Tengah malam gundukan tanah itu telah menjadi pemandangan baru di dapur. Di sampingnya Surti terlelap tak berdaya. Tenaganya terkuras mengurus pemakaman seorang diri. Tak ada tanda-tanda apapun dari sekitarnya. Alam seperti nyenyat menghadirkan sejuta lengang.
Hanya lalat yang berterbangan mengitari tas plastik berisi pisang busuk teronggok di atas meja dapur. Di dekatnya juga tersaji kelapa muda yang belum diapa-apakan.Â
Malam telah usai, pagi merayap siang. Surti terbangun dan merangkak sempoyongan menuju pintu keluar. Namun, pintunya terganjal aneka ragam bungkusan tas plastik berisi makanan dan minuman. Mendadak pikirannya menjadi asing, mengapa ada bungkusan makanan sebanyak ini?
Ia coba membuka pintu dengan tangan gemetar. Saat pancaran sinar mentari mengenai tubuhnya, mendadak ia kejang. Terdengar suara batuk kecil menyertai. Ia terus merangkak dan bruk! tubuh kurus itu tertelungkup di bibir pintu. Kakinya masih basah terbungkus sisa tanah liat, begitu pula tangannya.
"Loh, Surti? kamu kenapa?" tanya tetangga yang kebetulan lewat.
Surti tak menjawab. Ia menggigil menahan demam yang meninggi. Bibirnya pucat. Tenggorokannya tersekat dan nafasnya naik turun. Tubuhnya tak bergerak lagi. Semua serba mendadak. Dari yang gila menjadi waras. Dari yang hidup mendadak mati. Dari yang ramai menjadi sepi.
SINGOSARI, 25 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H