Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menulislah untuk Pembaca

13 Agustus 2020   15:24 Diperbarui: 13 Agustus 2020   22:24 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://qph.fs.quoracdn.net/

Sejak saat itu, aku menulis semakin berani. Menohok kelompok lawan yang kebetulan juga berseberangan dengan suami Nining. Tak ada ancaman. Tak ada penyerbuan, juga pengerusakkan kantorku. Aku merasa aman. Seluruh amunisi tulisanku membabi buta. Kukorek, kutelanjangi, dan kuhitamkan profil lawan. Riwayat-riwayat yang tak disukai masyarakat kuangkat sedemikian rupa. Aku menjadi penulis yang ditunggu-tunggu ulasannya. Pembaca menjadi terbelah. Ada yang terpengaruh tulisanku. Mempercayai hasil iklan kampanye serta berbagai produk-produk yang dicetak dari percetakanku. 

Aku terus mengerjakan pesanan kandidat calon bupati. Uang muka mengalir ke rekeningku. Nining berjanji akan menambah terus biaya kampanye tersebut, asalkan suara suaminya merangkak naik. Aku mulai percaya janji-janji Nining tentang biaya susulan. "Ah, daripada menunggu biaya susulan kenapa tak memakai biayaku dulu?" batinku bersemangat. Maka, menjelang batas kampanye usai biaya yang kugelontorkan pun semakin besar. Kata Nining ada pengaruh signifikan dalam perolehan suara. Hasil survei bahkan jauh diatas angin.

"Aku menang" pekikku sendiri. Saat kemenanganku memuncak, tulisanku banyak dibaca. Suasana berpihak padaku. Keuntungan diprediksi juga meledak. Sepertinya perhitungan politik ini sudah masuk. Semua tulisanku gencar memuja suami Nining sebagai kandidat terbaik dan tentu menjatuhkan lawan politik.

Tapi na'as, aku tertangkap basah sedang berduaan dengan Nining di suatu hotel. Kelompok lawan mencium kedekatanku dengan Nining. Aku terpedaya angin yang meniup sekam sehingga terbakar kembali. Api cinta itu membara, membakar seluruh kehormatanku. Mengoyak tulisan-tulisanku serta menenggelamkanku pada lembah yang pekat. Aku tak paham, antara dijebak atau memang aku tak kuasa melawan hasrat. Aku juga kehilangan gagasan menulis. Tanganku lemas. Jemariku hanya mampu memegang jeruji besi.

"Aku disel" gumamku lirih pada suatu malam di sudut sel terisolasi. Berita dari petugas sipir (penjaga penjara) mengatakan bahwa Bupati terpilih dari partai yang selama ini menjadi bulan-bulanan melalui tulisanku. Bupati terpilih itu adalah suami baru Nining. Aku telah dibohongi Nining bahwa sebenarnya ia telah bercerai, dan mantan suaminya itulah yang ia jadikan umpan kepadaku. Aku juga begitu bodoh percaya terhadap uang muka biaya kampanye, nyatanya biaya yang telah kukeluarkan malah amblas diterpa kekalahan. 

Saat ada kunjungan perdana Bupati terpilih ke lembaga pemasyarakatan, hatiku seperti tertusuk penaku sendiri. Pedih dan semakin gelap. Aku teringat kata orang kepercayaanku, "Menulislah untuk pembaca, bukan untuk penguasa, tak ada kawan dalam politik, semua hanya kepentingan."

MALANG, 13 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun