan Ayah masih muda menenteng senjata di medan peperangan.
"Pohon-pohon trembesi itu bukan hanya besar dan teduh, usianya ratusan tahun, saksi pejuang berguguran" ucap Ayah sambil melihat keluar jendela mobil, menatap beberapa sisa pohon trembesi yang kami lewati. Kami pulang saat mentari semakin meninggi, kesejukan semakin berkurang, dan Ayah mulai merasa gerah.
Diam-diam aku menjadi teringat saat berteduh menunggu karnaval kemerdekaan dimulai. Lalu semakin dalam ingatanku membayangkan ibu-ibu yang menggendong bayinya, mungkin salah satunya aku dan generasi seangkatanku. Ini benar-benar sentimentil. Bahkan kusudahi lamunan ini saat masuk gang menuju rumah.
Ternyata di bawah pohon trembesi itu juga pernah digunakan pejuang untuk tempat menyelinap saat menunggu musuh akan melintas. Maka, beberapa kawan Ayah ada yang gugur dan tergeletak di wabah teduhnya pohon trembesi. Ingatan Ayah begitu lekat siapa saja kawan-kawannya yang pernah bersandar di kaki pohon trembesi untuk menahan darah akibat tembakan.
"Ada darah pejuang mengering di kulit pohon trembesi, Ayah masih bisa mencium baunya" pungkas cerita Ayah ketika sampai di rumah.
***
Waktu berlalu, perjalanan hidup tak ada yang tahu. Seorang perempuan hadir dalam hidupku. Ia istri yang energik, menggebu-gebu dan idealis, maklum dulu mantan aktivis kampus. Perkenalanku dengannya juga unik, ia sering berfoto diri di bawah pohon besar. Saat itu diam-diam kuperhatikan beberapa fotonya. Ia memang cantik, tapi juga selalu hafal dengan latar belakangnya, selalu dengan pohon besar yang aku sendiri tak paham pohon jenis apa. "Teduh aja kalau di bawahnya" kata Istriku saat kutanya foto-foto semasa dulu.
Kami mendiami rumah warisan Ayah karena adikku perempuan ikut suaminya di kota lain. Rumah tua yang usianya melebihi umurku serta seisi rumah. Tapi, dari sanalah kehidupanku berubah. Tetangga berkata bahwa saya beruntung menikah dengan perempuan yang ramah dan terkenal. Begitu juga dengan kawan-kawan kuliah, mereka sering mengenal istriku dibanding diriku sendiri. Memang saat ini istriku adalah ketua dewan tingkat kota.
Praktis kehidupanku bersentuhan dengan politik. Mengingat sepak terjang istriku yang agresif ketika menyuarakan aspirasi rakyat, aspirasi konstituennya. Rumah warisan yang kami tinggali memang utuh, tapi kami membangun lagi di lahan persis sebelah rumah warisan untuk pertemuan-pertemuan partai serta kegiatan partai.
Ketika perhelatan politik kurang beberapa tahun lagi, perlahan rumah kami ramai oleh berbagai aktivitas partai. Hilir mudik orang keluar masuk ke rumah menjadi pemandangan yang biasa bagiku serta tetangga sekitar.
Hingga pada suatu hari aku menerima laporan yang membuatku emosi. Beberapa kawan mengirim gambar sebuah surat yang berisi ancaman kepada seseorang maupun kelompok tertentu yang mencoba merusak alat peraga kampanye. Di bagian bawah tertera nama istriku lengkap dengan tanda tangan dan cap stempel partai. Tembusan kepada Ketua Pengawas PEMILU serta kepolisian.