Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Penyair dan Gitar Patah

20 Desember 2020   16:41 Diperbarui: 20 Desember 2020   16:42 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://i.ytimg.com

Hidup memang banyak kemungkinan. Mungkin bertemu seseorang, mungkin juga malah berpisah dengan seseorang. Hidup juga banyak pilihan. Mungkin memilih diam, atau malah memilih bicara tak ada habis-habisnya.

Jangan menghitung bunyi tokek, jangan pula menyesali takdir. Memang begitu Tuhan menjamah hamba-hambanya. Siapapun pernah mengalami kegagalan. Penyair juga tak semuanya hidup dalam ketidakpastian. Diatas langit masih ada langit. Paling atas ada Tuhan dibalik langit.

Amran, demikian nama penyair kondang yang suka membawa gitar itu biasa dipanggil. Nama lengkapnya Amran Argajendra Ahsan, nama yang pantas disematkan kepada tubuh gagah yang saat ini semakin lanjut usia. Tepatnya 65 tahun.

Seperti penyair lainnya, Amran juga mengenakan penutup kepala. Bukan topi patino,  ia suka mengenakan topi laken warna krem yang anggun. Seperti koboi tapi lebih santun, tidak terkesan bar-bar. Apalagi jika dipadu dengan jas hitam serta syal kotak-kotak yang melilit lehernya.

Penampilan yang mudah dikenali serta keseriusan hidup bersama larik-larik sajak menjadikannya sebagai seorang legenda, seorang maestro di bidang sastra, khususnya puisi. Entah mengapa seniman, budayawan serta penyair selalu berpenampilan nyentrik. Ia seolah tak bosan dengan seragam kebesarannya. Ia tak menggubris selalu mengenakan aksesoris yang sama setiap harinya. Mungkin dari sinilah orang akan mudah mengenalinya, bukan sebagai identitas, tapi sebagai penghargaan atas karya-karyanya.

"Aku tak hanya menyukai puisi, sebagaimana pria umumnya, aku juga menyukai perempuan. Bagiku puisi dan perempuan adalah keindahan yang bersemayam dalam karya-karyaku, keduanya akan kekal" kata Amran suatu hari di sebuah bedah buku.

Saat ini memang menjamur cafe-cafe yang disuguhkan dengan konsep menikmati kopi sekaligus menyuguhkan acara berbau literasi. Malam itu Amran sudah berpesan kepada pengunjung cafe yang menghadiri bedah buku puisi bahwa dirinya segera pensiun. Ia ingin menggantungkan larik-larik sajak kepada perkembangan zaman dan kepada setiap detik kelahiran anak manusia.

"Malam ini kunyatakan dengan tegas kepada kalian, bahwa hidupku bersama larik-larik sajak akan mulai kugantungkan bersama zaman, di cafe ini. Kalian masih bisa menikmati karyaku dimana saja, namun bukan untuk puisi-puisi baru setelah ini. Biarlah kelahiran anak manusia juga melahirkan puisi-puisi yang baru. Semoga keputusan ini bisa dimaklumi" kata Amran diakhir acara bedah buku.

Matanya berkaca-kaca, bahkan untuk bangkit dari kursinya ia harus menyiapkan satu kali tarikan nafas yang mendalam. Ia berjalan perlahan menuju sudut cafe dimana ia menghabiskan waktu selanjutnya bersama kemungkinan dan berbagai pilihan.

*******

"Kopi capucino-nya tuan" seorang pelayan menyajikan pesanan Amran. Ia hanya mengangguk dan sedikit menanyakan seorang perempuan.

"Lain kali kalau membuat acara buatkan presensi mbak, perempuan itu seperti kukenali wajahnya, namun aku lupa dimana" saran Amran kepada pelayan.

"Ya tuan, maafkan kami, malam itu memang diluar dugaan, kami tak menduga pengunjungnya meluber" sahut pelayan seraya membungkukkan badannya.

"Ya sudah, mungkin juga salahku mbak" pungkas Amran menutup pembicaraan. Pelayan itu pun pergi dan membiarkan tamu satu-satunya menuntaskan membaca koran.

Seluruh halaman tuntas dibaca Amran. Mulai dari berita, iklan, kolom, opini hingga kontak jodoh. Sebuah kebiasaan generasi lawas yang gemar membaca koran.

"Aku suka membaca. Ya, apa saja kubaca. Apalagi karya-karya sastra. Oleh karena itu aku sangat tahu karya generasi sekarang. Aku prihatin, mengapa penulis sekarang tak memiliki esensi gagasan. Sering kutemui mereka menjiplak karya generasi sebelumnya. Hanya mengganti sedikit obyek serta narasinya. Memangnya sebagai pembaca aku nggak tahu?" kata Amran kepada pelayan.

"Berarti ingatan tuan sangatlah tajam" balas pelayan.

"Sangat tajam. Aku bahkan sering membaca karya-karya di internet yang main kutip dari berbagai tulisan. Itu penyakit yang berbahaya. Hidup adalah kemungkinan, jika ia berkarya dengan cara seperti itu, maka kemungkinan penulis itu akan menghabisi sendiri sumber gagasan di kepalanya" kata Amran dengan tegas. Sesekali ia juga membetulkan kacamatanya.

"Hidup juga pilihan, aku bertahan dengan segala gagasan untuk karya-karyaku. Bahkan aku rela menceraikan istriku hanya untuk mempertahankan karyaku" papar Amran meyakinkan.

"Oh ya tuan, maaf ya tuan. Mengapa tuan selalu menunggu perempuan itu disini?" tanya pelayan.

Seperti biasa Amran mencoba bersikap tenang. Padahal ada sedikit gerakan yang menghentak. Mungkin ia terkejut atau mungkin diingatkan kembali soal perempuan itu.

Hampir seminggu ini Amran memang rajin mengunjungi cafe yang berada di lereng bukit itu. Alasannya ia bisa memandangi pusat kota dari atas. Sekalian menunggu perempuan itu datang kembali. Perempuan yang mengalihkan perhatiannya kepada pengunjung saat bedah buku beberapa waktu lalu.

Perempuan yang menurut ingatannya pernah ia ajak bicara meskipun sebentar saja. Sayangnya ia lupa siapa perempuan itu. Amran juga menyesali mengapa malam itu tak segera menghampiri perempuan itu dan menanyakan nama serta asalnya. Baginya pekerjaan bertanya adalah pekerjaan enteng untuk ukuran pria yang kesepian.

Amran menyesal. Ia bayar penyesalan sekaligus sepinya itu dengan menunggu berbagai kemungkinan di sudut cafe lereng bukit. Sesekali ia memandangi kota dari atas, mungkin pikirannya sedang mencari dimana perempuan itu tinggal. Ia mengerami sendiri angan-angannya bersama larik-larik sajak diiringi petikan gitar dari jemarinya yang masih kokoh itu.

 *******

Ini sudah empat minggu Amran rutin ke cafe lereng bukit. Artinya, sudah sebulan keteguhan Amran tak tergoyahkan. Ia selalu berujar kepada pelayan bahwa hidup banyak kemungkinan. Seperti makna yang tersimpan dalam larik-larik sajak. Seperti persepsi orang atas karya puisi.

Amran tak lupa juga menanyakan perihal perempuan itu kepada pelayan. Sayangnya, selama ini pelayan cafe hanya menggeleng kepala.

"Entahlah tuan, mengapa tuan yakin bahwa perempuan itu akan kemari. Mengapa tak ada pilihan lain?" ujar pelayan.

"Sssst...., jadi orang jangan pesimis, jangan mudah putus asa. Hidup banyak kemungkinan. Hidup banyak pilihan. Mungkin kamu belum gajian ya?" hibur Amran diungkit masalah perempuan yang tak kunjung datang itu.

"Nggak tuan, ini sudah sebulan. Mengapa tuan tidak mencarinya ke berbagai kolega. Malah tuan habiskan di cafe ini" jelas pelayan seraya membenahi sajian diatas nampan.

"Hahahahaha, kalau aku sering kesini apa cafe ini semakin sepi? jangan salah lo, banyak orang minta tanda tangan kesini gara-gara mereka hafal bahwa aku sering kesini" sanggah Amran berapi-api.

"Ya sih tuan, terima kasih tuan. Maaf saya hanya kasihan melihat tuan menunggu dan menanyakan perihal perempuan itu" jelas pelayan.

"Sudahlah, cuma kamu kok yang saya tanya, tanpa kamu menggeleng dan menjawab pun aku tahu dimana perempuan itu" hibur Amran.

Pelayan itu pamit undur diri dan melayani tamu lainnya. Amran kembali sibuk membaca beberapa coretan puisi sambil bermain gitar. Ia nikmati kesepian di sudut cafe. Ia pria penunggu sejati. Ia penyair yang tak punya lelah.

"Maaf tuan, mengganggu" sebuah suara lembut menyelinap di telinga Amran. Hatinya berdesir. Bahkan matanya belum sempat menatap sumber suara itu. Suara perempuan yang menghentikan petikan gitarnya.

Amran mengarahkan pandangan pada sumber suara. Ia terkejut bukan kepalang. Kali ini jelas terlihat hentakan tubuhnya. "Terima kasih Tuhan" gumam Amran dalam hatinya bersorak girang.

Perempuan yang pernah hadir dalam acara bedah buku itu sekerang sudah duduk di hadapannya. Amran seperti lega, puas dengan keteguhan hatinya dalam menunggu. Begitu pula pelayan cafe. Ia berseloroh kepada rekannya "Habis ini aku sudah tidak ditanya perempuan itu lagi, akhirnya....huft"

Siang itu Amran bercakap-cakap santai dengan perempuan yang telah ditunggunya selama sebulan. Sesekali Amran terlihat canggung, tangannya memegangi kerah baju yang sebenarnya sudah rapi. Ia juga sering melepas kacamata, lalu mengenakannya kembali dengan singkat. Bahkan untuk urusan ke belakang sekedar buang air kecil pun menjadi terhenti. Tak seperti biasanya ia pamit ke toilet untuk buang air kecil.

Sampai senja perempuan itu akhirnya pamit. Ia memberikan setumpuk kertas diatas meja. Amran membungkukkan badan serta tangkas mencium punggung telapak tangan perempuan itu. Mirip Giacomo Casanova. Perempuan itu tersipu dan melenggang dengan anggun meninggalkan segala girang di hati Amran.

Tak seorang pelayan pun mendekatinya. Mereka takut mengganggu kegembiraan Amran. Mereka juga takut Amran tak kesini lagi, nanti cafe-nya bisa sepi. Semua hanya mengamati Amran dari jauh. Amran memetik gitar lagi. Kali ini suaranya keras. Diselingi bait-bait puisi yang ia baca dengan sesengguk tangis.

Suasana cafe tiba-tiba berubah sepi. Semua mata pengunjung tertuju pada Amran. Ia tetap tak beranjak dari kursinya. Kombinasi lagu dan puisi yang menyayat hati seperti mengajak mata untuk meneteskan kesedihan. Nampak beberapa pengunjung mulai mengelap pipinya dengan tisu. Satu persatu yang tidak tahan segera meninggalkan cafe.

Saat petang mulai meninggalkan senja. Malam menjadi dewasa. Amran minta dibuatkan minuman jahe. "Suaraku serak" katanya.

Saat malam beranjak larut. Amran memesan soft drink. "Biarkan anganku terbang, lepas, kejap dan amblas" teriaknya. Pelayan tak berani menanyakan satu kalimat pun. Setelah menyajikan pesanan, pelayan segera pergi. Mereka hanya memandangi Amran dari meja kasir.

Saat malam semakin reyot. Amran minta sebotol bir. Pelayan yang mulai mengantuk saling tunjuk hidung. Kemana mencari bir semalam ini? kita bukan cafe untuk mabuk-mabukan. Akhirnya salah satu dari mereka mencarikan bir untuk Amran.

Dinihari tinggal seorang pelayan yang bertahan di cafe itu. Lereng bukit hanya menyisakan kelap-kelip dari kejauhan. Lampu-lampu kota dari atas bukit juga nampak tak seterang sebelumnya. Pelayan itu membobong Amran keluar dan memasukkan ke dalam taxi. Semenit kemudai taxi menembus kabut dan cafe segera tutup.

Embun berkejaran bersama dinihari. Kemungkinan dan pilihan sama-sama mengejutkan. Tak ada yang membuatnya bersedih. Amran memang telah pensiun dari dunia sastra. Ia hanya ingin menumpahkan rasa. Pada perempuan yang telah menggoda pandangannya. Namun kemungkinan berkata lain. Pilihan kadangkala pahit seperti empedu. Seorang penyair bernama Amran ditemukan menggigil di emperan toko. Gitarnya patah. Puisinya berceceran bersama sebuah undangan pernikahan.


SINGOSARI, 20 desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun