Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tegar Bukan Manekin Anak

3 Desember 2020   21:01 Diperbarui: 3 Desember 2020   21:17 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpaperbetter.com

Gerimis masih menghiasi sore. Shift pertama waktunya pulang. Harusnya sejak jam 16:00 tadi. Tapi entahlah sepertinya aku ingin menerjang gerimisi ini. Ada cemilan kesukaan Tegar yang harus kuberikan dalam keadaan hangat. Secara jarak antara tempat kerja dengan kost juga tidak jauh.

"Bu bawakan cilok tahu ya, yang hangat" suara Tegar seperti terus menggema di telingaku. Suara setengah merengek yang membuatku semangat menjalani hidup. Suara yang menggema menjadi magnet agar aku selalu pulang tepat waktu.

Mana ada Ibu yang melupakan permintaan anaknya? Bahkan ujian berat pun akan tetap dikerjakan seorang ibu, walau dengan berbagai jawaban yang kadangkala sulit dan rumit. Seperti Tegar, dia bukanlah soal ujian bagiku. Sebaliknya ia menjadi mercusuar yang melabuhkan hatiku untuk sepasang mata hampa dengan tubuhnya yang ringkih.

Maka, tak salah jika kunamakan dia sebagai Tegar, kuharap bukan hanya anakku yang kuat menghadapi cobaan, tapi juga diriku sebagai perempuan yang membesarkan sendiri buah hati.

"Ibu datang, cepat masuk, gerimis ya bu" sorak tegar melihat kehadiranku. Kusambut tangan kecilnya memeluk wajahku. Seperti biasa aku harus menahan tangis dengan pelukannya, jangankan memeluk tubuhku, memeluk wajahku saja Tegar harus berusaha keras. Namun, justru itulah kasih sayang yang ia tunjukkan pada ibunya yang juga menyayanginya.

"Coba lihat, ibu bawa kesukaanmu, tara.....cilok tahu hangat" aku segera memberinya kejutan, agar penantian seharian segera menentramkan hatinya.

"Makasih bu, peluk lagi bu, Tegar kangen ibu" sekali lagi Tegar meminta untuk berpelukan. Pun kedua kalinya aku harus menahan sesak di dada. Ini sebuah tanda Tegar ingin diperhatikan, ingin lebih dekat dan satu-satunya orang yang menolong dalam hidupnya adalah aku, ibunya.

Aku sendiri bersyukur bisa membesarkan Tegar seorang diri. Sebagai seorang pramu layan (SPG) di sebuah pertokoan dekat alun-alun Kota Malang. Gajiku mungkin dibawah UMR, tapi kebahagiaanku hidup bersama Tegar seolah mengalahkan tuntutan yang sering didengungkan buruh saat unjuk rasa menuntut perbaikan upah.

Sejak Mas Didik menceraikanku, aku sudah bertekad untuk membesarkan Tegar seorang diri, bagaimanapun kondisinya. Dimanapun tempatnya. Aku harus bisa. Bagiku Mas Didik hanyalah ujian yang sudah lunas terjawab.

Aku yakin Tuhan memberi cobaan sesuai kekuatan hambanya. Maka dengan keyakinan itu pula membuatku menemukan berbagai jawaban. Pasti Tuhan akan membantuku menyelesaikan berbagai cobaan. Dan benar adanya. Buktinya, salah satu manajerku selalu memberi perhatian. Meski kadangkala aku membatasi diri jangan sampai menjadi bumerang dalam romantika.

Sudah berbusa-busa aku menceritakan kelucuan Tegar. Sudah berbilang-bilang aku menceritakan kepandaian Tegar, dan sudah bertingkat-tingkat aku menceritakan pertumbuhan Tegar. Meski dalam hati kecilku aku tahu bahwa manajer hanya menaruh belas kasihan belaka. Sedangkan aku sebagai ibunya, menjerit perih melihat Tegar tak seperti anak seusianya. Selain tubuhnya terlalu kecil, ia juga tak mampu bergerak aktif seperti anak pada umumnya. Hidupnya dihabiskan di kursi roda.

Berkat belas kasihan manajer pula, aku selalu dipilih untuk bekerja pada shift pertama. Mulai jam 10:00 pagi hingga jam 16:00 sore. Beruntung pula teman kerja tak ada yang iri. Mungkin mereka sudah pernah kukenalkan pada Tegar saat ulang tahun kemarin. Dan aku yakin mereka juga iba melihat Tegar.

Oleh karena itu, manajer memberi tugas hanya sebagai pengganti baju pada manekin anak. Lalu menjaga tumpukan baju obral anak yang selalu diobrak-abrik oleh pengunjung. "Pokoknya baju yang dipakai manekin itu tugasmu, kalau banyak pembeli tertarik, otomatis bonusmu saya tambah" kata manajer menyemangatiku.

Diam-diam aku menganggap manekin anak itu sebagai Tegar yang menggemaskan, montok, dan tumbuh sehat. Kupilihkan baju dan celana yang harmonis. Enak dipandang dan memikat pembeli yang datang. Bahkan tak jarang pula aku sering menceritakan manekin anak kepada Tegar saat dia beranjak tidur.

"Apakah ibu selalu memakaikan jaket ke manekin itu?" tanya Tegar suatu malam.   

"Ya iyalah, seperti kamu Tegar, di toko ibu AC-nya dingin sekali, kasihan kalau tidak pakai jaket" jelasku.

Tegar hanya tersenyum-senyum. Mungkin dalam hatinya tidak ada yang salah jika setiap anak kecil mengenakan jaket seperti dirinya, apalagi setiap hari.

"Tapi sebenarnya bukan itu Tegar, tubuhmu terlalu ringkih. Kamu selalu demam lalu kejang jika tidak mengenakan jaket. Itulah mengapa tubuhmu tidak bisa tumbuh membesar. Paling tidak seukuran manekin anak seperti di toko" batinku nelangsa seraya mengusap rambutnya.

Kulihat Tegar meneruskan kegiatannya. Memilin-milin rambutku sambil membayangkan sesuatu yang tak kupahami. Aku mencoba rileks dan menarik tanganku keatas mengusir penat seraya melihat kalender di dinding. Mendadak mataku tak bisa lepas dari tanggal 3 Desember. Aku bangkit dari tempat tidur dan membiarkan Tegar berbaring diatas kasur.

"Tegar ulang tahun?" bisikku kegirangan. "Ya Tegar sudah tujuh tahun, mungkin dia lupa. Oh tidak. Bukan dia yang lupa, tapi ibunya. Payah" gumamku sambil geleng-geleng kepala.

"Ibu mau kemana? jangan kemana-mana bu, disini saja" rengek Tegar.

"Kamu ulang tahun Tegar. Lihat ini, esok lusa tanggal 3 Desember tepat hari Minggu" jelasku seraya menunjuk kalender di dinding.

"Hore.....ulang tahun, dirayakan ya bu" pintanya. Tanpa ragu aku mengiyakan. Mungkin tahun kemarin mengundang teman-teman kerja. Bagaimana kalau tahun ini mengundang tetangga kost saja? aku sedang memikirkan rencana perayaan ulang tahun Tegar.

Tapi, apakah mungkin? Tegar tak punya teman di lingkungan kost ini. Anak seusianya sudah sekolah. Satu-satunya teman Tegar adalah aku, ibunya.

"Ah, siapa tahu dengan perayaan ini Tegar punya teman disini" gumamku bersemangat.

Kost kami hanya seukuran kamar 3 meter x 4 meter. Ruang tamu kami sekaligus menjadi tempat tidur dan dapur. Sebuah kamar mandi tersedia di sudut. Di ruangan itulah aku dan Tegar hidup sebagai keluarga. Keluarga yang jarang memiliki tamu. Keluarga yang hanya memiliki satu meja dan satu kursi. Sementara satu kursi lainnya adalah kursi roda yang sepanjang hari ada Tegar diatasnya.

Sebagai rasa syukurku, aku selalu menghibur diri bahwa bagaimanapun juga Tuhan Maha Kasih. Untuk itu perayaan ulang tahun Tegar kali ini akan kumeriahkan dengan kue tart dari toko ujung gang. Bonus dari manajer telah kubelikan kue tart istimewa. Diatasnya berdiri lilin angka 7. Balutan di tepi tart dari coklat pasti disukai Tegar dan teman-temannya.

Semalam telah kubuat undangan sederhana. Pagi ini kugandakan dan siap disebar ke tetangga kost. Sebelum berangkat kerja Tegar pesan kaos untuk ulang tahun. "Warna hijau ya bu" pintanya. Aku tersenyum sambil memberinya dua jempol.

-----*****-----

Hari ini manajer telah mengijinkanku cuti sehari. Khusus untuk merayakan ulang tahun Tegar. Waktu yang kumanfaatkan sebaik mungkin. Kupersiapkan segala perhelatan Tegar. Kue tart, karpet pinjaman pemilik kost, dan hiasan-hiasan yang menggantung di atap serta balon berwana-warni. "Dijamin meriah" batinku bersorak.

Jam sembilan pagi, harusnya anak-anak sekitar kost datang. Aku membayangkan Tegar menerima kado. Bayangan wajar seperti ulang tahun pada umumnya.

"Kok tidak ada yang datang?" gumamku sedih. Kulihat Tegar masih setia menunggu teman-temannya datang. Kaos hijau pemberian manajer masih membalut tubuhnya.

"Kamu diam dulu ya Tegar, ibu akan memanggil teman-temanmu, tunggu disini ya" aku harus keluar sekarang. Ini aneh menurutku. Biasanya anak-anak seusia Tegar selalu senang jika ada perayaan ulang tahun. Tapi ini mengapa tak sebatang hidungpun datang?

Kudekati segerombolan ibu-ibu yang duduk-duduk di dekat warung Mak Surti. Mereka masih mengenakan daster dan ngobrol seperti tak ada apapun yang terjadi.

"Maaf ibu-ibu, bukankah hari ini anak-anak saya undang untuk ulang tahunnya Tegar?" tanyaku berharap mendapat jawaban yang memuaskan.

Seketika ibu-ibu itu kompak memandang ke arahku. Wajah mereka nampak beragam, tapi jelas beberapa diantara mereka seperti orang bingung. Seolah aku orang asing yang belum dikenal di lingkungan kost ini.

"Mak Surti, ayo jelaskan" kata Bu Tutik.

"Kok aku mbak Tut, itu lo mbak Rini aja, kan anakku sudah besar" elak Mak Surti

Aku semakin bingung. Ada apa gerangan. Apakah ada yang kurang pantas, ataukah ada sesuatu? Aku mencoba mendekat dan duduk sejajar mereka.

"Anu mbak Susi, gimana ya. Tadi anak-anak sudah pada mandi. Sudah pada bawa kado, tapi...." belum tuntas bu Rini menyambung pembicaraan, tiba-tiba Bu Hadi menyela.

"Gini lo mbak Susi, kami disini ibu-ibu sebenarnya bingung. Mbak Susi ini sudah menikah apa belum? kalau belum menikah masak punya anak. Kalau sudah menikah anaknya mana? maaf ya mbak selama ini kami belum pernah melihat anak mbak Susi" papar Bu Hadi seperti badai raksasa yang menghempas dadaku.

Pipiku tak kuasa menahan lelehan air mata. Aku memang salah. Aku terlalu menyimpan Tegar sehingga tak punya teman-teman. Tapi jangan begini Tuhan. Bibirku bergetar hebat. Mau berkata tapi tak tahu apa yang harus kukatakan.

"Maaf mbak Susi" kata ibu-ibu bersamaan.

Aku mengangguk pelan. Entah perasaan apa yang kurasakan ini. Kecewa, perih, marah dan sebagainya menggumpal memenuhi dada.

"Maaf mbak Susi, kemarin saya mengintip di kamar kost Mbak Susi, kukira ada anak kecil yang bermain-main, tapi kelihatannya hanya sebuah manekin anak. Jadi kami bingung, anak kecil yang mana lagi ya?" urai Mak Surti.

Aku semakin limbung. Kucoba mengangkat tubuhku. Meski gontai kulangkahkan terus kaki ini. Sampai di kost aku terisak tak karuan.

"Mengapa ibu menangis? mana teman-teman Tegar?" celoteh Tegar.

Kudekap tubuh kecil itu. Pundaknya perlahan basah oleh air mataku. Mataku berkedip-kedip tak kuasa menahan derasnya tangis. Kubelai rambutnya penuh kasih sayang disaksikan kue tart yang belum menyala lilinnya.

SINGOSARI, 3 Desember 2020
Selamat Hari Difabel, hargai mereka, bahagiakan mereka. Sebab mereka bagian dari Karya Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun