Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Hal Mendadak dan Pemakaman Paling Sepi

25 Juli 2021   08:42 Diperbarui: 25 Juli 2021   16:06 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hahahahaha, aku tak kemana-mana Sugeng, kau pasti sudah punya pacar baru kan? kau yang selingkuh Sugeng, bukan aku!" seru Surti di lain waktu. 

Jika sudah berteriak demikian, perasaan bu Kartiyem seperti diiris-iris. Membesarkan Surti dengan perjuangan, tapi mengapa kini ia menjadi seperti ini? hatinya makin kecut jika mengingat tuduhan menantunya kepada Surti.

"Kalau kamu tidak kembali ke Hong Kong, berarti benar dugaanku, perselingkuhanmu telah dibongkar di sana, kau di usir!" tuduh Sugeng saat itu.
"Aku pulang karena ada pandemi mas, semua dipulangkan" bantah Surti.
"Itu kan akal-akalanmu saja, pandemi itu ya di sana, bukan di sini" tepis Sugeng.
"Sumpah mas, semua dipulangkan, untuk apa aku selingkuh mas?" suara Surti bercampur sedu tangis.

Sugeng bergeming pendirian. Entah apa yang ada di pikirannya. Lelaki pengangguran itu pergi usai menghabiskan segala uang yang ditransfer Surti. Hasil herih payah bekerja di luar negeri.

Waktu berputar tak pernah kembali. Segala tuduhan kepada Surti seperti nasi yang mendadak menjadi bubur. Semua kebahagiaan mendadak menjadi kepedihan. Uang yang dikirim selama ini mendadak tak berbentuk.

Setahun sudah Surti mengalami gangguan jiwa. Pasung di kakinya perlahan menyatu warna dengan kulitnya, kotor, lusuh dan berdebu. Di dekatnya ada tungku perapian yang telah dingin. Abu sisa pembakaran juga hening. Bara api tak lagi menjilat-jilat pantat panci. Dapur itu sudah tak beraktivitas untuk memasak. Tak terdengar lagi denting sendok beradu gelas. Mendadak dapur berdinding anyaman bambu itu seperti tak bernyawa.

Sarang laba-laba semakin memperluas jebakan. Nampak pula tubuh seekor cicak membentuk huruf "C" di dinding. Di lantai tanah beberapa kecoak berlarian mencari sisa kotoran.  

Pagi itu sangat hening. Tak ada kokok ayam maupun lenguhan sapi milik warga desa. Kicau burung di pohon randu tumben juga membisu. Hanya beberapa sorot mentari yang menembus genting dapur, seolah menjelaskan apa yang terjadi.

Mendadak Surti membuka pasung yang melingkar di kakinya. Lalu ia merangkak untuk meraih pisau yang terselip di dinding bambu. Perlahan tangannya menggali tanah dengan sebilah pisau. Sebuah lubang persagi mirip lahat telah menganga. Saat sore tiba, gunungan tanah telah mengitari lubang itu. Keringat Surti meleleh membuat daster lusuhnya lengket ke tubuh.

Dengan sisa tenaga yang ada, ia mengguyur sebuah jenazah yang terbujur di atas dipan kayu. Segayung demi gayung air telah ia ratakan di sekujur jenazah itu. Malam itu, perlahan tapi pasti, jenazah yang dibalut dengan kain batik itu di masukkan ke dalam lubang tanah, mirip lahat pemakaman.

Tak ada seorang pun yang membantu. Sebuah pemakaman yang sangat hening. Pemakaman yang sepi dari pelayat. Pemakaman yang sunyi dari doa. Pemakaman yang bisu dari isak tangis dan pemakaman yang menyisakan hampa nisan maupun penanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun