Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Hal Mendadak dan Pemakaman Paling Sepi

25 Juli 2021   08:42 Diperbarui: 25 Juli 2021   16:06 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dapurnya, Surti mendadak dipasung. Harusnya di dapur itulah Surti mampu mengubah sayur mayur dan lauk menjadi makanan yang mengenyangkan. Harusnya pula Surti mampu mengubah gubuk yang ditinggali menjadi mahligai istana rumah tangga bahagia. Bahkan menurut pujangga jika perempuan diberi setetes benih cinta, maka akan tumbuhlah buah hati sang anak yang kelak dewasa menjadi pewaris keluarga.

Memang terkadang di dunia ini serba mendadak. Kita tidak tahu jadwal yang dirancang Tuhan. Waktu hanya memutar angka antara angka satu ke angka dua belas. Begitu pula dari hari Senin menuju hari Minggu dan kembali lagi berjumpa hari Senin. Seterusnya berputar berulang-ulang dengan kejadian yang tak pernah kita duga.

Demikianlah kondisi yang serba mendadak menjadikan goncangan pada jiwa Surti. Ia tak pernah menduga suaminya yang dulu penyayang itu bisa berubah menjadi pemarah. Surti dituduh selingkuh selama bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Padahal semua upah yang diterima selalu dikirim ke suaminya. 

Perempuan mana yang tidak goncang saat tiba bertemu dengan suaminya malah dicerai dengan tuduhan tanpa bukti. Surti tak bisa menerima kenyataan. Goncangan hidup ini terlalu mendadak dan tak pernah diduga sebelumnya. Pikirannya kalut, seolah pengorbanan selama ini sia-sia. Sejak suaminya pergi, pikiran Surti berkelana kemana-mana. Terkadang bibirnya tersungging senyum, terkadang bibirnya meracau tak karuan kata. Surti bahkan sering mengamuk tanpa sebab. Mendadak takdir yang ia sandang adalah orang gila.

Namun, bu Kartiyem tidak menganggap Surti gila. Mana ada ibu yang menyiakan anaknya. Apapun kondisi anaknya seorang ibu akan tetap membela dan menyayangi sepenuh kasih. Meski pada suatu waktu bu Kartiyem mencoba untuk melepas pasung di kaki Surti, tapi mendadak anaknya meronta-ronta. Mata Surti melotot, tubuh kurus berbalut daster lusuh itu rupanya masih bertenaga.

"Ya Tuhan, mengapa anakku begini?" gumam bu Kartiyem penuh sedih.

Sejak saat itu bu Kartiyem enggan melepas pasung. Seolah mengamini kondisi yang membuat Surti tenang dan tidak meronta. Bu Kartiyem juga meyakini bahwa suatu waktu nanti Surti akan terlepas dari pasung itu. Entah dilepas orang lain atau melepas sendiri. Semua serba mungkin, "Duh Gusti, kembalikan anakku, lepaskan pasungnya" doa Bu Kartiyem di sela hatinya yang penuh kepasrahan.

"Hahahahaha, aku tak kemana-mana Sugeng, kau yang selingkuh, bukan aku!" seru Surti suatu waktu.

Betapa ada kekuatan lain yang tiba-tiba mengubah semua keadaan secara mendadak. Surti yang dulu mudah bergaul sekarang menjadi pendiam. Surti yang dulu mendambakan hidup tenteram kini pikirannya terguncang. Surti yang dulu sehat waras, sekarang tiba-tiba menjadi gila.

Setahun sudah Surti tetap terpasung. Sebuah tali rafia melingkar di lehernya. Pada tali rafia itulah ada kunci untuk membuka gembok pasung. Selama ini tak satupun orang yang berani melepas pasung. Sebab setiap kali pasung mau dibuka, mendadak Surti meronta-ronta. Ia seperti tak terima jika bebas.

"Hahahahaha, aku tak kemana-mana Sugeng, kau pasti sudah punya pacar baru kan? kau yang selingkuh Sugeng, bukan aku!" seru Surti di lain waktu. 

Jika sudah berteriak demikian, perasaan bu Kartiyem seperti diiris-iris. Membesarkan Surti dengan perjuangan, tapi mengapa kini ia menjadi seperti ini? hatinya makin kecut jika mengingat tuduhan menantunya kepada Surti.

"Kalau kamu tidak kembali ke Hong Kong, berarti benar dugaanku, perselingkuhanmu telah dibongkar di sana, kau di usir!" tuduh Sugeng saat itu.
"Aku pulang karena ada pandemi mas, semua dipulangkan" bantah Surti.
"Itu kan akal-akalanmu saja, pandemi itu ya di sana, bukan di sini" tepis Sugeng.
"Sumpah mas, semua dipulangkan, untuk apa aku selingkuh mas?" suara Surti bercampur sedu tangis.

Sugeng bergeming pendirian. Entah apa yang ada di pikirannya. Lelaki pengangguran itu pergi usai menghabiskan segala uang yang ditransfer Surti. Hasil herih payah bekerja di luar negeri.

Waktu berputar tak pernah kembali. Segala tuduhan kepada Surti seperti nasi yang mendadak menjadi bubur. Semua kebahagiaan mendadak menjadi kepedihan. Uang yang dikirim selama ini mendadak tak berbentuk.

Setahun sudah Surti mengalami gangguan jiwa. Pasung di kakinya perlahan menyatu warna dengan kulitnya, kotor, lusuh dan berdebu. Di dekatnya ada tungku perapian yang telah dingin. Abu sisa pembakaran juga hening. Bara api tak lagi menjilat-jilat pantat panci. Dapur itu sudah tak beraktivitas untuk memasak. Tak terdengar lagi denting sendok beradu gelas. Mendadak dapur berdinding anyaman bambu itu seperti tak bernyawa.

Sarang laba-laba semakin memperluas jebakan. Nampak pula tubuh seekor cicak membentuk huruf "C" di dinding. Di lantai tanah beberapa kecoak berlarian mencari sisa kotoran.  

Pagi itu sangat hening. Tak ada kokok ayam maupun lenguhan sapi milik warga desa. Kicau burung di pohon randu tumben juga membisu. Hanya beberapa sorot mentari yang menembus genting dapur, seolah menjelaskan apa yang terjadi.

Mendadak Surti membuka pasung yang melingkar di kakinya. Lalu ia merangkak untuk meraih pisau yang terselip di dinding bambu. Perlahan tangannya menggali tanah dengan sebilah pisau. Sebuah lubang persagi mirip lahat telah menganga. Saat sore tiba, gunungan tanah telah mengitari lubang itu. Keringat Surti meleleh membuat daster lusuhnya lengket ke tubuh.

Dengan sisa tenaga yang ada, ia mengguyur sebuah jenazah yang terbujur di atas dipan kayu. Segayung demi gayung air telah ia ratakan di sekujur jenazah itu. Malam itu, perlahan tapi pasti, jenazah yang dibalut dengan kain batik itu di masukkan ke dalam lubang tanah, mirip lahat pemakaman.

Tak ada seorang pun yang membantu. Sebuah pemakaman yang sangat hening. Pemakaman yang sepi dari pelayat. Pemakaman yang sunyi dari doa. Pemakaman yang bisu dari isak tangis dan pemakaman yang menyisakan hampa nisan maupun penanda.

Tengah malam gundukan tanah itu telah menjadi pemandangan baru di dapur. Di sampingnya Surti terlelap tak berdaya. Tenaganya terkuras mengurus pemakaman seorang diri. Tak ada tanda-tanda apapun dari sekitarnya. Alam seperti nyenyat menghadirkan sejuta lengang.

Hanya lalat yang berterbangan mengitari tas plastik berisi pisang busuk teronggok di atas meja dapur. Di dekatnya juga tersaji kelapa muda yang belum diapa-apakan. 

Malam telah usai, pagi merayap siang. Surti terbangun dan merangkak sempoyongan menuju pintu keluar. Namun, pintunya terganjal aneka ragam bungkusan tas plastik berisi makanan dan minuman. Mendadak pikirannya menjadi asing, mengapa ada bungkusan makanan sebanyak ini?

Ia coba membuka pintu dengan tangan gemetar. Saat pancaran sinar mentari mengenai tubuhnya, mendadak ia kejang. Terdengar suara batuk kecil menyertai. Ia terus merangkak dan bruk! tubuh kurus itu tertelungkup di bibir pintu. Kakinya masih basah terbungkus sisa tanah liat, begitu pula tangannya.

"Loh, Surti? kamu kenapa?" tanya tetangga yang kebetulan lewat.

Surti tak menjawab. Ia menggigil menahan demam yang meninggi. Bibirnya pucat. Tenggorokannya tersekat dan nafasnya naik turun. Tubuhnya tak bergerak lagi. Semua serba mendadak. Dari yang gila menjadi waras. Dari yang hidup mendadak mati. Dari yang ramai menjadi sepi.

SINGOSARI, 25 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun