Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tegar Bukan Manekin Anak

3 Desember 2020   21:01 Diperbarui: 3 Desember 2020   21:17 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wallpaperbetter.com

Kudekati segerombolan ibu-ibu yang duduk-duduk di dekat warung Mak Surti. Mereka masih mengenakan daster dan ngobrol seperti tak ada apapun yang terjadi.

"Maaf ibu-ibu, bukankah hari ini anak-anak saya undang untuk ulang tahunnya Tegar?" tanyaku berharap mendapat jawaban yang memuaskan.

Seketika ibu-ibu itu kompak memandang ke arahku. Wajah mereka nampak beragam, tapi jelas beberapa diantara mereka seperti orang bingung. Seolah aku orang asing yang belum dikenal di lingkungan kost ini.

"Mak Surti, ayo jelaskan" kata Bu Tutik.

"Kok aku mbak Tut, itu lo mbak Rini aja, kan anakku sudah besar" elak Mak Surti

Aku semakin bingung. Ada apa gerangan. Apakah ada yang kurang pantas, ataukah ada sesuatu? Aku mencoba mendekat dan duduk sejajar mereka.

"Anu mbak Susi, gimana ya. Tadi anak-anak sudah pada mandi. Sudah pada bawa kado, tapi...." belum tuntas bu Rini menyambung pembicaraan, tiba-tiba Bu Hadi menyela.

"Gini lo mbak Susi, kami disini ibu-ibu sebenarnya bingung. Mbak Susi ini sudah menikah apa belum? kalau belum menikah masak punya anak. Kalau sudah menikah anaknya mana? maaf ya mbak selama ini kami belum pernah melihat anak mbak Susi" papar Bu Hadi seperti badai raksasa yang menghempas dadaku.

Pipiku tak kuasa menahan lelehan air mata. Aku memang salah. Aku terlalu menyimpan Tegar sehingga tak punya teman-teman. Tapi jangan begini Tuhan. Bibirku bergetar hebat. Mau berkata tapi tak tahu apa yang harus kukatakan.

"Maaf mbak Susi" kata ibu-ibu bersamaan.

Aku mengangguk pelan. Entah perasaan apa yang kurasakan ini. Kecewa, perih, marah dan sebagainya menggumpal memenuhi dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun