Maka, tak ayal esok hari kantorku digeruduk beberapa orang dengan membawa sekarung emosi serta berwajah sangar.
"Bukankah kau manusia? Kau tahu etika? Kau punya panutan beradab?" pekikku saat menghadapi mereka.
"Sudah diam kau setan! Kau mau dibakar atau dirajam?" kata pentolan mereka.
"Waduh, nggak ada pilihan lain nih?" kucoba menenangkan diriku yang sebenarnya mulai keder.
"Pokoknya, jika besok kau ulangi lagi, kami akan datangkan massa lebih banyak lagi, ingat itu setan!" pentolan mereka mengancam lagi dan untungnya lekas berbalik badan.
Aroma kebencian mereka masih memenuhi ruangan kantorku. Buku-buku serta bahan percetakan morat-marit diobrak-abrik mereka. Beberap gelas serta piring yang biasa dipakai karyawan ikut menjadi korban. Pecah dan terserak di lantai. Untung tak ada yang terluka. Untung lagi aku tak disiksa mereka.
                       ---- **** ----
"Hallo, benar dengan penulis Mahar Sinaga?" seseorang di ujung telepon mencoba bertanya tentang diriku. Aku sudah paham, ini pasti beda dengan biasanya. Sebab orang yang biasa pesan percetakan akan langsung diterima oleh karyawan customer service.
"Bapak sedang keluar kota, silahkan meninggalkan pesan" sahutku berpura-pura menjadi karyawan.
"Ini siapa?" balas penelepon penasaran.
"Saya karyawan disini pak, apa ada pesan untuk bapak?" sahutku meyakinkan.
"Tolong diberitahukan pada bapak Mahar Sinaga, bahwa besok ada tamu dari anggota parlemen pusat. Nanti sore ada utusan yang akan memantau kondisi sekitar, tolong diterima dengan baik."Â urai penelepon serius.
"Baik, nanti kami sampaikan pesan ini ke bapak. Hanya begitu saja pak?"
"Sementara itu saja. Terima kasih. Tutttt....tuuut...tuuut."
"Hemmm, ada apalagi ini ya?" gumamku seraya menutup gagang telepon.Â
                       ---- **** ----
"Kau masih ingat aku?" tanya perempuan itu.
"Kau Nining kan?" aku mencoba menebak paras perempuan di depanku.
"Aku menepati janjiku, mana bukumu, aku minta tanda tanganmu nanti" sahutnya dengan suara yang berwibawa. Aku menjadi agak rikuh. Orang yang pernah kucintai ini begitu anggun. Ia menjadi orang besar. Ia masih menggetarkan sudut hatiku.
Kami terlibat percakapan di ruang tamu. Beberapa karyawan yang kupercaya ikut serta dalam pertemuan itu. Intinya suami Nining akan mengundurkan diri dari anggota parlemen pusat dan meminta tolong kepadaku untuk menjadi tim sukses pencalonan bupati di daerahku.
"Ini kan masih lama Ning?"Â selidikku.
"Memang, tapi apa salahnya jika mengenalkan profil bapak sejak sekarang?"
"Kau sendiri tak tertarik jadi anggota parlemen di daerah?"Â godaku.
"Gampang bisa diatur, nanti saja" balas Nining ringan.
Entah mengapa aku seperti tersihir, menuruti apa keinginan Nining. Seperti ada desir yang pernah kurasakan saat SMA dulu. Apalagi Nining memberi jaminan keamanan yang sempat kuutarakan padanya. Kantor sekaligus rumahku menjadi sebuah obyek penting bagi Nining yang akan menjadi istri kandidat bupati.