TAHAN, SABAR, INI UJIAN.
Masih puasa?
Semoga demikian adanya. Jangan alasan tidak kuat puasa gara-gara pekerjaan. Alasan tidak puasa karena tidak sahur. Serta berbagai alasan lain yang menjadikan puasamu bolong-bolong.
Jika puasamu bolong, maka ingat Imanmu. Jangan menyerah dengan ujian Iman. Apalagi saat pandemi covid-19 ini, selain Iman yang diuji ada ujian pula bagi Imun tubuh. Kita harus jaga jarak. Sering mencuci dengan sabun atau hand sanitizer. Pakai masker dan jangan keluar rumah jika tidak ada keperluan mendesak.
Jadi? apakah hanya ada dua ujian itu saja? Iman dan Imun? dan anda harus kuat terhadap dua ujian itu?
Tunggu! masih ada satu ujian lagi, yaitu Isi dompet. Memangnya ujian apalagi ini? Baik, simak ulasan berikut ini.
IMAN KUAT, IMUN SEHAT, BAGAIMANA ISI DOMPET?
Siapapun sepakat tak ada yang menginginkan pandemi virus covid-19 ini. Siapa yang ingin sakit? siapa pula yang ingin kehilangan nyawa? Duh, jangan sampai. Maka, turuti himbauan paramedis melalui pemerintah untuk tinggal di rumah saja. Putus penyebaran virus dengan tetap di rumah saja. Jaga jarak dan himbauan-himbauna penting lainnya.
Jangan melawan, apalagi bersikukuh bahwa virus covid-19 ini bisa sembuh, bahkan hanya sekian persen yang fatal. Sekali lagi, virus dan imunitas tubuh bukan barang yang sepele serta bisa adu jotos. Mereka bisa berubah-ubah. Kadang virusnya yang kuat, imunnya yang lemah. Kadang pula sebaliknya virusnya yang kalah dengan imun tubuh.
Mirip dengan keimanan seseorang, kadang hari ini alim. Nampak baik-baik saja. Tiba-tiba ada sesuatu, tahu-tahu sudah berbuat maksiat. Malahan ada yang sebulan mati-matian menjaga iman, hanya sedetik runtuh semua imannya dengan berbagai sebab.Â
Memang begitu ujian di dunia. Kalau tidak ada ujian mana ada kesempatan kita untuk berfikir? lalu apa gunanya ada orang baik dan orang buruk. Mengapa pula ada orang taat melaksanakan ajaran agama tapi akhirnya dipenjara gara-gara korupsi? Hidup yang penuh keseimbangan serta tercipta berpasangan ini pula yang akhirnya membuat manusia menentukan pilihan diantara banyak pilihan yang tersedia.
Begitu pula saat bulan puasa Ramadhan seperti ini. Namanya takjil bisa sampai ratusan jenis dan variasinya. Seandainya ada pendataan di Indonesia tentang berapa jenis takjil mungkin bisa sampai jutaan. Sebab tiap daerah punya khas takjil sendiri-sendiri.
Jangan jauh-jauh, coba tengok di sekitar kita saja. Misalnya ingin dibuat daftar menu takjil bulanan saja bisa tercukupi. Hari pertama menunya A, hari kedua menunya B, seterusnya sampai tiga puluh hari. Semua menu takjil tercukupi. Tercukupi? ternyata bukan masalah tercukupi, tapi lebih pada bagaimana kita mengendalikan.
Apa yang dikendalikan? sebenarnya banyak, sebab puasa tidak hanya urusan takjil, tidak hanya urusan menahan makan dan minum, tidak hanya membayangkan nikmatnya sajian kuliner. Ada yang harus diperhatikan lebih, yaitu bagaimana tahan terhadap ujian selama puasa. Salah satunya menjaga keseimbangan tubuh antara makanan yang dikonsumsi dengan daya beli.
Daya beli? betul, daya beli. Saya dan mungkin anda pernah mengalami malas membuat makanan sendiri alias memasak sendiri. Entah itu melalui istri atau asisten rumah tangga. Akhirnya pilihan jatuh pada "Baiklah beli saja, toh banyak penjual takjil."
Membeli makanan dan minuman selama puasa - selanjutnya saya sebut saja takjil - mungkin menjadi perilaku yang jamak bagi banyak orang. Meskipun saat ini sedang pandemi virus covid-19, yang namanya membeli takjil bukan suatu halangan yang berarti. Jika malas keluar, orang bisa pesan melalui aplikasi ojek online atau abang ojol.
Lebih-lebih yang semangat keluar, bisa ider dari warung ke warung. Singgah ke kedai satu ke kedai berikutnya. Pilih-pilih jajanan, pilih-pilih yang manis-manis. Katanya berbukalah dengan yang manis. Nah, ujian sudah dimulai.
Alih-alih hanya beli takjil, ternyata bisa lanjut sampai kalap belanja takjil. Lihat roti tawar sepertinya kok pas banget buat roti bakar sendiri. Akhirnya beli satu aja. Beralih ke kios lainnya, wah ada kolak "duda orange" nih. Penasaran, "Apa sih duda orange?" eh ternyata isinya kolak pisang sama potongan labu. Mana dudanya? Ya sudahlah, gagal ujian.
Pulang menjelang buka puasa dan langsung disiapkan semuanya. Begitu azan maghrib tiba langsung dilahap semua. Perut kenyang malah lemah bergerak. Mau ambil sarung buat sembahyang maghrib malah keliru ambil celana. Saat diraba sakunya, "Kok tipis?" ternyata isi dompet sudah berkurang. Ujian berikutnya gagal lagi, "Aduh bagaimana ini, besok harus hemat." Anda percaya?
KALAP BELANJA SUDAH, KALAP MAKAN DAN KALAP ANGGARAN BELUM.
Diatas sudah dibahas kalap belanja. Semua belanja makanan online dituruti, offline pun dilakoni. Semua serba mudah, malas bisa, apalagi tidak malas. Uang ada, tabungan banyak. Pilihan makanan pun tak kalah banyaknya. Klop sudah.
Tapi ingat. Apakah dengan tersedianya uang berarti harus gagal ujian? sayang bukan?
Uang bukan segalanya. Tapi segalanya juga butuh uang. Sekali lagi ini ujian. Jangan obral uang. Bayar sana bayar sini. Ketati pengeluarannya, atur untuk kebutuhan yang paling utama.
Memiliki uang memang manusiawi dan wajar sekali. Sebab uang adalah alat tukar. Bisa ditukar dengan produk maupun jasa. Tentu bisa pula ditukar dengan makanan. Namun, jika uang ditukar dengan makanan, ada dua ujian menanti, yaitu:
1. Tidak terbiasa hemat dan melepas manfaat uang lainnya, yaitu sedekah.Â
Bagaimanapun banyaknya uang, jika ditukar dengan makanan tak akan mampu memenuhi isi perut manusia. Mau beli makanan segudang mampu, tapi paling-paling perut hanya butuh lima sampai sepuluh suap nasi saja sudah kenyang. Selebihnya jika kekenyangan malah tidak nyaman.
Atur keuangan dengan membelanjakan seperlunya saja. Jika ada sisa bisa ditabung. Masih ada sisa lagi bisa digunakan sedekah. Jangan boros walaupun punya banyak uang. Apalagi uangnya tipis alias bokek.
Jangan turuti kemauan, sebab kegagalan pertama belanja adalah menuruti kemauan. Terlebih lagi tergoda dengan diskon atau harga murah. Sudah, langsung main borong saja. "Harga gorengan disana lebih murah bro" borong yuk!.Â
Bukannya menuruti isi dompet malah sengaja melupakannya. Padahal isi dompet - dalam hal ini uang - tidak hanya untuk belanja makanan. Masih banyak manfaat uang. Â Lebih banyak manfaat lagi jika dikaitkan dengan masih banyak waktu yang akan dilalui. Masih panjang kebutuhan yang menanti. Jadi berhematlah.
Diluar sana, juga masih ada orang yang membutuhkan sedekah kita. Mau diberikan tunai bisa, mau dirupakan dalam sembako juga bisa. Apalagi di masa pandemi covid-19 ini. Moment yang tepat sekaligus meningkatkan Iman kita saat bulan puasa Ramadhan. Sudah sedekah dapat pahala lagi.
Utamakan isi dompet bukan menyepelekan isi perut. Tapi manfaatkan sebaik-baiknya uang yang ada. Berapapun jumlahnya. Jangan kalap karena banyak uang dan jangan "kalap sungguhan" karena tak punya uang, akhirnya hutang sana hutang sini. Apalagi jika sampai berbuat jahat, jangan!
2. Kalap makanan berakibat pada kalap penyakit
Kalap makanan biasanya dimulai dari kalap belanja makanan. Saat belanja ujian dengan berbagai soal kita sering gagal mejawab berbagai tanya pada diri sendiri. "Apakah makanan ini sehat bagi tubuhku?" paling tidak pertanyaan ini yang harus dijawab dulu.Â
Caranya dengan mengingat-ingat riwayat penyakit dan potensi penyakit yang bisa saja muncul. Ingat, saat ini penyakit degeneratif mulai tumbuh. Banyak orang usia muda sering masuk rumah sakit hanya gara-gara tidak kontrol makanan. Gaya hidup dan pola makan yang tidak baik menjadikan berbagai penyakit seperti kalap di tubuh kita. "Masih muda kok sudah stroke?" wah nggak galau lagi kan? atau "Sayang, masih jomblo kok sudah jantungan."
Pertanyaan berikutnya "Apakah makanan ini akan masuk perutku semua?"
Ayo jawab! masuk semuakah? atau nanti jangan-jangan kecewa setelah digigit ternyata tidak sesuai ekspektasi? mubazir kan? sayang lagi kan?Â
Maka dari itu jangan kalap. Beli secukupnya, jika bisa dimakan berdua dengan kekasih betapa mesranya. "Dasar pelit" begitu kata orang. Bukan pelit ya, tapi hemat dan romantis.
Tapi, misalkan mau beli agak banyak juga tidak apa-apa. Misalnya makanan itu dibagi untuk fakir miskin. Teman kost yang telat kiriman atau tetangga yang baru saja kesusahan.Â
Terakhir, pertanyaan singkat tapi butuh perjuangan. "Sampai kapan terus-terusan kalap belanja makanan?" masak tidak bisa mengakhiri konfrontasi ini. Masak terus gagal menjadi manusia yang Iman kuat, Imun sehat dan Dompet bertebar manfaat? genderang telah dipukul, maju dan hantam kalap belanja makanan. Sekarang juga!
SINGOSARI, 2 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H