Dari tadi aku sangat curiga, penjual ronde itu seorang intel, dan pembelinya juga intel. Dari gerak-geriknya saja mudah kutebak. Celingukan kesana kemari mencari seseorang, dan bisa jadi akulah orangnya. Sebenarnya aku bisa saja lolos dari pengintaian ini, namun bayang-bayang Lilik seolah melemahkan niatku. Apakah aku harus lari ataukah menyerahkan diri? apalagi Lilik bersedia menerimaku apa adanya.
Malam itu aku berpikir keras, menimbang keinginan untuk lari ataukah menyerahkan diri. Pilihan getir bagiku. Jika lari sudah pasti aku akan berpindah-pindah tempat untuk bersembunyi. Itu artinya hanya sedikit waktu untuk bertemu Lilik.Â
Tapi, jika menyerahkan diri, sudah barang tentu aku akan dipenjara. Lalu Lilik akan menjengukku di penjara seminggu sekali. Itu pun hanya beberapa menit. Berulang-ulang sampai setahun, dua tahun bahkan puluhan tahun lamanya.
"Sialan, gimana ini? lari, menyerah, lari, menyerah, lari...... asyem tenan" batinku terus mengumpat saat kepalaku pening memikirkan jalan terbaik.
"Tuhan, kenapa kau hadirkan Lilik di saat genting seperti ini? aku harus bagaimana Tuhan?" kali ini batinku mereka-reka ketegaran yang berserakan.
"Hahahaha, tolol benar aku ini, mana ada penjahat ingat Tuhan ha?" aku terkekeh lirih, mengolok diriku sendiri.
Sementara di luar kontrakan dua orang itu tak kunjung beranjak. Sudahlah, kedok kalian mudah kubaca. Mana ada pembeli minum ronde sampai berjam-jam? apa perutnya kuat menahan panas jahe?
"Ngaku aja intel, nggak usah nyamar-nyamar, nanti kecewa lo kalau aku lari duluan, hikhikhik" aku terkekeh lagi. Dari balik korden jendela ruang tamu kuamati kedua orang itu tetap celingukan. Rumah kontrakan ini sangat dekat dengan jalan kampung. Jadi aku sangat jelas melihat gerak-geriknya. Lagipula penjual ronde itu sering memegang telinganya, itu pasti alat komunikasi dengan rekan intel lainnya.
Aku mengendap-endap masuk kamar, supaya dua orang itu tak melihat bayanganku. Untunglah dari tadi lampu telah kumatikan, semuanya nampak gelap. Hanya nafas dan degup jantungku yang terdengar, selain itu hening.
"Lilik, aku bersumpah, demi kamu aku rela menjadi apapun. Kuharap kau mendo'akan aku, semoga apa yang kupilih ini adalah yang terbaik. Ya, aku harus melarikan diri" gumamku memantapkan hati.
Kusiapkan keperluan untuk melarikan diri. Tak lupa, kuselipkan sikep (jimat) pada ikat pinggang sesuai saran Ki Dukun. Seluruhnya telah siap. Baju hitam, celana hitam, dan sarung yang menutupi wajah. Sekarang.....waktunya melarikan diri.
"Jontor bibirmu kebanyakan minum jahe, rasain" pekikku lirih sebelum membuka perlahan pintu belakang.
-----*****-----
"Sudahlah Nduk, lelaki di dunia ini bukan hanya Parman saja, mbok ya kamu pikir, Kang Dul itu sebentar lagi jadi Carik di desa ini. Kang Sobirin punya pabrik tahu. Kang Rokim malah baru lulus sekolah polisi. Apa kurangnya mereka semua Nduk?" nasehat Pak Burhan kepada anak perempuan satu-satunya, Lilik.
"Cinta itu sulit Pak, Lilik nggak bisa menjelaskan mengapa kok membiarkan Kang Dul, Kang Sobirin, Kang Rokim dan siapapun yang sudah pernah melamar Lilik. Bagi Lilik Kang Parman sudah cukup menarik dibanding lainnya, bapak mbok ya hargai pilihan Lilik" timpal Lilik sambil sedikit sesenggukan.