Istrimu telah lama meninggalkanmu. Sepuluh tahun berikutnya, anakmu menyusul dipanggil Yang Maha Kuasa. Entah mengapa kau begitu sabar menekuni waktu. Seorang diri di sudut pasar yang mulai dijejali pedagang-pedagang baru. Apa karena pesan istrimu sehingga kau terus bertahan? atau memang siapa yang peduli dengan hidupmu jika bukan dirimu sendiri? Katanya manusia adalah makhluk sosial, ia tak bisa hidup sendiri. Ia selalu ingin mencari teman. Ia selalu bekerjasama, berkomunikasi dan jatuh cinta. Sedangkan kau, sepanjang hayatmu mencintai arloji. Sebagaimana pesan mendiang istrimu saat ajal mendekat.
"Pak, apa hidupmu terus begini? Suatu saat nanti tubuhmu akan renta, kau akan berjalan membawa tongkat, dan matamu itu......" kalimat itu tiba-tiba terhenti, dan membuat batuk-batuk kecil menyalak.
"Sudahlah bu, ini takdirku. Aku sudah bahagia. Kau sekarang sakit, teruslah berjuang melawan sakitmu, sebab hanya itu yang kau miliki" ucapmu dengan lirih.
--------- ********** ----------
Masih dalam putaran ingatanmu, istrimu meninggal saat sebuah arloji tak mampu berputar karena pegasnya putus. Malam itu sebuah firasat terus memenuhi kepalamu. Kau memang mampu memperbaiki arloji, tapi sebagaimana manusia biasa, waktu adalah milik Illahi.
Kau kubur istrimu di dekat pasar yang berbatasan dengan tembok tempat pembuangan sampah. Lalu waktu mengajarkanmu untuk menziarahi yang mati agar hidup terus berlanjut, seperti jarum arloji yang terus berputar. Apakah kau marah? Apakah kau tak menerima kenyataan? Apakah kau kira takdir tak berpihak? Apakah Tuhan menyengsarakan umatnya?Â
Tak ada berbagai tanya dalam pikiranmu, hidup hanya dijalani dan disyukuri. Putus asa tak menyelesaikan masalah. Seperti pegas arloji yang putus, bagaimana gir pemutar jarum akan menggerakkan jarum? Demikian filosofimu setiap mendengar bisikan jahat menggoda telingamu. Kau pantas menjadi orang paling tabah yang berdetak setiap waktu.
---------- ********** ----------
Dulu ketika masih muda, kau sempatkan untuk berolah raga sebelum bekerja. Kini usiamu sudah lanjut. Rambutmu beruban, kulitmu berkeriput, dan punggungmu agak membungkuk. Aku tak tahu apakah matamu jeli memperbaiki arloji yang presisi? Entahlah.Â
Pernah suatu waktu kulihat kesibukanmu di pagi hari. Segelas air putih hangat dari termos sebagai pembuka harimu. Seperti arloji yang terpasang baterai baru, kau berjalan menuju pasar dipandu tongkat pemberian dari pelangganmu. Aku sangat hafal kapan kau berangkat kerja di pasar. Suara ketukan tongkatmu diatas trotoar mirip detak arloji yang sering kau perbaiki. Itulah mengapa aku juga hafal kapan saatnya kau pulang.Â
Desir angin menjadi detik yang begitu cepat membuatmu masuk angin. Jika demikian dadamu seperti dipenuhi jarum arloji yang mengusik batuk. Untunglah mendiang istrimu dulu mahir merajut syal untuk melindungi leher dan tengkuk dari dingin. Jika tidak? mungkin kau harus mengeluarkan uang untuk membeli syal rajutan di pasar yang harganya bisa untuk makan setengah bulan.